Rayap Anggaran

 

SAYA  baru tahu namanya: Praptono. Dua puluh empat jam usai ia meminta nomor handphone dan nama saya.



Sebuah nama usai  penantian panjang saya setelah janjian “call-”nya.

Nama Praptono yang ia tulis utuh di pesan itu tanpa emblem. Tanpa nama depan dan belakang. Diberitahu lewat pesan whatsapp. Pesan tertulis yang dimulai dengan salam… terus sapaan bla..bla…

Lanjut: “ ….ini Praptono..yg kmrn jalan-jalan bareng di blangpadang..”

Saya balas ringkas. Dengan salam yang sama terus ..thanks…

Namun begitu, dari akun profil di aplikasi whatsapp-nya saya tahu nama sapaannya: “prap dj”  Saya tak ingin tanya tentang dua huruf di ujung “prap” itu: “dj.” Biar aja.

Saya tahu. Pasti. “Prap” itu sapaannya. Untuk “dj” saya gak harus nyinyir minta kejelasan. Tak ingin melabrak pagar privacy. Gak boleh. Gak etis.

Saya tahu tentang etika karena masih berstatus jurnalis. Jurnalis “old” yang otaknya di”cor” harus  tegak dan lurus ke kode etik.

Bukan tegak dan lurus kepada siapa…. gitu. Yang kini ramai didengungkan.

Singgahnya nama Praptono ke gawai saya bukan jalan rekayasa. Ia datang dari sesungging senyum. Biasa. Sepele. Lanjut ke road map bla..bla.. dua putaran trek blang padang. Sabtu pagi kemarin,

Bla..bla tentang identitasnya yang kemudian melar ke kiri-ke kanan. Ke samping kiri dan kanan serta  atas dan ke bawah. Melar tanpa bisa dijinakkan. Yang akhirnya bleng. Bias kemana-mana.

Bla..bla… itu makin liar ketika  santap lontong plus orange jus gratis di sebuah kafe lokasi yang sama. Dia bayarin.

Bla..bla-nya berserakan.  Maaf, gak utuh. Kemudiannya saya pungut dari memori dan rajut seperti lagu layang-layang yang penggalan syairnya.

“….kurajut dan kutimbang dengan benang….dan kujadikan…..”

Rajutan itu saya mulai dari identitas si “prap.” Muasal dan karir.

Prap yang tulen Suroboyo. Arek yang hari saya ketemu aksen dan medok  intonasinya yang plas “buayaan”.

Gak kelat. Jowo pesisir. Ada sedikit caroknya. Hahaha….Anda mungkin labih tahu tentang carok ini ketimbang saya karena sering dengar mahfud md ngomongin siapa itu..

Mahfud yang pamekasan.

Tentang muasal ini saya membiarkan dia menggiring “bola.” Saya hanya memberi “touching” permukaan. Mosok saya harus bongkar isi dalamnya hingga terurai. Gak lah…

Begitu giringannya masuk ke area karirnya saya sering menyela.

Sahibul kisah.. Prap mempunyai karir yang panjang dalam menata angka. Hingga hari saya bla..dan bla .. itu ia masih berkutat di satuan angka.

Angka di lingkup fiskal. Anggaran. Hingga terdampar di kantor perwakilan anggaran aceh.

Prap memang memulai karir di badan kebijakan fiskal. Di badan itu prap tidak hanya membuat titian karir tapi juga punya kenangan yang sulit ia hapus.

Kenangan ketika badan itu dipimpin seorang pria humble: Anggito Abimanyu. Anggito yang meniti karir sebagai seorang akademis yang kemudian melar ke mana-mana.

Anggito yang saya tahu perjalanan karir luntang lantung dari satu hamparan ke hamparan lain.

Anggito yang saya tahu gagal dilantik sebagai wakil menteri keuangan.

Yang seperti dikisahkan Prap sempat nelangsa dalam balutan jas ketika menunggu panggilan yang tak kunjung datang. Saya mendapat testimoni dari prap tentang kisah ini secara lengkap. Detil.

Kisah yang gak harus saya tulis. Cukup sebagai bla..bla..  intermezzo.  Cukup selintas.

Esensi bla yang ingin saya dengar dari prap tentu tentang anggaran kekhususan. Dana otonomi khusus. Dana yang ia tahu angkanya, penyalurannya dan sebagainya..

Dana istimewa untuk provinsi istimewa. Dana yang dikerat lewat persentasi alokasi umum. Yang dua persen… untuk kemudian satu persen… lanjutannya blass.. Sesuai dengan tahun penganggaran.

