SAYA gak tahu kenapa Aceh terdegradasi sebagai provinsi miskin. Saya mencari tahu. Datang ke banyak orang. Orang-orang patut. Pengusaha, pebisnis, akademisi dan praktisi lainnya.
Bahkan saya masuk ke lapisan strata paling bawah. Tukang parkir, pengumpul barang bekas bahkan ke peminta-minta. Mereka yang miskin.
Menanyakan tentang kemiskinan.
Berdiskusi. Berbincang panjang. Buka data. Buka potensi. Cari komparasi. Banding-bandingkan. Di ujungnya semua bingung. Gak mampu membuat kesimpulan.
Hang,, hing.. heng..
Saya membatasi diri tak mencari tahu ke pengelola birokrasi. Sengaja. Agar tak terkontaminasi. Tak ingin mendapat input “press release.”
“Release” yang di-”korup” kebenarannya. Gak usah saja. Anda pun kenapa gak usah saja. Tahu gaya orang birokrasi menjawab. Semua jawab diakhiri dengan ketawa beres…..
Kalau gak percaya baca saja jawaban mereka yang kalimatnya berada dalam tanda dua petik disertai “katanya, ujarnya, ungkapnya” dst….di ujungnya. Di media mainstream. Yang news-nya lurus. Straight news. Berita lurus.
Selurus jabat tangannya. Yang kalimatnya bisa dipanjang-panjangkan. Ada kalimat langsung dan tak langsung yang saling berimpitan di satu paragraph. Sulit disimpulkan. Bolak-balik. Sepertinya ada korupsi kata-kata.
Anda pasti ngakak kalau saya kasih tahu tentang korupsi kata-kata ini. Gak usah kata-kata atau kosakata yang itunya juga dikorup. Itu yang Anda sudah tahu….
Sebagai “old jurnalis” saya sudah hafal “a-be-ce-“nya orang birokrasi. Ada yang “hari-hari omong kosong.” Bisa juga “asal bapak senang.”
“A-be-ce” ini sudah ada sejak dulu. Tumbuh berkecambah. Itu sejak sebagian Anda masih di- “lauhul mahfudz.” Gak mampu diberangus. Hingga hari ini. Ketika aplikasi merambah hutan digitalisasi.
Hutan yang membelah dua kutub. Mainstream dan media sosial. Yang masing-masing belahannya Anda sudah tahu apa isinya. Yang belahan mainstreamnya menjadi bagian saya.
Yang isi belah sana dan belah sini sama saja. Sama sebangun.
Tentang “ter”-nya yang menyertai kata degradasi Aceh miskin saya seperti sulit mencari terjemahannya. Gak percaya. Nanggroe yang punya “segala”-nya bisa mendapat predikat miskin.
Terlalu!!
Saya suuzhon. Jangan-jangan “dimiskinkan.” Dari luar dan dari dalam. Kalau dari luar setengah bacaannya bisa saya pahami. Tentu gak paham-paham amat.
Kalau dari dalam?
Anda bisa menjawabnya. Silakan pakai kata apa pun. Miskin mainsheet, miskin kepercayaan atau miskin entah apalah….. Yang gak miskin-miskin “mbong”-nya. Kalau ini gak harus ditulis.
Saya tahu kemiskinan bisa menjadi fenomena multidimensi yang mencakup ke seluruh aspek. Dari psikologis, sosial, behavioral sampai sosio-kultural yang terintegrasi dalam perilaku.
Sulitnya berpijak dari kemiskinan tatkala rasa frustrasi demikian kuat melanda. Membuat kemiskinan menjadi pemahaman yang seolah benar adanya.
Saya sering menuding di negeri ini telah terjadi “bisnis kemiskinan”. Kita terbelenggu untuk tidak berubah. Lantas ada pertanyaan: benarkah kita sudah menjadi bangsa merdeka?
Banyak pertanyaan muncul di kepala saya. Apa saja kerja gubernur, bupati dan wali kota selama ini. Mengapa wajah negeri ini ditampar oleh kata miskin. Saya tahu, kemiskinan itu bisa dibagi menjadi dua.
Bisa karena dampak dari kemalasan yang terkait ke banyak hal. Saya tahu ini bisa dilampaui dengan campur tangan yang tepat.
Payahnya kalau yang kedua. Kemiskinan struktural. Ini cilaka. Kemiskinan ini sulit. Terjebak dan dijebak.
