Banjir Mentalitas
Oleh Darmansyah
BUKAN hanya saya. Teman saya yang lebih muda dan pernah jadi pejabat lingkungan hidup sudah lama tahu adanya perubahan: banjir sering datang tanpa pola musiman yang jelas.
Kini siapapun tahu curah hujan yang menjadi “kambing belang” banjir itu karena curah hujannya sangat tinggi. Selama tujuh hari. Mencapai lima ratus milimeter.
Bahkan siapa pun juga tahu banjir menghantam wilayah bawah. Berarti permainan hutan untuk peruntukan lain sangat sembrono.
Banjir seperti yang terjadi sejak pekan lalu karena hutan dihancurkan untuk bermacam kepentingan. Protes tak mau didengar.
Ada jerat hukum yang disiapkan untuk si tukang protes.
Dan kala hutan mereka hilang, bencana pun datang….Itulah sebuah kenyataan…
Ia selalu mengulang-ulang ucapan yang menggugat: gak hanya manusia yang marah pada manusia. Alam pun marah pada keserakahan manusia.
Kepada saya setiap kali bertemu ia sering bicara tentang frontier sawit yang telah mengubah cara air bergerak dalam sebuah kawasan lanskap. Ia tahu cerita frontier tidak berhenti di sawit.
Dalam lingkungan hidup, “frontier” merujuk pada “mentalitas.” Pola pikir yang melihat alam sebagai sumber daya yang gak terbatas untuk dieksploitasi dan bukan bagian integral dari alam.
Istilah ini juga digunakan untuk merujuk pada isu-isu lingkungan yang sedang berkembang dan berpotensi menjadi masalah besar.
Di sebuah hari, dulunya, ia pernah marah besar ketika rawa Kuala Tripa di Nagan Raya di-“jual” untuk areal sawit yang menyebabkan hilangnya sebuah nama negeri Rantau Kepala Gajah.
Ia tahu siapa menteri kehutanan yang melepaskan kawasan hutan yang menyebabkan gajah sumatera, harimau, siamang dan monyet kehilangan rumah tinggalnya.
Ia sempat memaki tentang kekurang-ajaran sang menteri yang mengubah kawasan itu itu menjadi kebun sawit setelah ia tak mampu menghambat keluarnya perizinan pelepasannya.
Tentang kekurang-ajaran pelepasan hutan rawa tripa ini ia selalu mengejek saya sebagai “canang kosong.” Canang dari rangkaian tulisan saya yang dentangnya hang..hing..heng…
Ia juga gak percaya dengan banyaknya pembangunan yang dipromosikan sebagai bagian dari transisi energi hijau yang ternyata mengubah kawasan secara drastis.
Ia memberi contoh tentang akses jalan yang memotong lereng curam, terowongan melemahkan stabilitas tanah, dan alur sungai dimodifikasi demi konstruksi.
Ia pernah menulis dengan sangat tajam tentang perubahan besar seperti itu memperbesar risiko banjir bandang dan longsor Banjir bandang yang menjadi petaka. Seperti hari-hari ini.
Pengalamannya sebagai orang lingkungan menunjukkan, infrastruktur besar termasuk yang disebut “hijau” tidak pernah benar-benar netral bagi ekologi.
Selama bekerja di ekosistem politik banjir negeri ini ia menemukan pola serupa bahwa negara cenderung memandang banjir sebagai persoalan teknis.
Persoalan milimeter dan waktu yang menjadi alasan banjir hanya sebagai metafora cuaca. Metafora iklim.
Solusinya, pun teknis seperti tanggul, normalisasi, kolam retensi. Langkah-langkah itu memang mengalirkan air, tetapi tidak menyentuh tata kelola ruang yang menjadi akar masalah.
Padahal, banjir adalah konsekuensi langsung dari keputusan politik yang mengubah ruang ekologi, mulai dari izin pembukaan hutan yang makin luas.
Juga konsesi yang menumpuk di kawasan sensitif, hingga proyek besar berjalan tanpa mempertimbangkan daya dukung lanskap.
Di titik ini berbagai “lapisan frontier” saling bertemu. Lapisan-lapisan itu datang dari periode sejarah yang berbeda tetapi menumpuk pada ruang yang sama.
Perjalanan ini panjang. Dekade per dekade. Dimulai dari era perkebunan besar. Membuka hutan dan mengubah struktur dasar daerah aliran sungai.
Di era pasca-reformasi kekurang- ajaran ini berkecambah. Catatlah booming sawit memperluas pembukaan lahan hingga ke hulu-hulu sensitif.
Kini, proyek energi dan infrastruktur besar masuk makin dalam ke wilayah yang rapuh secara ekologis, memotong lereng dan memodifikasi sungai.
Lapisan kolonial, sawit, dan infrastruktur modern ini saling menimpa dan ketika hujan besar turun, semua intervensi itu melebur dan memperkuat besarnya banjir yang kita saksikan hari ini.
Di tengah tekanan frontier yang berlapis-lapis itu, berbagai komunitas berusaha mempertahankan ruang hidupnya.
Mereka menegaskan siapa yang mengelola hutan, sumber air, dan tanah adat.
Cara ini mereka tempuh untuk menantang peta resmi yang seringkali lebih mengikuti batas-batas konsesi daripada batas ekologis. Tapi mereka tetap sebagai orang yang disalah-kalahkan.
Mereka tak pernah mendapatkan kembali ruang yang menjadi miliknya dan tetap terpinggirkan oleh logika ekstraksi.
Peta tandingan bukan sekadar dokumen, ia adalah pernyataan bahwa ruang hidup tidak boleh tereduksi menjadi blok-blok konsesi.
Secara teori, praktik ini tidak selalu cukup kuat menghadapi laju frontier yang didorong oleh regulasi dan investasi.
Meski demikian, proses pembuatan peta yang menantang atau melawan peta resmi dengan cara menciptakan representasi alternatif, seringkali untuk menunjukkan narasi yang tidak terlihat.
Diabaikan oleh peta konvensional untuk menyuarakan perspektif mereka sendiri tentang penggunaan lahan, sejarah, atau isu-isu lain yang terabaikan.
Mereka menandai ulang ruang ekologis yang seharusnya terlindungi dan menyuarakan masa depan lebih adil bagi hulu dan hilir.
Pengalaman ketika hari banjir ini datang menunjukkan bahwa inisiatif warga saja tidak cukup bila negara tetap mempertahankan model pembangunan berbasis ekspansi ekstraktif.
Lihatlah peta bentangan sawit, tambang, maupun infrastruktur energi yang melilit. Aceh contoh kasus.
Banjir yang mengenaskan hari ini adalah alarm keras dari sebuah lanskap yang dipaksa bekerja di luar kapasitasnya terlalu lama.
Sang teman yang orang lingkungan menuding kesalahan besar memperlakukan hulu daerah aliran sungai sebagai ruang kosong yang selalu siap menerima frontier baru.
Ia secara kasar mengatakan, setiap perubahan di hulu akan kembali ke hilir.
Sumatera sudah menunjukkan pola itu berkali-kali, tetapi arah pembangunan belum banyak berubah. Kalau arah ini tetap seperti sekarang, banjir seperti hari ini akan datang lagi.
Warga di hilir akan terus menjadi pihak yang menanggung akibatnya. Masa depan negeri ini harus mulai dari hulu dengan melindungi fungsi ekologis yang menjadi fondasi keselamatan bersama.
Banjir besar dan longsor yang melanda jangan buru-buru disebut sebagai akibat cuaca ekstrem atau anomali iklim. Bencana ini bukan semata soal curah hujan.
Yang terjadi ini merupakan hasil dari proses panjang yang menumpuk selama puluhan tahun, ketika sebagian kawasan berubah peruntukannya.
Ekosistem yang sebelumnya relatif terjaga, lalu terbuka untuk perkebunan, tambang, atau proyek besar lainnya telah jadi lokasi ekspansi ekonomi.
“Ini dapat di simpulkan dari pengulangan sejarah colonial,” katanya. “Hingga hari ini terus hidup dalam bentuk-bentuk baru.”
Aceh kini terus dibentuk ulang oleh ekspansi komoditas global, dari perkebunan ala kolonial, kehutanan, hingga sawit dan infrastruktur energi.
Untuk mengamankannya perlu proses panjang untuk membongkar ulang tatanan agraria, menggeser masyarakat, dan merombak hubungan manusia dengan tanah dan air.
Di banyak lokasi yang kini tergenang, hulu daerah aliran sungai yang dulunya adalah kawasan resapan.
Setelah wilayah itu ada sawit dan banyak jaringan kanal, kemampuan menyimpan air hilang; permukaan air meluncur lebih cepat ke hilir.
Banjir makin tinggi dan makin sulit diprediksi bukanlah keanehan cuaca, melainkan tanda bahwa lanskap tidak lagi mampu menjalankan fungsi ekologisnya.
Banjir bandang, genangan, dan kehancuran sudah terlalu besar. Total yang meninggal dunia sudah diangka delapan ratusan orang. Pengungsi di Aceh saja hampir setengah juta orang.
“Ini bencana terbesar kedua setelah tsunami di era sekarang.”
Sawah hancur. Ratusan ribu hektare. Rumah yang rusak mendekati seratus ribu unit. Sekolah yang terkena ratusan. Itu baru di nanggroe ujung donya.
Saya mencatat keajaiban. Banjir bandang kok bisa menghantam gayo. Bukankah wilayah ini dataran tinggi. Yang datarannya berada di ketinggian seribu meter dari permukaan laut?
Kenapa juga banjir?
Maka Anda bertanya. Dan Anda sendiri menjawab. Banyaknya penggalian tambang di sana: mengais emas. Tambang ilegal.
Di kabupaten lainnya akibat banyaknya hutan yang berubah jadi kebun sawit. Juga hutan yang jadi bahan baku kertas.
Memang, akhir pekan lalu, hujan turun luar biasa deras. Sepanjang hari. Selama tujuh hari. Tapi banyaknya kayu gelondongan yang hanyut, menandakan penebangan hutan masih terus terjadi.
Ada pejabat di sana yang beralasan itu kayu tumbang. Tentu dengan mudah terbantahkan. Ukuran panjang kayunya sama.
Bahkan begitu hujan reda truk-truk besar sudah mulai terlihat kembali mengangkut kayu gelondongan –seolah mengejek korban bencana yang ditimbulkannya.
Meski sudah empat hari tidak lagi hujan masih banyak daerah yang masih terisolasi. Sangat sulit menyalurkan bantuan ke kantong-kantong isolasi itu.
Lantas kita menyaksikan ketika jalan masih becek akibat banjir yang baru saja surut, truk-truk sudah berani mengangkut kayu hasil tebangan.
Pekan depan para penebang sudah lebih berani. Apalagi sebulan kemudian –dan hari-hari setelah itu.
Maka wajar kalau kemarahan publik sangat luas ketika mereka berbagi di video bagaimana rumah hanyut dalam keadaan hanya terlihat atapnya.
Juga satu kampung yang tergerus serentak bersama longsoran tanah.
Dan saya teringat cuplikan lirik syair lagu “berita kepada kawan” Ebit G Ade:
“………kawan coba dengar apa jawabnya..ketika ia kutanya mengapa…bapak ibunya telah lama mati.. ditelan bencana tanah ini…”[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”




