“Hujjatul” Rocky

 

ENTAH kenapa saya terseret arus dalam banjir bandang berita Rocky Gerung. Saya tak punya jawaban. Kalau saya susun jawabannya akan dicap lebay…



Saya membiarkan akal sehat saya saja yang nanti akan menjawabnya. Alhamdulillah kalau semuanya berjalan baik…wa syukurillah.

Dalam arus banjir bandang itu saya ingin berada di posisi yang berbeda. Bukan dari sisi politik atau sisi apalah… Tidak juga dalam posisi netral yang sering dikerenyitkan sebagai “banci.” Tidak berkelamin.

Yah… dari posisi lelaki saja. Kan saya memang lahiriah dan bathiniahnya lelaki. Karena kalau dari sisi  lelaki saya bisa menghindar dari perbedaan yang tajam. Sebab lelaki itu posisinya selalu di atas.. hahaha..

Posisi ini tidak akan menguntungkan atau merugikan siapapun. Itulah namanya posisi lelaki. Posisi akal sehat.

Eeee… ternyata di posisi akal sehat inilah secara tidak sengaja saya tersambung dengan sebuah nama: Rocky Gerung.

Rocky Gerung yang katanya mengedepankan akal sehat. Akal sehat sebagaimana saya dapatkan dari banyak literasi merupakan pikiran yang baik dan normal.

Pikiran yang logis. Akal sehat, akal budi, nalar wajar, atau nalar umum  Masuk akal dan praktis mengenai masalah sehari-hari

Akal sehat juga punya  kemampuan dasar untuk melihat, memahami, dan menilai dengan cara yang umumnya dimiliki oleh hampir semua orang.

Anda harus membedakan akal sehat ini dengan logika. Bedanya: logika itu studi sistematis tentang bentuk argumen sedangkan akal adalah penerapan logika untuk memahami dan menilai sesuatu.

Ternyata Rocky berada di posisi itu. Bukan posisi logika yang berkecambah di lingkungan akademisi. Bukan juga posisi preman yang kini sedang pasang badan.

Dalam posisi akal sehat ini pula Rocky meminta maaf atas pernyataannya membuat kehebohan. Ia juga mengaku meminta maaf dan berupaya untuk meredakan situasi.

Kehebohan yang dibuat oleh kalimatnya. Bukan terjadi ketika ada mobilisasi untuk mempersoalkan kalimatnya.

Saya setuju aja atas permintaan maaf ini. Maaf telah membuat kegaduhan yang menyebabkan saya tergulung dalam banjir bandang beritanya.

Tapi terhadap pernyataan pasang badan saya hanya bisa tersenyum sinis. Kata pasang badan itu  dulu saya kenal sebagai bahasa yang digunakan oleh preman.

Preman seperti nagabonar. Yang saya sadar betul kini banyak berkeliaran nagabonar. Nagabonar tentara sewaan yang kemudian jadi pejabat atau pengusaha. Atau pun politisi.

Saya bisa ngerti bahasa pasang badan itu hidup dan berkembang di kalangan preman. Coba masuk ke kawasan Tanah Abang.  Anda akan mendapatkannya sebagai bahasa dasar.

Ketika bahasa dasar ini masuk ke ruang pejabat publik… hahahaha. Pasang badan menjadi wacana pejabat publik? Berarti bangsa ini telah gagal membawa  percakapan intelektual.

Apakah ada yang diuntungkan? Pada sisi Rocky Gerung sama sekali tak ada untungnya. Kalau dikatakan keuntungannya, Rocky pasti akan menolaknya.

Rocky sangat menikmati teori negasi seorang masochis. Sesungguhnya menerima, tetapi dengan gesture menolak.

Bagi musuh penguasa  ia merupakan pion terdepan. Mulutnya sering melampiaskan kesumat benci, segala gundah kegagalan, dan secara tersembunyi dituding sebagai kaum pecundang yang oportunis.

Rocky  tampil sebagai idola yang bisa membungkus paham berpikir mereka  dalam narasi-orasi yang canggih. Mereka mengatakan  sebagai ciri umum awal kegagalan demokrasi.

