Zaini Djalil soal Status TMS terhadap Bustami-Fadhil: KIP Salah Memahami Aturan Hukum

Zaini Djalil. (Dok Puja TV)

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Keputusan KIP Aceh yang menetapkan status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk pasangan calon (paslon) cagub-cawagub Aceh, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi memantik tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk praktisi hukum Zaini Djalil, SH.

Zaini Djalil selaku Ketua Tim Pansus Pembentukan dan Pemilihan Anggota KIP pertama di Aceh menyatakan kekecewaan dengan sikap Komisioner KIP Aceh sekarang.



Baca: Bustami Respons Status TMS: “Ini Penzaliman, Saya Akan Lawan!”

Dia menjelaskan tentang sejarah kenapa nomenkaltur KIP Aceh berbeda dengan induknya KPU RI. Itu disebabkan dorongan semangat perubahan dan kekhususan Aceh pasca lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istinewa Aceh.

Baca: KIP Nyatakan Paslon Bustami-Fadhil Tak Memenuhi Syarat, PAS Aceh: Ini Penzaliman

“Sesuai dengan akronimnya Komisi Independen Pemilihan maka harus memiliki independensi, integritas dan profesionalisme yang tinggi sebegai penyelenggara pemilu di Aceh,” kata Zaini kepada media ini, Minggu, 22 Agustus 2024.

Namun, lanjut Zaini semangat perubahan tersebut sekarang semakin tergerus dengan kepentingan politik praktis dalam setiap tindakan, perbuatan dan keputusan KIP Aceh.

“Ini sangat disayangkan dan sangat memalukan,” tandas praktisi hukum tersebut.

Baca: Dimintai Tanggapan Soal TMS Bustami-Fadhil, Agusni AH: Ya Demikianlah Kondisinya

Berikut pointer-pointer tanggapan Zaini Djalil terhadap berita acara KIP Aceh yang menetapkan status TMS terhadap cagub-cawagub Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi:

  1. Bahwa Aceh memilki kekhususan dalam tatanan hukum nasional memang harus sama-sama kita hargai dan taati sebagai orang Aceh;
  2. Bahwa apabila merujuk kepada Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Pasal 24 e dengan jelas menyatakan pasangan calon “bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta peraturan pelaksanaannya yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani di depan lembaga DPRA/DPRK”;
  3. Bahwa syarat untuk penandatanganan pernyataan tersebut merupakan kewenangan KIP Aceh untuk memfasilitasi pasangan calon agar dapat melakukan penandatanganan pernyataan sebagaimana bunyi Pasal 24 e tersebut kepada lembaga DPRA;
  4. Bahwa sudah menjadi tugas dan tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu untuk melaksanakan penandatanganan pernyataan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di depan lembaga DPRA. Jangan karena akibat ketidakmampuan KIP Aceh membangun komunikasi untuk menjalanakan tugas dan fungsi sebagai penyelanggara pilkada guna melaksanakan penandatanganan pernyataan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di hadapan DPRA sehingga merugikan pasangan salah satu calon dengan keputusan KIP Aceh menyatakan pasangan calon tersebut TMS. Ini adalah tindakaan tidak berdasar hukum dan hal demikian dapat merusak tatanan hukum penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KIP Aceh;
  5. Bahwa menurut berita yang beredar sudah dua kali pasangan calon yang TMS tersebut menyurati KIP Aceh perihal penandatanganan pernyataan isi pasal 24 e Qanun 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di depan lembaga DPRA. Hanya untuk memenuhi hasrat politik DPRA yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum lagi karena isi pasal 24 e Qanun No 7 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota telah diubah;
  6. Bahwa keputusan KIP Aceh yang menetapkan salah satu pasangan calon dinyatakan TMS sangat bertentangan dengan Qanun No. 7 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Terkesan KIP Aceh pura-pura tidak paham hukum hanya demi kepentingan politik praktis sehingga mencoreng keindependensian KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu dan tentu hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum;
  7. Bahwa apabila mencermati dan merujuk kepada Qanun No. 7 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Pasal 24 e sudah sangat jelas isi pasalmya menyatakan pasangan calon “bersedia menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat istimewa dan khusus yang berlaku untuk Aceh, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang telah ditandatangani bermaterai cukup”;
  8. Bahwa apabila merujuk dan mengacu pada bunyi pasal 24 e yang telah diubah dengan Qanun No. 7 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sangat jelas dan nyata Pasal 24 e tersebut telah mereduksi kewenangan DPRA terhadap lolos atau tidak lolos layak atau tidak layak pasangan calon dinyatakan menjadi calon gubernur dan wakil gubernur. Karena dalam pasal 24 e perubahan tersebut menyatakan pasangan calon cukup hanya membuktikan surat pernyataan pasangan calon bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan khusus di Aceh dalam bentuk pernyataan bermaterai cukup;
  9. Bahwa Keputusan KIP Aceh Tanggal 21 September 2024 terhadap TMS salah satu pasangan calon adalah cacat hukum dan unprosedural dan tidak memilki kepastian hukum;
  10. Bahwa KIP Aceh apabila merujuk kapada Qanun Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sudah seharusnya KIP Aceh menerapkan dan menggunakan isi pasal 24 e qanun terbaru yaitu No. 7 Tahun 2024, bukan menggunakan isi pasal 24 e qanun lama No. 12 Tahun 2016. Sehingga atas tindakan KIP Aceh tersebut sudah seharusnya dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hukum dalam proses penyelenggaraan pemilu;
  11. Bahwa KIP Aceh telah memberikan edukasi hukum yang sangat tidak baik bagi masyarakat terhadap proses demokrasi yang di Aceh;
  12. Bahwa KIP Aceh telah gagal dan salah dalam memahami aturan hukum dalam proses penetapan pasangan calon karena aturan yang semestinya digunakan KIP Aceh adalah isi pasal 24 e dalam qanun terbaru No. 7 Tahun 2024 yang disahkan tanggal 5 Juli 2024 sehingga berlaku untuk tahapan dan jadwal Pilkada Aceh 2024 yang dimulai pada Agustus 2024;
  13. Bahwa KIP Aceh yang telah menggunakan isi pasal 24 e Qanun No. 12 Tahun 2016 yang jelas-jelas sudah dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum karena sudah diubah adalah perbuatan melawan hukum dan produk hukum keputusan KIP Aceh terhadap salah satu pasangan calon dinyatakan TMS adalah cacat hukum;
  14. Bahwa KIP Aceh telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum dengan berlindung kepada lembaga DPRA yang seolah-olah DPRA-lah sebagai salah satu lembaga yang sah dan resmi serta memiliki kekuasaan super power untuk menentukan lolos atau tidak lolos, layak atau tidak layak pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sebagai pasangan calon peserta pilkada.[]