IDeAS: 13 Perusahaan Kuasai 24 Ribu Hektare Tambang Emas di Aceh

Munzami HS

PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) mengungkapkan temuan terbaru mengenai penerbitan izin tambang emas di Aceh.

Berdasarkan data publikasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh per Juni 2025, terdapat 64 Izin Usaha Pertambangan (IUP) sektor mineral dan batubara yang aktif di Aceh dengan total luas wilayah mencapai 110.655 hektare.

Dari jumlah tersebut, 13 IUP merupakan tambang emas dengan total luas mencapai sekitar 24.045 hektare.

Direktur IDeAS, Munzami HS, menjelaskan bahwa izin-izin tambang emas ini tersebar di enam kabupaten, yaitu Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Nagan Raya, dan Aceh Barat Daya.

Mayoritas izin diterbitkan dalam satu hingga dua tahun terakhir, dengan enam izin baru pada 2024 dan dua lagi pada 2025.

“Fenomena ini terjadi di tengah gencarnya penertiban tambang rakyat yang dianggap ilegal. Publik berhak bertanya mengapa izin baru justru terus bermunculan,” ujar Munzami, Kamis 9 Oktober 2025.

Beberapa perusahaan pemegang IUP antara lain PT Aceh Jaya Alam Mineral (4.877 Ha), PT Draba Mineral Internasional (4.569 Ha), PT Magellanic Garuda Kencana (3.250 Ha), PT Abdya Mineral Prima (2.319 Ha), dan PT Selatan Aceh Emas (1.648 Ha). Sisanya merupakan perusahaan kecil hingga menengah, namun total luasannya tetap mencapai lebih dari 24 ribu hektare.

Sebagian izin berlaku antara delapan hingga sepuluh tahun, termasuk wilayah yang sebelumnya menjadi lokasi tambang rakyat.

Munzami menyoroti ironi situasi ini. Di satu sisi, tambang rakyat ditertibkan, sementara korporasi besar memperoleh izin baru dengan mudah.

“Jangan-jangan kebijakan penertiban tambang rakyat justru membuka jalan bagi korporasi besar. Semoga hal itu tidak terjadi,” katanya.

IDeAS mendorong Pemerintah Aceh untuk memberlakukan kembali moratorium penerbitan IUP minerba, seperti yang pernah dilakukan pada masa Gubernur Zaini Abdullah dan Irwandi Yusuf antara 2014-2018.

Moratorium diperlukan untuk mengevaluasi tata kelola tambang dan mencegah penyalahgunaan izin.

“Jangan sampai izin untuk bijih besi atau tembaga digunakan menambang emas, seperti beberapa kasus sebelumnya,” ujar Munzami.

Selain moratorium, IDeAS meminta DPRA dan Pemerintah Aceh memperkuat pengawasan terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi 64 perusahaan pemegang IUP.

Pengawasan berkala dan transparan sangat penting untuk mencegah konflik sosial maupun kerusakan lingkungan.

Munzami juga menekankan perlunya revisi Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara agar disesuaikan dengan UU Minerba Nomor 2 tahun 2025.

Revisi ini penting untuk mengakomodasi pengaturan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

“Negara harus hadir untuk menata, bukan menyingkirkan rakyat. Legalitas tambang rakyat harus menjadi prioritas,” katanya.

Selain itu, revisi UUPA Nomor 11 tahun 2006 juga perlu dilakukan agar sinkron dengan regulasi minerba nasional dan memperjelas pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan Aceh.

“Jika regulasi tumpang tindih, rakyat kecil akan terus menjadi korban,” tegas Munzami.

IDeAS menegaskan, persoalan tambang di Aceh bukan hanya soal izin, melainkan keadilan pengelolaan sumber daya.

Ribuan warga menggantungkan hidup dari tambang emas tradisional yang kini dikategorikan ilegal.

“Kalau  kebijakan ini tidak diperbaiki, Aceh bisa menghadapi konflik baru. Rakyat tersingkir, tanah rusak, dan kekayaan alam berpindah tangan,” tutup Munzami HS. []

Berikan Pendapat