Sebenarnya bagi pendukung  penguasa ia adalah sarana menunjukkan watak asli mereka sebagai ”sama tapi pada posisi yang berbeda”.

Menguatkan sifat dan sikap mereka sebagai sesama kaum pembenci yang butuh “jumrah” untuk melempari batu.

Rocky seperti hari-hari ini  menjadi tempat pelampiasan yang menyenangkan, karena itu ia pantas dibungkam atas nama kebenaran yang sesungguhnya selamanya semu itu.

Padahal jika pun ia hilang dan tertaklukan, akan terus datang tokoh lain berwatak dan berperilaku sama.

Kalau ditanya dengan saya, sesungguhnya kita terus membutuhkan orang sejenis Rocky untuk menjaga nalar dan kewarasan kita. Sejatinya, ia adalah ciptaan kita. Dan sejujurnya dengan cara lain kita menikmatinya.

Wajah carut marut kemunafikan berdemokrasi tanpa hati nurani.

Untuk catatan kaki,  saya memahami Gerung dari mitos etnisitasnya. Saya sejak lama adalah pengagum orang Manado. Sebuah minoritas secara jumlah, tetapi mayoritas secara pengaruh.

Mereka terkenal akan perpaduan sifat macho dan ganteng kaum lelakinya, yang disempurnakan sifat feminis di balik keayuan para wanitanya.

Saya punya catatan etnisitas sifat feminis keayuan wanita Manado ini. Ada pada Dian Sumelar. Ia istri Ciputra yang kaya raya itu. Tulis seorang teman saya tentang Dian ini: ia berada di posisi lima nyi… Tahukan lima nyi…

Tentang lelaki Manado saya juga tahu posisinya.  Dulu sekali mereka banyak berprofesi sebagai prajurit knil  dengan posisi paling tinggi.

Beda dengan wong jowo yang direkrut sebagai “bala kruyukan” yang pada akhirnya sebagai sasaran bedil.

Maaf bila saya memakai tafsir keliru. Keliru juga ketika menempatkan Rocky sebagai anomali dari sifat dasar di atas: sesuatu yang sama tapi mahiwal. Secara profiling ia mewarisi rupa ganteng, ala-ala metro-sexual.

Gaya berbicara yang retorik, intonatif, dan tegas. Ia tak pernah lulus strata satu  di kuliahnya, tapi justru acap berposisi terdepan dalam ide dan gagasan. Ia bisa tampak “langgeng”, karena tak banyak yang tahu kita berutang padanya.

Ia punya pengalaman panjang dalam bergerak untuk memperjuangkan demokrasi yang anti-militer dan anti-suharto.

Makanya saya sepertinya selalu tampil sebagai bintang  fashionshow dalam bentuk lain: ia dicela tapi diam-diam ditiru.

Ia adalah penyendiri di dunia ramai. Ia akan selamanya mengumbar “logika” yang tanpa nalar. Karena juustru setiap ucapannya adalah cermin keterbatasannya.

Ia adalah segala anomali: kegagahan di ambang kegagalan, watak umum menilai diri terlalu tinggi dan sok-cerdas dengan menggangap hal-hal di luar dirinya adalah kedunguan.

Menghadapinya sebenarnya, sesederhana ia menganggap kitab suci itu fiksi. Rocky Gerung adalah fiksi, dan ia se-fiktif itu. Ia tidak sepenting itu, tapi…

Maka para jurnalis muda yang kopinya dicampur susu, mudah terbujuk dengan tipu-tipu merak jantan itu. Padahalna karakter politik si Rocky sudah terbentuk sedemikian rupa.

“Begitulah Rocky”, kata orang-orang yang mencoba mengenalinya. Dalam politik, pencapaian tertinggi adalah mentok. Rocky sudah sampai ke puncak karier, yakni stop di situ.

Si Rocky ini sejak dulu sudah memiliki cap yang akan membuat para akademisi malu membela, atau takut untuk mencela. Atau gabungan keduanya.

Malu membela karena takut dituduh tidak akademis. Takut mencela kalau malu jika dicela balik.

Daripada ribet dan repot, mendingan diam tak bereaksi, tak berkomentar. Daripada malu-maluin atau dimalu-maluin. Bukankah akademisi harus netral?

