Dekat Pabrik, Harga Semen Lebih Mahal, Pembalikan Logika

TM Zulfikar

Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, Pemerhati Sosial & Lingkungan Aceh

ADA yang terasa janggal di Aceh. Semen Andalas, produk yang pabriknya berdiri kokoh di Lhoknga, Aceh Besar, justru dijual lebih mahal di Aceh dibandingkan di Medan, Sumatera Utara. Padahal, secara logika sederhana, yang paling dekat dengan sumber produksi seharusnya menikmati harga paling murah. Tapi kenyataan berkata lain.

Hasil kunjungan Komisi VII DPR RI ke pabrik PT Solusi Bangun Andalas (SBA) beberapa waktu lalu mengungkap fakta menarik: harga semen Andalas di Aceh mencapai Rp64.000–66.000 per sak, sementara di Medan, Sumatera Utara hanya sekitar Rp51.000 per sak. Di daerah kepulauan seperti Simeulue, harganya bahkan pernah menyentuh Rp70.000 per sak.

Pertanyaan pun muncul: kenapa masyarakat yang tinggal di “halaman rumah” pabrik harus membayar lebih mahal dibanding mereka yang jauh di seberang provinsi?

Dalam ilmu ekonomi dasar, semakin dekat jarak antara produsen dan konsumen, seharusnya semakin murah harga barang. Biaya angkut rendah, distribusi lebih singkat, dan risiko logistik lebih kecil. Tapi di Aceh, logika itu seolah dibalik.

Berbagai alasan dikemukakan: ongkos distribusi ke daerah terpencil, stok terbatas di gudang distributor, hingga naiknya harga energi seperti batubara. Namun, penjelasanq itu tetap sulit diterima nalar, karena faktanya wilayah seperti Medan, yang jauh dari sumber produksi, bisa menikmati harga yang lebih murah.

Artinya, ada sesuatu yang tidak beres dalam rantai pasok atau kebijakan harga semen Andalas di Aceh. Mungkin di level distribusi, mungkin juga di manajemen kebijakan perusahaan.

Bagi masyarakat, semen bukan sekadar bahan bangunan. Ia simbol harapan: untuk membangun rumah, masjid, sekolah, atau warung kecil. Ketika harga semen naik, beban masyarakat pun bertambah.

Lebih ironis lagi, masyarakat Aceh yang menanggung dampak langsung dari keberadaan pabrik, mulai dari debu, lalu lintas berat, hingga penggunaan sumber daya alam, justru tidak menikmati harga yang lebih bersahabat. Mereka menjadi korban paradoks: daerah penghasil tapi bukan daerah yang menikmati manfaat.

PT SBA dan para pemangku kebijakan perlu membuka mata. Publik berhak tahu bagaimana struktur harga semen di Aceh bisa lebih tinggi dibanding daerah lain.

Jika memang faktor logistik menjadi penyebab, harus ada langkah konkret untuk menekan biaya tersebut. Pemerintah Aceh pun perlu turun tangan, memastikan harga bahan bangunan strategis seperti semen tetap terjangkau bagi rakyatnya.

Tidak boleh ada kesan bahwa perusahaan besar hanya mencari untung dari bumi Aceh, tapi tidak memberi manfaat nyata bagi masyarakatnya.

Harga semen mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang. Tapi bagi rakyat kecil yang sedang membangun rumah, selisih tiga ribu rupiah per sak sangat berarti.

Aceh sudah seharusnya tidak lagi menjadi contoh “daerah produsen yang membayar paling mahal”. Dekat pabrik seharusnya lebih mudah, murah, dan adil. Bukan sebaliknya.

Karena keadilan ekonomi tidak diukur dari seberapa banyak yang diproduksi, tapi dari seberapa adil hasilnya dirasakan oleh rakyat yang tinggal di sekitarnya.[]

Berikan Pendapat