Tafsir Onta Gurun

SAYA menganggap tafsir itu keliru. Tafsir tentang negara ini telah kalah di Aceh. Kalah ketika qanun, idem dito peraturan daerah lebih berkuasa dari ideologi negara.

Tafsir tentang konservatisme. Tentang onta gurun yang masih dipakai di era drone bisa menghancurkan instalasi militer lawan.

Juga mendengar tentang orang-orang dicambuk seperti bilal, sahabat nabi. Lelaki dewasa bercelana pendek dirazia. Perempuan tak berhijab digiring wilayatul hisbah.

Jam malam diberlakukan untuk warung kopi. Lelaki perempuan nonmuhrim dilarang duduk satu meja.

Bahkan ketika hari-hari ini, bersamaan dengan perluasan pemaknaan ekonomi syariah, tafsirnya diperluas. Negara telah kehilangan makna. Mereka mengatakan ideologi konservatif muncul sebagai penjajah baru.

Saya mendengar langsung tafsir itu di sebuah pembicaraan. Sore kemarin. Di sebuah lapak kopi kawasan Tebet Barat. Ada beberapa komunitas di sana. Latar pengetahuan mereka sangat plural. Tapi dangkal.

Saya mengerti mereka adalah kaum urban dengan paham neoliberal. Semua yang berbau syariat bagi mereka berbau busuk. Yang wangi bagi mereka bila lelaki kawin dengan lelaki. Begitu juga dengan wanita.

Mereka memaknai perjalanan syariat sebagai bahaya laten ketika hal-hal kecil yang dianggap remeh menjadi begitu penting.

Dikatakan ini semua adalah awal dari sebuah pembusukan. Penjajahan kebudayaan dan pemaksaan tafsir tunggal.

Entahlah…

Saya tak ingin menantang. Apalagi memberi penjelasan. Karena yang ngomong itu gak pernah benar-benar hidup di negeri qanun itu.

Negeri yang saya sendiri adalah “aneuk aso lhok”-nya. Yang kalau ditanya apa betul atau betul…sebagai “wareh” saya merinding. Karena saya bukan akademisi. Hanya seorang jurnalis. Yang melihat dengan mata telanjang. Walau pun mereka ngotot mengatakan itu adalah kegagalan neocortex.

Menuding ketidakmampuan mencerna ayat suci, untuk diterapkan dalam kehidupan sosial.

Saya datang ke pembahasan itu karena diajak. Sebagai pendengar. Pendengar yang akhirnya menyesali kenapa negeri saya yang diberikan “kemerdekaan” di acak-acak. Diolok-olok. Bahakn diobok-obok.

Banyak lagi yang mereka katakan. Seperti pos satpam menyediakan jilbab. Anak-anak kecil yang belum baligh diwajibkan berjilbab.

Lainnya, penunggu pasien wajib mahram, atau sejenis kelaminnya.

Ditambah-tambahi tidak hanya masjid dan musalla yang dianeksasi. Mereka menyebut juga gang kampung dipasang  rambu wajib berjilbab.

Negara kalah dengan perorong kebhinekaan. Dengan para pemaksa syariat Islam. Aparat begitu lemah dengan ancaman orang-orang berjenggot dan bercelana cingkrang.

Benarkah ini semua?

Andalah yang harus menjawabnya. Saya tidak berada dalam kapasitas untuk menjawabnya. Sebab saya seorang jurnalis yang harus menulisnya secara benar.

Untuk itu saya tak mau mengatakan semua tudingan itu sebagai omong kosong. Mungkin juga ada isinya. Fitnah. Atau halu..

Saya tahu tak ada infiltrasi ajaran dan praktik syariat telah masuk ke daerah-daerah privacy. Masih hidup ke bhinekaan. Walaupun secara “merdeka” negeri saya itu berstatus khusus.

Tak ada secuil pun ancaman pemaksaan syariat ini. Masih banyak orang waras yang mendukung  pemberlakuan itu.

Jangan bayangkan bhineka itu sudah mati. Tak ada pemaksaan busana dengan cara radikal. Tak ada yang memaksa orang lain berjilbab.

Semuanya datang dari kesadaran.

Tak mungkin menyuruh cina memakai jilbab atau kerudung. Tak ada kata “wajib” yang menjadi perhelatan.

Saya tak tahu kok sampai segitunya tafsir terhadap negeri “merdeka”. Padahal itu hanya tafsir mereka. Tafsir yang terus menyebut kata jilbab.

Padahal mereka tidak pernah datang ke Blangpadang melihat heterogenitas. Heterogennya kemajemukan, Ada lambaian jilbab dan gerai rambut dari kelompok senam. Ada celana pancung dan setengah pancung.

Semuanya “merdeka.” Merdeka juga di warung kopi yang bukan mahram dalam membahas masalah dengan mengedepankan adab.

Bagi negeri saya perbuatan pemaksaan seperti itu bukan adab. Itu adalah tradisi buruk yang tidak harus dilanggengkan.

Saya tak ingin banyak orang memuji tanah serambi. Memuji keunggulan budaya, adat, dan yang paling penggah adalah tingkat kehidupannya.

Mereka lupa kelpaan negara memberi kontribusinya untuk membangun negeri itu. memberi regulasi dan kemudahan pertumbuhan  perekonomian.

Posisi negeri hanya terpusat pada  penyaluran dana otonomi khusus sehingga menimbulkan tanya besar tentang berkutatnya Aceh di posisi provinsi termiskin.

Penyesuaian dan pebaikan sistem pemerintah  perlu terus menerus secara berkala ditingkatkan dengan pengawasan dan transparansi.

Data  disebarluaskan di masyarakat. Sistem ini penting dilakukan untuk mengubah perlahan paradigma dan perspektif masyarakat.

Mereka harus merasakan kepedulian dan keberadaan pemimpinnya. Sejauh ini harus diakui sistem akuntabilitas setiap instansi cenderung lemah. Diperlukan upaya perbaikan masif untuk percepatan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Secara garis besar ada dua narasi yang berkembang dalam melihat Aceh.

Narasi internal dan eksternal yang saling berimpit di persoalan syariat.  Padahal ada narasi lain yang lebih menjanjikan.

Data–data yang optimisme dan kecenderungan analisis dengan potensi besar untuk melompati pagar pembatas. Jangan terjebak dengan isu itu ke itu saja.

Seperti isu dana otonomi khusus.  Dana yang menyumpal. Harus diupayakan alternatif bagi berputar sumbu ekonomi.

Saya pernah menuding dana otsus itu tidak semuanya berputar di Aceh. Sebagiannya mungkin, tapi bagian lain sepertinya berputar di daerah lain. Mungkin pusat atau kota tetangga.

Setidaknya ada dua indikasi yang membuktikan hal ini.  Pertumbuhan ekonomi Aceh yang di bawah rata-rata nasional.

Entahlah…[]


* Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”