Diam adalah netral. Karena itu muncul kiasan silent is golden. Dan golden batangan sekarang naik harganya.

Karena dalam posisi itu, seperti para pemain kartu, king gambler hanya akan mengeluarkan kartu as di detik-detik terakhir.

Semua mereka yang mentok, akan bertindak demikian. Seperti ketika para mahasiswa mau tak mau menyelesaikan tugas akhirnya. Daripada kena penalti drop out.

Tidak penting jika fondasi argumennya ngawur sekalipun. Karena daripada melihat substansinya, dalam sebuah debat kusir, permainan diksi menjadi penting.

Tidak banyak orang yang bisa menemukan kalimat quotable seperti “jalan tol makin panjang tapi jalan pikiran makin pendek”.

Itu ciri khas langkah taktis politikus daripada seorang ilmuwan atau akademisi yang harus tunduk pada aturan lembaga pendidikan formal.

Juga mengakui bahwa ilmu pengetahuan murni bersifat netral, demokratis, fairness. Terbuka pada kritik dan bisa dikoreksi.

Sementara pernyataan-pernyataan Rocky, bukan hanya insinuatif namun juga acap bersifat dogmatis. Ia menyampaikan informasi sumir, tanpa perlu diuji atau dipertanyakan, namun segera ia tutup dengan judgment.

Persis teori tiga-langkah dalam stand-up comedy, judgment adalah punchline dengan kalimat-kalimat yang tampak problematis tapi quotable.

Kita sudah membaca kelitan Rocky ketika ia dilaporkan ke kepolisian. Saya kutip, media yang melulu hanya mengutip pendapat Rocky semata.Tanpa pernah memberi perimbangan.

Menurut Rocky yang dikutip media itu, di barata sering didebat bilang ekonomi goblok. Istilah goblog menurutnya istilah biasa dalam perdebatan politik.

Apakah ia sedang berdebat politik? Tidak. Dia sedang orasi, monolog politik. Belum masuk diskusi atau debat yang pasti berbeda situasinya.

Lebih lanjut Rocky menyebut kata bajingan di era lalu-lalu memiliki arti yang posistif.

“Bajingan itu bahkan dianggap dulu di zaman mataram dulu ada orang yang riset ditulis di national geograpic bajingan artinya orang yang dicintai tuhan.”

Rujukannya riset national geographic. Masak-awoh. Argumentasi Rocky, karena bajingan itu sebutan sopir gerobak, yang membawa berkah karena ngangkut bahan makanan.

Pernyataan ngawur itu bagi saya tak terlalu menyedihkan. Namun begitu saya gak gelap-mata memuja Rocky sebagai lambang kebenaran.

Saya setuju bila ia  disebut filsuf, walupun banyak orang menuding pengetahuan historiografinya lemah, apalagi dari sisi sosiologi dan antropologi.

Bahkan seorang peneneliti terkenal Fachry Ali telanjur menyebutnya sebagai hujjatul Islam. Ia memposisikan Gerung dengan Al Ghazali. Ghazali yang membentuk pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.

Gerung dalam konteks ini menurut Fachry mampu mengisi kekosongan pemikiran intelektual Islam perkotaan. Padahal ia tidak pernah menjadi bagian dari pemikir golongan ini.

“Saya tidak menempatkan Gerung apple to apple dengan Ghazali” Tapi ia memiliki kekuatan intelektual dan logika yang kokoh sehingga bisa memenangkan setiap perdebatan,

Tidak hanya Fachry. Ade Armando yang sering disapa sebagai gurubesarnya buzzer tak harus mencela dan mencelakakan Gerung. Ia mengatakan Gerung telah membuat blunder. Tapi tak perlu harus dijebloskan ke karangkeng.

Untuk memplesetkan kata ‘bajingan’ dia menempuh jalan preman, bukan jalan seorang intelektual atau ilmuwan.

Padahal, apa makna frasa ‘bajingan tolol’ atau “bajingan pengecut”, pun jika kata bajingan adalah orang yang diberkati tuhan? Kelihatan itu penanda dia manusia Indonesia biasa saja.

Ini permainan politik yang juga biasa saja. Tapi banyak yang sewot. Sebenarnya gak perlu sewot.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman