Berburu Colokan Sakti Usai Bencana

Nurdin Hasan | Freelance Journalist

HARI-hari dan malam-malam di Banda Aceh pascabencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sebagian besar wilayah Aceh belakangan ini terasa punya ritme aneh. Bukan ritme zikir untuk mendoakan para korban yang telah tiada. Di tengah sayup-sayup deru mesin genset, ada ritme yang diatur oleh satu entitas tunggal: arus listrik.

Sejak bencana menerpa, listrik di ibu kota provinsi ini ikut-ikutan meradang, trauma. Kadang datang sekejap, lalu raib tanpa pamit berhari-hari. Setiap warga merasa seperti berada dalam permainan petak umpet, penuh misterius.

Dan, dalam kondisi menjemukan itu, lahirlah sebuah migrasi massal yang unik. Jika dilihat dari kejauhan, tampak laksana ritual mencari kopi Arabika dari Nanggroe Gayo atau cukup kupi pancong. Padahal, sejatinya itulah ritual memburu… ‘colokan sakti’.

Kalau siang, situasi tak seheboh malam. Para pemburu colokan sakti bisa dapat gratis di kantor, jika dia seorang pekerja atau aparatur sipil negara (ASN). Namun, yang tidak punya kantor atau freelancer, bisa nebeng di kedai kopi yang ada genset.

Tapi, fenomena malam hari sungguh di luar nalar. Saat matahari terbenam dan kegelapan mulai merayap, jalanan Banda Aceh yang biasanya tenang, tiba-tiba menjelma menjadi sirkuit balap yang macet.

Ratusan motor dan mobil tumpah ruah. Anda mungkin mengira mereka sedang berlomba-lomba menghadiri event besar atau mengejar diskon tengah malam di mall. Eh, emangnya di kota yang katanya “kolaborasi” ini ada mall? Padahal, misi orang-orang itu jauh lebih genting: menyelamatkan baterai ponsel.

Target operasi mereka sudah jelas. Kedai kopi dan kafe mana pun yang hari ini dianugerahi rezeki hidup listrik atau punya genset.

Kelompok ekspedisi ini mayoritas adalah anak-anak muda — mahasiswa, pekerja lepas, dan jurnalis. Yang tak boleh dilupakan tentu saja, para trendsetter media sosial yang feed-nya tidak boleh offline, karena mereka harus update informasi tentang dampak bencana atau sekadar live TikTok.

Mereka bergerak cepat, bergerombol, membawa bekal tak terduga: extension cord alias kabel rol. Bukan kabel rol yang biasa-biasa saja, lho. Ada yang membawa  panjangnya sudah seperti ular piton, plus  stop kontak bercabang enam sampai delapan. Mereka siap “menjajah” satu colokan sakti di sudut kafe atau kedai kopi.

Bayangkan pemandangan eksotis ini. Di tengah hingar-bingar musik akustik yang sayup-sayup dan aroma kopi Gayo yang pekat, Anda akan melihat pemandangan  lebih mirip ruang operasi darurat gadget.

Ada seorang gadis cantik duduk elegan, tapi kakinya terbelit kabel rol. Di sudut lain, ada sekelompok anak muda sedang berdiskusi serius, tetapi laptop mereka saling berbagi daya dari satu power strip yang sama. Yang tak kalah seru beberapa aktivis kemanusiaan larut dalam diskusi, membangun jaringan untuk menggalang dana bagi korban bencana.

Ponsel-ponsel berjejer rapi di lantai atau di atas meja, disumpel charger seperti bayi-bayi sedang disusui secara massal. Ada juga yang sibuk mengetik atau sekadar browsing agar tetap update informasi penanganan bencana yang sangat lambat, padahal korban terancam kelaparan.

Malam ini, jika Anda menemukan sebuah kedai kopi terang benderang — bukan karena lilin romantis, tapi karena lampu neon 40 Watt — dijamin warung itu akan penuh sesak. Penuhnya bukan hanya di kursi, tapi juga di setiap inci lantai bersih yang bisa menampung kabel dan pantat.

Bahkan, ada yang rela duduk di trotoar atau di kap mobil demi mendapat sinyal WiFi. Dan, yang terpenting, tempat untuk mencolok. Ada yang bubar bila baterai HP sudah menunjukkan angka 100% atau tak sanggup lagi menahan rasa kantuk. Namun, ada juga yang baru bubar ketika ayam jantan mulai berkokok.

Lalu, apa yang terjadi besok malam?

Inilah bagian paling absurd dan lucu dari drama ini. Keesokan harinya, listrik di kedai kopi “sakral” tadi tiba-tiba padam. Minyak genset kosong total setelah gagal mendapatkannya padahal sudah antri dua jam di SPBU.

Penyebabnya, tiba-tiba habis minyak atau mati lampu. Mungkin jatahnya telah habis, atau bisa jadi mungkin PLN sedang iseng. Otomatis, kafe yang semalam kebanjiran rezeki hingga omzetnya naik drastis itu, kini… kosong melompong. Senyap. Hanya menyisakan kursi-kursi yang kelelahan dan mungkin beberapa puntung rokok terlupakan.

Fenomena “kedai rame-kosong” ini tentu saja menciptakan sebuah peta harta karun yang dinamis di Banda Aceh. Setiap malam, warga harus berburu informasi. Kafe atau kedai kopi mana yang on fire malam ini? Maksudnya, on fire lampunya, bukan on fire diskonnya. Grup-grup WhatsApp, Insta Story, bahkan obrolan di jalanan, semua menjadi ajang intelijen “na udep lampu”.

Suka atau tidak suka, di balik kemacetan dan kebutuhan mendesak untuk browsing atau sekadar scroll TikTok atau IG, ada satu hal yang terungkap. Manusia modern memang tidak bisa hidup tanpa koneksi. Krisis listrik dan bencana telah mengubah prioritas. Jika dulu orang mencari tempat  nyaman, kini mereka mencari tempat yang berlistrik.

Tapi, alangkah indahnya kalau setiap azan berkumandang dari pengeras suara serak karena masjid juga memakai genset, para pemburu itu ramai-ramai meninggalkan sebentar kedai kopi dan berangkat untuk shalat berjamaah. Bukankah Aceh, negeri yang menegakkan syari’at Islam secara kaffah?

Fenomena berburu colokan sakti ini juga menunjukkan sisi adaptif dan humor khas warga Aceh. Mereka tidak meratap dalam kegelapan. Mereka bangkit, mencari solusi, dan mengubah masalah menjadi ajang kumpul-kumpul sosial yang unik. Toh, di tengah kehebohan mengecas HP, mereka tetap menikmati kopi dan tetap terhubung dengan dunia luar, meskipun bantuan luar negeri masih belum diizinkan masuk.

Ini bukan sekadar cerita tentang charger dan kafe. Ini adalah kisah ringan tentang bagaimana Banda Aceh — dengan segala keterbatasannya — menemukan cara untuk tetap “hidup” dan “terang” di masa-masa sulit.

Memang jalanan dalam kota sedikit macet ketika malam dan para pemilik kafe atau kedai kopi harus berinvestasi lebih pada mesin genset, kabel rol, dan splitter listrik. Tetapi, di balik semua itu, colokan sakti adalah raja, dan koneksi internet laksana bahan pokok paling mewah di tengah krisis listrik.[]

Berikan Pendapat

Copyright © 2025. Portalnusa.com – All rights reserved