Aroma Mie Tuna dan Nostalgia Yatim Tsunami di Panti Johor Aceh

Foto dokumen anak yatim korban tsunami di Asrama Anak Yatim Johor Aceh di kawasan Ajuen Jeumpet, Aceh Besar pada tahun 2007. Kini mereka telah menjelma menjadi pemuda dengan jalan hidup masing-masing. (Dokumen Pribadi for Portalnusa.com)

SELEPAS Isya, Jumat, 19 April 2024/10 Syawal 1445 H, rombongan tamu dari Malaysia singgah di Cek Di Kupi, Jalan Kebon Raja, Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Di cafee tersebut rombongan tak hanya mencicipi kelezatan mie tuna (mie suree) tetapi juga bersilaturahmi dengan anak yatim tsunami yang pernah menjadi penghuni Panti Johor Aceh di kawasan Ajuen Jeumpet, Aceh Besar. “Kini anak-anak itu sudah besar-besar dan malam ini bertemu dengan ayah asuh mereka dari Malaysia. Ini sangat hebat dan mengharukan,” kata Dr. Bustamam Ali, M.Pd, pemilik usaha mie tuna dan mie caleue di Banda Aceh kepada Nasir Nurdin, Pemred Portalnusa.com yang juga Ketua PWI Aceh, malam itu.

Pertemuan anak muda yang dulunya penghuni Panti Anak Yatim (Korban Tsunami) Johor Aceh dengan orang tua mereka dari Malaysia yang memfasilitasi pembangunan panti tersebut sekitar 20 tahun lalu. Pertemuan berlangsung di Cek Di Kupi Ulee Kareng, Banda Aceh sambil menyantap mie tuna, Jumat malam, 19 April 2024. (Foto Portalnusa.com)

Di lantai II Cek Di Kupi, terlihat puluhan orang duduk melingkari meja panjang  sambil menikmati berbagai menu khas, di antaranya mie tuna yang kini sedang jadi incaran penikmat kuliner di Banda Aceh.

Ustadz Abdullah bin Abdul Wahab menceritakan sejarah pembangunan Panti Anak Yatim Johor Aceh kepada Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin di Cek Di Kupi Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat malam, 19 April 2024. (Foto Jamaluddin/Kepala SMAN 2 Banda Aceh)

Di antara puluhan tamu Cek Di Kupi malam itu, termasuk 20-an orang anak muda ‘alumni’ Panti Anak Yatim Johor Aceh di kawasan Ajuen Jeumpet, Kabupaten Aceh Besar.

Bersama mereka ada sejumlah orang tua yang tak lain adalah ‘ayah’ dari anak-anak muda tersebut  yang telah memberikan tempat untuk mereka di sebuah penampungan anak-anak yatim korban tsunami sejak 2006 silam.

“Kini mereka telah menjelma menjadi sosok-sosok pemuda yang menjalani berbagai macam profesi. Ada yang menjadi polisi, pengusaha, bahkan juru masak profesional (chef) . Mereka adalah anak-anak yatim yang ditampung di Panti Anak Yatim Johor Aceh sejak 2006,” kata Ustadz Abdullah bin Abdul Wahab, salah seorang putra Aceh asal Pulau Nasi, Aceh Besar yang menjadi penghubung pejabat dan pengusaha Malaysia untuk membantu anak-anak korban tsunami di Aceh.

Ustadz Abdullah yang berada di Malaysia sejak 1993, bekerja sebagai pengajar di Institut Tahfiz Alquran dan Pengajian Islam (Al-Azhar) Pulau Pinang.

“Pada tahun 1998 saya pindah ke Kuala Lumpur karena pada waktu itu istri menyambung belajar di Universitas Malaya mengambil master di sana. Dengan begitu saya pun tinggal di Kuala Lumpur sehinggalah pada tahun 2004 terjadi bencana tsunami,” ujar Ustadz Abdullah yang juga beristri orang Aceh dan sama-sama mendapat kesempatan bekerja di Malaysia.

Pascatsunami banyak warga di Malaysia, termasuk pengusaha dan utusan dari pejabat pemerintahan yang menghubungi Ustadz Abdullah untuk menjembatani penyaluran bantuan atau pendampingan di lokasi bencana.

Owner Mie Caleue dan Mie Tuna di Banda Aceh, Bustamam Ali foto bersama dengan tamu dari Johor, Malaysia seusai bertemu dengan eks penghuni Panti Anak Yatim Johor Aceh, Jumat malam, 19 April 2024.(Foto Portalnusa.com)

“Saya pulang ke Banda Aceh mendampingi saudara-saudara dari Malaysia yang datang membantu. Saya fasilitasi rumah-rumah saudara yang bisa dijadikan tumpangan. Termasuk di antaranya Dato’ Mukhlis yang merupakan anak dari Perdana Menteri Malaysia, Dr Mahathir Mohammad,” ujar Ustadz Abdullah mengenang peristiwa 20 tahun lalu.

Pada minggu-minggu awal pascatsunami itu pula, Ustadz Abdullah bertemu dengan perwakilan dari Johor, Malaysia yaitu Dato’ Fuad Zarkasyi yang merupakan sahabat baik Gubernur Johor.

Ketika Dato’ Fuad kembali ke Kuala Lumpur, dia dikontak oleh Gubernur Johor menanyakan apa yang bisa dibantu untuk Aceh. Maka, Dr. Fuad pun kembali lagi ke Aceh bertemu Ustadz Abdullah mendiskusikan apa yang bisa dibantu untuk Aceh selain makanan dan bantuan darurat lainnya yang sudah terlalu banyak.

“Setelah berdiskusi dengan Dr. Fuad, beliau sependapat untuk membangun panti penampungan anak yatim korban tsunami. Hasil diskusi itu disampaikan ke Gubernur Johor dan meminta Dr. Fuad melakukan berbagai persiapan termasuk mengurus tanah wakaf untuk didirikan panti,” kata Ustadz Abdullah.

Atas kepercayaan dari Gubernur Johor, Ustadz Abdullah melobi orang-orang terbaik di Aceh termasuk Pak Lazuardi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD). Maka diberikanlah sebidang tanah di Desa Punie, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.

Tanah di Punie diserahkan kepada Konsulat Jenderal Malaysia Medan untuk dibangun Rumah Anak Yatim Melaka.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pak Lazuardi bertemua dengan Pak Zulfitri sama-sama BPD.

“Pak Lazuardi meminta Pak Zulfitri mewakafkan tanah untuk pembangunan rumah anak yatim korban tsunami. Maka diwakafkanlah sebidang tanah seluas 1.200 M2 di Ajuen Jeumpet. Di atas tanah itulah, pada akhir 2005 dibangun rumah anak yatim korban tsunami Aceh,” ujar Ustadz Abdullah.

Pembangunan dilaksanakan oleh Dato’ Hj Abdul Latif bin Hj Bandi yang merupakan sahabat dari Dr. Fuad Zarkasyi dan sama-sama orang kepercayaan Gubernur Johor. Dato’ Abdul Latif ikut dalam rombongan ke Cek Di Kupi, malam itu.

“Alhamdulillah, dalam waktu setahun Panti Anak Yatim Johor Aceh selesai dibangun dengan anggaran sekitar Rp 3,5 miliar,” ungkap Ustadz Abdullah.

Pada tahap awal, terkumpul anak yatim dari berbagai daerah sebanyak 20 orang. Bukan pekerjaan mudah untuk membawa anak-anak yatim itu karena banyak orang-orang luar (dengan tujuan tertentu) mengambil anak yatim korban tsunami dari Aceh.

“Kami yakinkan masyarakat atau anggota keluarga mereka yang masih tersisa dengan mengatakan bahwa mereka akan diasuh di panti yang statusnya jelas dan orang-orang yang akan mengasuh juga jelas identitasnya,” lanjut Abdullah menceritakan saat-saat awal membuka panti.

Dalam perkembangan selanjutnya, kepercayaan terhadap Panti Anak Yatim Johor Aceh terus meningkat. Bahkan yang diasuh lebih lanjut termasuk anak yatim dan fakir miskin non-tsunami.

Operasional panti efektif sejak pertengahan 2006 hingga 2014 yang karena berbagai kendala menyebabkan operasional terhenti, dan anak-anak asuh banyak yang keluar menjalani berbagai aktivitas atau melanjutkan pendidikan di luar panti.

Kini, setelah sekitar 20 tahun, anak-anak yatim korban tsunami itu telah menjelma menjadi pemuda berusia rata-rata 25 tahun. Mereka telah memiliki jalan hidup masing-masing. Ada keinginan mereka untuk bisa kembali—paling tidak untuk memberikan sesuatu kepada panti yang pernah menjadi rumah mereka. Keinginan itu mereka sampaikan ketika bertemu ayahanda mereka dari Johor, Malaysia di Cek Di Kupi, sambil menyantap mie tuna.

Sang ayah merespons ‘curhat’ pemuda tersebut dengan menyarankan agar mereka tetap menjaga semangat persaudaraan dan mengikatnya dalam satu wadah Alumni Panti Yatim Johor Aceh agar jejak sejarah yang mereka pernah lalui tidak hilang dalam lintasan waktu.

Saran yang disampaikan oleh para tokoh dari Johor disambut positif oleh Ustadz Abdullah Abdul Wahab dan Kepala SMA Negeri 2 Banda Aceh, Jamaluddin yang pernah menjadi guru untuk anak-anak yatim dari Panti Johor Aceh di beberapa sekolah tempat dia bertugas.

Gagasan membentuk alumni untuk Anak Yatim Panti Johor Aceh juga direspons positif oleh Bustaman Ali, Penasehat PWI Aceh yang juga Pakar Komunikasi dan Wakil Rektor III Universitas Iskandar Muda (Unida) Banda Aceh.

Pertemuan di Cek Di Kupi berakhir dalam suasana berbalut keharuan, iringan doa dan aroma mie tuna yang merambat perlahan dalam keheningan malam. []