Ini terjadi, karena struktur masyarakat yang memang menindas sebagian kelompok masyarakat lainnya. Baik karena sistem hukum, politik, budaya maupun kebijakan ekonomi.
Akibatnya, mereka tetap terjebak dalam cengkraman kemiskinan, walaupun sudah berusaha keras untuk keluar.
Baiklah, saya setuju dengan paradigma kemiskinan adalah penyakit sosial. Sulit dibendung. Tapi, bagi saya kemiskinan juga adalah problem bersama.
Harus segera ditanggulangi. dengan banyak cara. Bukan satu cara. Bukan dengan cara bikin keruh. Bikin tiwikrama ketidakwajaran yang seolah dimafhumkan.
Kemiskinan dalam narasi besar telah menjadi sebuah manifestasi ‘jiwa’ sehingga ia menjadi ladang para pemegang kebijaksanaan yang terbukti tengah terkooptasi sikap-sikap memenangkan diri sendiri.
Kemiskinan lantas menjadi fenomena multidimensi karena toh sama halnya dengan seks, kemiskinan mencakup ke seluruh aspek mulai dari biologis, psikologis, sosial, behavioral sampai sosio-kultural yang terintegrasi dalam perilaku.
Sulitnya berpijak dari kemiskinan tatkala rasa frustrasi demikian kuat melanda membuat kemiskinan menjadi pemahaman yang seolah benar adanya.
“Membisniskan kemiskinan” adalah contoh tragedi “kematian manusia” yang sedang sulit menyelamatkan kehidupannya.
Ada adagium untuk menyelamatkan kehidupan, manusia harus siap sedia kehilangan kehidupan. Jika seseorang tak siap sedia untuk kehilangan maka sejatinya ia akan menyerah kalah kepada yang biadab.
Baiklah, jika kemiskinan telah mengimpit kita dalam bentuk ketidakwajaran, lantas apa sebenarnya yang kita butuhkan?
Kalau itu ditanya dengan saya jawabannya adalah keberanian untuk berkorban Atau sebaliknya, kita masih terbelenggu dalam ketakutan?
Lantas jika ketakutan untuk berubah saja sudah tumbuh benarkah kita sudah menjadi bangsa merdeka? Akhirul kalam, semoga pertanyaan-pertanyaan inilah yang barangkali dapat dijadikan acuan bersama dalam menuju perubahan.
Maaf tulisan ini seperti terjebak dengan alur semi akademis. Literasi bacaan.
Khusus di Aceh tingginya angka penduduk miskin sering dipleset dalam argumentasi total penduduk. Saya tak percaya dengan totaly jumlah penduduk, Kalau dari sisi persentase sih oke.
Saya lebih percaya pada rendahnya optimalisasi pemanfaatan sumber daya alamnya. Ambil kasus produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga daya jual yang mengkerut.
Kaitannya bisa langsung ke dana otonomi khusus. Belum dimanfaatkan secara baik.
Kajian masalah kemiskinan seperti yang saya dapatkan dari sebuah diskusi terbatas sebenarnya bisa diatasi apabila dana otonomi khusus dikelola dengan benar.
Yang terjadi malah … hom..
Saya bisa sepaham terhadap pendapat bahwa persoalan kemiskinan provinsi ini sumbangan terbesarnya berasal dari tata kelola pembangunan.
Tata kelola pembangunan, dari birokrasi dan pelayanan publik tidak banyak memberikan andil untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga salah satu kontribusi angka kemiskinan.
Tata kelola pembangunan dan implementasinya tidak fokus ke persoalan masyarakat di daerah. Mereka gak tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat.
Caranya mudah kok. Alokasikan saja untuk pembiayaan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Money follow program, ketika punya fokus, anggaran seharusnya mengikuti programnya.
“Ini yang belum optimal dijalankan,” kata teman diskusi saya seorang guru besar ilmu ekonomi. Pengendalian dan pengawasannya? “No way. Gak jalan,” kata sang teman dalam sekali tarikan napas.
Selain itu sepanjang tahun berjalan, dana otsus gak dipergunakan secara rata. Baik itu untuk infrastruktur, kesehatan atau pendidikan. Dana otsus banyak dikorup lewat pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastrukturnya sendiri tidak signifikasi memberikan multiplier effect. Seharusnya infrastruktur itu untuk mempermudah konektivitas masyarakat.
Entahlah…. sepertinya saya terjebak dalam narasi hang …[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”