Tanggung Jawab Negara Atas Lingkungan Hidup

TM Zulfikar

Oleh: TM Zulfikar*)

PADA 1968, Garret Hardin dalam bukunya “The Tragedy of the Commons” memberikan penjelasan sederhana mengenai tingkah laku manusia yang menyia-nyiakan lingkungan hidup.

Menurutnya, karena lingkungan hidup merupakan barang umum (commons), maka dia dimiliki semua orang namun tidak menjadi milik siapapun.

Terlepas dari pemahaman di atas, eksploitasi berlebihan terhadap komoditas bebas yang dimiliki bersama merupakan hal yang tidak dapat dielak.

Hardin menyebutkan bahwa dampak buruk yang ditimbulkan dari eksploitasi lingkungan hidup yang berlebihan sebagai tragedi milik bersama (the tragedy of the commons).

Ini merupakan masalah yang dimiliki bersama, maka masalah ini tidak menjadi milik siapapun. Dengan kata lain, terjadinya tragedi lingkungan hidup tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban suatu pihak karena ini merupakan masalah bersama.

Lantas, siapa yag harus bertindak untuk masalah lingkungan hidup? Jawabannya adalah negara.

Negara harus menjadi negara yang pintar atau smart state dan menjamin pencapaian tujuan dasar untuk mempromosikan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta ramah lingkungan dalam rangka membangun kualitas masyarakatnya.

Lingkungan hidup merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia karena menyediakan berbagai macam kebutuhan ekonomi dan penunjang hidup. Lingkungan hidup beserta berbagai spesies makhluk hidup di dalamnya memberikan kondisi dan proses yang dapat berguna dalam memenuhi kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya.

Lingkungan hidup juga mendukung hidup manusia dengan berbagai proses alamiah, seperti pembersihan udara dan air, detoksifikasi dan penguraian sampah atau limbah, penyebaran bibit, stabilisasi iklim dan proses lainnya yang dapat memberikan keuntungan substansial, ekonomis bahan rekreasional bagi manusia. Oleh karena itu manusia sangat bergantung pada lingkungannya. Namun sayang, belum terdapat konsensus mengenai urgensi dari berbagai masalah lingkungan yang ada. Masih banyak masyarakat kita yang mempunyai pola hidup tidak ramah lingkungan.

Menurut laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), aktivitas manusia memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap masalah lingkungan yang paling penting di abad ini, yakni pemanasan global (global warming).

IPCC menegaskan bahwa pemanasan system iklim global benar terjadi dan dapat dibuktikan dari observasi peningkatan temperature rata-rata udara dan laut di dunia, serta perluasan salju dan es yang mencair dan mengakibatkan peningkatan volume air laut.

Dari penjelasan ilmiah (sains), pemanasan global dapat terjadi karena adanya peningkatan kandungan gas rumah kaca (GRK) ke luar dari dalam atmosfer.

Gas rumah kaca tersebut, seperti misalnya karbon dioksida dan metana, menyebabkan panas matahari yang seharusnya direfleksikan bumi keluar dari atmosfer, terperangkap dalam lapisan atmosfer dan kembali ke bumi.

Berkurangnya hutan dan lahan hijau yang dapat menyerap gas rumah kaca di bumi menyebabkan peningkatan kandungan gas rumah kaca dalam atmosfer dan menghalangi refleksi panas matahari yang seharusnya ke luar dari atmosfer.

Masalah lingkungan hidup menjadi sangat penting karena menimbulkan risiko kerusakan ekosistem natural, perubahan cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana lingkungan atau ekologis, dan risiko agregat lainnya dapat mengancam kehidupan dalam skala besar, seperti misalnya melelehnya es di kutub bumi.

Dari sisi sosial ekonomi pemanasan global menjadi penting karena masalah ini berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil oleh manusia yang secara signifikan telah berkontribusi terhadap peningkatan suhu bumi dalam beberapa abad terakhir.

Beberapa masalah lingkungan hidup di Indonesia termasuk yang paling sering diperbincangkan di Aceh adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, serta masalah bencana ekologis.

Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang gencar-gencarnya melaksanakan program yang bernama FOLU Net Sink. FOLU adalah singkatan forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan.

