SAYA kehilangan. Ia pergi terlalu cepat. Untuk saya. Entah untuk Anda… dan Anda… Saya tidak tahu.
Pukul nol empat nol empat menjelang subuh Rabu itu handphone saya bergetar. Dua kali. Di panggilan aplikasi whatsapp. Saya abai… Masih blass di jam tidur…
Kemudiannya getar itu saya tahu meninggalkan jejak teks: “panggilan suara tak terjawab.” Terus teks lain di bawahnya mengingatkan: “ketuk untuk menelepon balik.”
Saya tahu nama nomor gawai nama pemanggilnya.
Tiga menit lanjut: pukul nol empat nol tujuh. Handphone saya menyalak. Trang..tring…Pertanda datangnya sebuah pesan. Masih di aplikasi whatsapp.
Saya kalahkan kantuk. Meraih gawai. Membaca pesan….
Saya bergetar. Gak percaya. Spontan…. menghubungi pengirim pesan lewat panggilan suara. Bertanya. Bersinyinyir… galau ..dan sebagai dan dsb..dsb..
Dengan suara bergetar saya hentak si pengirim pesan dengan kalimat pendek: “apa pesan itu benar?”
Pengirim pesan tersedak. Suaranya tercekat. Serak. Menahan tangis. Saya menutup pembicaraan.
Mengulng-ulang membaca teks pesan: “Inanalillahi wa inna ilahi rajiun.” Telah berpulang ke rahmatullah , teman dan sahabat kita Bang Midi Dhapukupi-–Tarmizi Thaeb–di RS Pertamedika, sekitar pukul nol dua wib……”
Ingatan saya mendadak terbang ke setiap pagi selama satu bulan terakhir.
Pagi kemarin..kemarinnya.. dan kemarinnya lagi…
Kemarin pagi ketika mobil kami tidak parkir sejajar di satu jalan. Kemarin pagi juga ketika ia memberi tip ke saya. Tip khusus hanya ingin melangkah mengitari trek Blang Padang dengan saya.
Kemarin pagi usai olahraga ia pamit tanpa kongkow-kongkow.
Happ…. Saya membubarkan lelap. Mengucek-ucek mata yang masih belekan. Menggelengkan kepala. Membangunkan istri. Jreeng…
Menuju rumah duka dituntun si pengirim pesan. Karena sampai subuh duka itu saya gak tahu persis lokasi rumahnya. Walaupun di sebuah hari ia pernah memberitahu: jalan amd…
Saya benar-benar belum kenal ring luarnya. Ocehannya sering masuk ring dalam. Dirinya… Dan itu pun sudah saya tulis di dua esai terdahulu. Sangat sumir..
Sebagai wartawan saya ingin menulis lebih banyak. Sudah janjian. Belum copy seluruhnya. Tajuknya Bang Midi. Tarmizi Thaeb.
Bang Midi yang ingin “pensiun” ketika di lain waktu bercerita tentang zona hidup. Hubungan saya dengan Bang Midi sangat nyambung.
Copy-an bicara kami liar. Bukan seperti teks telegram. Telegram, Anda sudah tidak tahu.
Saya malas menjelaskan pada Anda apa itu telegram –khawatir Anda menertawakan teknologi komunikasi masa lalu.
Saya menularkan isi pembicaraan itu ke istrinya di subuh itu di rumah duka. Strom pembicaraan saya nyambung
Malam itu, kata sang istri, ia ngedrop. Ngorok. Fatal. Dibawa ke rumah sakit. “Innalillah…”
Padahal kondisinya selama ini sangat baik. Istrinya tahu kalau suaminya sakit apa. Sudah hafal a..b..c… mengatasinya. Mengatasi diabet. Harus insulin dan lainnya.
Bang Midi juga tahu prosedurnya Selama satu bulan ia telah memberitahu saya. Memberitahu melebihi seorang dokter.
Yang ia praktekkan ketika mengajak saya ke seorang sobatnya.
Bang Midi mengambil sampel darah si sobat. Lalu melakukan tes. Dan memberitahu dengan kata “oke”.
Itu sebantaran tulisan duka saya di hari galau itu.
Kegalauan kehilangan teman trek. Kehilangan Toke Midi. Kehilangan yang menyebabkan tulisan saya kacau. Kacau karena berserakan macam cabikan perca-perca yang gak utuh.
Gak utuh karena saya tak tahu harus memulai dari mana. Gak ketemu touch-nya. Gak tahu tahu apa finishingnya.
Kacau…. Kacau ketika saya ingin menulis lanjut.
Toke Midi yang datang dari Simpang Tiga, Pidie dengan modal kecil dan di hari-hari terakhir kehidupannya, seperti diceritakan ke saya, ingin wobakshot mengelola blang.
Simpang Tiga yang Anda dan saya tahu hanya sebuah kota kecamatan. Kecamatan yang telah melahirkan tokoh fenomenal Aceh, Ibrahim Hasan.
Simpang Tiga yang tidak hanya Ibrahim Hasan. Tapi juga Toke Midi dan banyak toke lainnya. Yang lainnya itu bukan kelasnya “toke bangku.”
Dari Simpang Tiga inilah Midi remaja memulai start. Start sebagai entrepreuner. Entrepreuner wareh sang ayah. Thaeb.
Sang ayah yang punya toko sembako. Sang ayah yang menempa anak sulung dari lima bersaudara menjadi orang yang bisa mengubah rongsokan menjadi emas.
Modal inilah yang di bawa Tarmizi ke perantauan. Modal yang melekatkan sapaannya sebagai Midi. Bang Midi.
Bang Midi yang trade mark “dhapukupi.” []
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”