20 Tahun Damai Aceh: Pohon Gugur, Janji Menguap
Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, Pemerhati Lingkungan Aceh.
DUA puluh tahun lalu, Aceh menandatangani damai. Senjata disimpan, tapi ternyata gergaji mesin malah dikeluarkan. Bunyi letusan diganti deru chainsaw lebih stabil, lebih konsisten, dan sayangnya, lebih mematikan bagi hutan.
Dulu orang takut ke hutan karena konflik, sekarang takut karena longsor. Ironi paling menyedihkan: yang dulu dijaga dengan darah, sekarang dilepas dengan tanda tangan.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang katanya “warisan dunia”, diperlakukan seperti lembaran tanah kosong di game SimCity: bisa diubah jadi tambang, kebun sawit, atau proyek jalan sesuai mood pejabat dan investor.
Setiap bencana banjir bandang dan kekeringan di Aceh, kita mendengar penjelasan resmi yang sudah seperti lagu lama: “Ini akibat curah hujan ekstrem.” Padahal semua tahu, hujan tak akan mengubah rumah jadi kolam kalau hutan di hulu masih utuh. Tapi, menyalahkan cuaca memang lebih aman ketimbang menyalahkan izin tambang.
Selama 20 tahun ini, Aceh tampaknya sukses membangun narasi “pembangunan berkelanjutan”, tapi berkelanjutannya justru kerusakan.
Pohon tumbang berkelanjutan, habitat punah berkelanjutan, dan izin proyek terus keluar berkelanjutan. Lingkungan jadi korban, tapi korbannya tak pernah masuk daftar penerima kompensasi.
Jika perdamaian adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan alam, maka Aceh sepertinya lebih memilih hubungan “toxic”, mengambil, menguras, lalu meninggalkan.
Dan bila pohon terakhir tumbang, sungai terakhir kering, satwa terakhir punah, mungkin saat itu kita baru sadar bahwa damai yang kita banggakan hanyalah damai di undangan seremoni, bukan damai yang hidup di tanah ini.[]