LEPADSI: Perlu Gerakan Baru untuk Memperkuat Syariat Islam di Aceh

Dr. Amri Fatmi, Lc, MA yang merupakan salah seorang narasumber Diskusi Panel dan Buka Puasa Bersama yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam (LEPADSI) memaparkan pandangannya tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada kegiatan yang digelar di kediaman Ketua Umum LEPADSI, Azwar Abubakar di Banda Aceh, Minggu, 9 Maret 2025. (Foto Akhyar/Theacehpost.com)

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam (LEPADSI) melaksanakan diskusi panel menghadirkan sejumlah tokoh berpengaruh di Aceh yang dirangkai buka puasa bersama di kediaman Ketua Umum LEPADSI, Dr. Ir. H. Azwar Abubakar, MM di Banda Aceh, Minggu, 9 Maret 2025.

Azwar Abubakar dalam sambutannya mengatakan, pemerintah perlu menghelat sebuah kekuatan baru untuk menggerakkan syariat Islam di level bawah. Menurutnya, kondisi masyarakat Aceh selama ini memiliki visi berbeda terkait syariat Islam, sehingga diperlukan sebuah gerakan baru untuk memperkuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

“Syariat Islam ini bukan program, tetapi harus menjadi gerakan. Keseharian sosial masyarkat yang syar’i perlu kita gerakkan, karena ini menjadi tanggung jawab kita. Jangan sampai dibilang orang Swedia itu lebih islami dari pada negara yang bersyariat Islam,” ujar Dr Azwar Abubakar.

Azwar juga menyinggung terkait dengan isu yang menjadi tantangan masyarakat saat ini. Menurutnya, persoalan akidah, pendidikan dan ekonomi, harus didahulukan sebelum syariat Islam dibicarakan ke arah yang lebih jauh.

“Kita perlu memperbaiki akidah, akhlak, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan ekonomi berbasis syariah. Jika masyarakatnya kelaparan, sulit buat kita berbicara syariat Islam,” jelasnya.

Lebih dari sekadar hukuman cambuk

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kajati Aceh, Muhibuddin, SH, MH, menyatakan bahwa Aceh merupakan daerah istimewa yang memiliki kewenangan untuk memberlakukan hukum jinayah. Hanya saja, paradigma yang terbangun selama ini bahwa penegakan syariat Islam itu lebih condong kepada eksekusi hukuman cambuk. Padahal, kata dia, memaknai syariat Islam lebih dari sekadar hukuman cambuk.

“Apakah kita memang sekadar merayakan atau memproklamirkan syariat Islam itu dengan cambuk-cambuk saja. Sementara biaya untuk mengeksekusi cambuk itu luar biasa, sehingga kadang-kadang tidak bisa dieksekusi oleh jaksa karena tidak ada anggarannya. Ini menurut saya adalah hal yang mubazir yang tidak perlu sebenarnya,” kata Muhibuddin yang juga Wakajati Aceh.

Di sisi lain, ulama Aceh, Dr. Tgk. H. Amri Fahmi Anziz, Lc, MA meminta kepada pemerintah agar membangun tren di kalangan muda-mudi tentang pemahaman dan penerapan syariat Islam yang kaffah.

Menurutnya, pemerintah perlu hadir untuk mempengaruhi masyarakat di level bawah agar melihat syariat Islam dengan cara yang megah, bukan dengan ancaman hukuman cambuk dan sebagainya.

“Sejarah telah membuktikan bahwa Islam dengan syariat Islamnya yang konstan mampu menjadi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh warganya,” kata Tgk. Amri.

“Ini disebabkan karena para mujtahid di masanya betul-betul memahami realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua agar bagaimana membentuk mujtahid di Aceh yang bisa menerjemahkan syariat Islam sesuai dengan realitas yang terjadi saat ini,” pungkasnya.

Forum diskusi dan buka puasa bersama ini dihadiri sejumlah stakeholder ternama di Aceh. Gubernur Aceh diwakili Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Muhammad Junaidi SH MH.

Kemudian terlihat hadir juga Ketua DPRK Banda Aceh, Irwansyah ST; Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis ST DEA; Kepala Kanwil Kemenag Aceh, Drs H Azhari; dan puluhan stakeholder Aceh lainnya.[]