Akselerasi Sektor Migas dan Tambang Aceh: Menuju Tata Kelola Berkelanjutan atau Sekadar Target Devisa?
Oleh TM Zulfikar, Pemerhati Lingkungan Aceh
PEMERINTAH Aceh sedang memacu langkah dalam pengembangan sektor minyak, gas, dan pertambangan (migas-tambang) sebagai jalan pintas menuju kesejahteraan.
Namun, di tengah gemuruh jargon “kemakmuran rakyat” dan “PAD untuk Aceh Maju,” kita patut bertanya: benarkah jalur ini sedang diarahkan pada tata kelola yang berkelanjutan, atau sekadar mempercepat laju eksploitasi sumber daya tanpa fondasi keberlanjutan?
Di atas kertas, sektor ini menjanjikan. Aceh memiliki potensi migas dan tambang yang besar—mulai dari gas alam di Arun, Blok B, wilayah Andaman, hingga potensi emas dan batu bara di pedalaman.
Tetapi, sejarah panjang eksploitasi SDA di Aceh adalah kisah tentang “kutukan kekayaan alam”—konflik, perusakan lingkungan, dan rakyat yang tetap miskin di tengah kekayaan melimpah.
Akselerasi yang sedang didorong tanpa disertai reformasi tata kelola adalah seperti menginjak gas tanpa rem.
Pertanyaan kritis yang harus dijawab: Di mana posisi masyarakat dalam proses ini? Sejauh mana kapasitas kelembagaan Aceh—baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat sipil—siap menjaga agar eksploitasi sumber daya tidak berujung pada bencana ekologis dan sosial?
Tata kelola berkelanjutan bukan sekadar label. Ia menuntut partisipasi publik yang inklusif, keterbukaan informasi, pengawasan independen, dan jaminan hak masyarakat adat atas tanah dan ruang hidupnya.
Jika tata kelola hanya berarti “bagi hasil” dan “izin cepat keluar,” maka yang sedang dibangun bukanlah kesejahteraan, melainkan fondasi kerusakan jangka panjang.
Aceh jangan terjebak dalam euforia investasi dan lupa bahwa sumber daya itu terbatas, sementara daya rusaknya nyaris tak terbatas.
Kita tidak kekurangan contoh buruk: mulai dari lubang tambang yang ditinggalkan menganga, air sungai yang tercemar logam berat, hingga masyarakat lokal yang hanya kebagian debu dan konflik sosial.
Sudah waktunya Aceh mengubah paradigma: dari eksploitasi menjadi transformasi.
Setiap langkah dalam sektor migas-tambang harus menjawab tiga pertanyaan: Apakah ini ramah lingkungan? Apakah ini memberi nilai tambah lokal? Apakah masyarakat menjadi subjek, bukan objek?
Jika tidak, maka akselerasi ini hanyalah sebuah perlombaan menuju jurang yang sama: eksploitasi berbungkus pembangunan.[]