Dalam dokumen penurunan emisi atau nationally determined contribution (NDC), FOLU menjadi satu dari lima sektor program mitigasi krisis iklim.

Pada 2030, sektor ini akan menghasilkan emisi sebanyak 714 juta ton setara CO2. Pembangunan rendah karbon akan mengurangkan emisi sebanyak 17,2% dalam skenario penurunan emisi 29% dan 24,5% dalam skenario 41%.

Jadi apa itu FOLU Net Sink atau lengkapnya FOLU carbon net sink? Carbon net sink adalah penyerapan karbon bersih yang merujuk pada jumlah penyerapan emisi karbon yang jauh lebih banyak dari yang dilepaskannya.

Maka FOLU Net Sink adalah keadaan ketika sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya. Sebagai siklus hidupnya, pohon menyerap karbon untuk mengubahnya menjadi oksigen dan glukosa melalui fotosintesis.

Karbon yang ada dalam pohon akan menguap menjadi gas rumah kaca ketika ia terbakar, mati karena ditebang, atau membusuk. Deforestasi adalah penyebab 24% emisi global saat ini yang totalnya mencapai 51 miliar ton setahun.

Dalam hutan juga dikenal istilah siklus karbon hutan yang merujuk pada keadaan bergeraknya karbon secara dinamis antara atmosfer dengan hutan. Ruang antara bumi dan atmosfer akan melepaskan karbon dioksida sementara di dalam pohon sendiri terjadi penyerapan karbon.

Karbon dioksida di atmosfer akan terserap oleh pohon melalui proses fotosintesis. Sektor Forest and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan, diyakini menjadi sektor andalan Indonesia di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Dengan pemantapan kebijakan, langkah serta implementasi dan evaluasi bidang-bidang sektor kehutanan, maka Pemerintah RI telah menetapkan kebijakan dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mengendalikan perubahan iklim dengan program Nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, yang diharapkan sudah mencapai net zero emission sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20098 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, negara atau dalam hal ini Pemerintah mengelola dan mengatur lingkungan hidup dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Maksud dari prinsip ini adalah untuk memberikan solusi dalam menghadapi masalah lingkungan tanpa mengorbankan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Alokasi anggaran negara untuk fungsi lingkungan hidup juga belum menjadi prioritas dalam pembentukan kebijakan, khususnya di Indonesia. Kurangnya perhatian terhadap masalah lingkungan ini dapat terjadi karena pandangan dominan mengenai masalah lingkungan menitikberatkan pertentangan antara kesejahteraan ekonomi dengan kelestarian lingkungan.

Manusia dan aktivitasnya dijadikan musuh bagi lingkungan, dan usaha-usaha untuk meraih kesejahteraan ekonomi selalu dianggap mengakibatkan degradasi lingkungan.

Pandangan ini tidak tepat, karena kesejahteraan justru dapat memberikan kesempatan ekonomi mendukung pelestarian lingkungan. Namun kesejahteraan ini harus didukung oleh tanggung jawab politik dan kesadaran sosial yang harusnya ditumbuhkan untuk menjamin manfaat dari kesejahteraan terhadap pelestarian lingkungan.

Asistensi atau intervensi negara terhadap isu lingkungan sangat dibutuhkan untuk menjamin penerapan peraturan pelestarian lingkungan hidup yang dapat sejalan dengan kegiatan ekonomi, sehingga dapat menjadi pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Oleh karena itu negara tidak boleh diam dan harus pintar dalam memanfaatkan insentif ekonomi untuk menumbuhkan tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Meskipun terdapat berbagai hambatan dan tantangan, negara harus tetap menunjukkan komitmen dan melakukan berbagai usaha untuk menjawab hambatan dan tantangan agar mendapat dukungan dan kepercayaan dari seluruh lapisan masyarakat.

Pada akhirnya, berbagai usaha intervensi dan kolaborasi dengan masyarakat serta swasta (dunia usaha) harus dapat melahirkan negara yang pintar atau smart state yang dapat menjamin keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang berbasis lingkungan hidup untuk mencapai tujuan bersama dalam mensejahterakan masyarakatnya.[]

*) Penulis Adalah Aktivis/Pemerhati Lingkungan Aceh, Akademisi/Dosen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah (USM)