Dana otonomi khusus yang menurut prap sudah disalurkan sebesar seratus triliun rupiah. Dana yang peruntukkan gak jelas amat bagi saya.

Dana yang kemudiannya dirubungi rayap. Anda gak perlu saya ajari dan kasih tahu tentang rayap. Menggerogoti. Hingga menyisakan bubuk. Dan bubuk itu pun sudah beterbangan

Jenis rayapnya?  Anda pasti lebih tahu dari saya. Silakan sebut saja jenis rayapnya.

Rayap yang kami ketawakan. Ketawa tentang provinsi miskin penuh rayap. Provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di level bawah.

Khusus untuk lanjut tulisan ini saya gak ingin melibatkan Praptono. Saya gak mau ia harus bleng .. Bleng dengan pokir atau silpa dan lain-lainnya. Yang saya dan anda sudah tahu jalan ceritanya.

Jalan cerita realitas sosial-politik yang bandulnya gak pernah mengalami perubahan yang signifikan. Selain terus divonis sebagai daerah miskin, korup, dan terus tertinggal dalam banyak hal.

Gejala ini akan menjadi momok dan boomerang yang akan menerkam perjalanan provinsi ini. Yang dampaknya, kecacatan sejarah.

Saya bukan akademisi. Bukan aktifis atau apa pun dalam strata sosial. Saya hanya punya catatan tentang kebijakan-kebijakan mendesak untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Apalagi dana otsus yang selama ini menjadi pusat roda perputaran ekonomi akan berakhir di tiga tahun mendatang.

Saya tahu rentetan panjang pemangkasan hak-hak istimewa dan pembonsaian kewenangan daerah ini. Pembonsaian dalam mengatur sektor publik.

Saya gak ingin membuat prediksi apakah pembonsaian ini akan berakumulasi  kepada kekecewaan dan menjadi pemicu bagi lahirnya embrio perlawanan baru. Entahlah..

Jika tidak, maka apa yang akan disaksikan oleh sejarah adalah akumulasi kegagalan dalam memperjuangkan hak kekhususan dan keistimewaan yang semakin lama semakin terbengkalai.

Pada akhirnya sejarah pula yang akan mencatat bahwa tidak ada lagi marwah yang tersisa karena kita semua telah membunuhnya

Saya setuju adanya apresiasi pemerintah untuk meredusir biangnya. Biang-biang korupsi.Tapi apakah kita punya kesadaran nurani  dalam mengakselerasinya.

Saya gak tahu tingkat maraknya  korupsi di provinsi ini. Saya hanya bisa mengkritisinya tanpa harus tunjuk hidung plus praktiknya.

Yang saya tahu  diskala kecil sebuah organisasi jikalau anggotanya memiliki kesalahan, dipastikan sesama anggota organisasi lainnya akan menutupi kesalahan teman anggotanya,

Begitu juga analogi pelaku tindak pidana korupsi, mereka akan selalu menutupi kesalahan dan aib sesama rekan mereka sendiri untuk terhindar dari incaran hukum

Sehingga korelasi para pelaku korupsi indentik sama secara garis besar. Kesan korupsi itu dilakukan secara terorganisir.

Sulit untuk membuat penyesuaian dan perbaikan. Sebab sistemnya baku. Diperlukan upaya terus menerus secara berkala ditingkatkan dengan pengawasan dan transparansi

Saya sengaja menulis tentang sstem ini penting dilakukan untuk mengubah perlahan paradigma dan perspektif masyarakat.

Harus diakui sistem akuntabilitas setiap instansi provinsi ini cenderung lemah, sehingga diperlukan upaya perbaikan yang masif untuk percepatan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Kalau dikaitkan dengan kinerja per-periode ini mengalami perlambatan. Lihat saja secara garis umum pengelolaannya

Apakah treknya sudah dijalur pembangunan dan sumber daya manusia. Apakah sudah sudah komprehensif dan terukur, Sejauhmana campur tangan pengawasan dan kejelasan data.

Apakah dipublikasi dengan penjelasan gamblang kekalangan masyarakat menggunakan media cetak atau informasi lainnya.

Berdasarkan hasil analisis belanja modal sangat berpotensi memiliki multiplier effect kepada perekonomian, hingga menjadikannya sebagai pembantu percepatan pertumbuhan ekonomi Aceh.

Diperlukan kebijakan ketat dalam pelaksanaan belanja daerah.

Wallahulam bissawab…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”