Romantisme Aceh Masa Lalu: “Ada Berbagai Pabrik, Banyak Pelabuhan”

H.M. Dahlan Sulaiman

TULISAN Darmansyah pada “Kolom Bang Darman” berjudul “Pabrik Tisu Aja Nggak Punya” mendapat tanggapan beragam dari pembaca PortalNusa.com. Salah seorang yang memberikan tanggapan adalah H.M. Dahlan Sulaiman, pelaku ekonomi yang juga mantan Ketua Kadin Aceh.

Saat Indonesia merdeka semua pelabuhan ada di Aceh, seperti Kuala Langsa, Lhokseumawe, Sigli, Ulee Lheue, Meulaboh, Susoh, dan Sabang sebagai Freeport dan Free Trade Zona di Pulau Weh.



Awal tahun 1960 diterbitkan UU RI tentang Pembagian Wilayah Pertumbuhan Ekonomi yang isinya antara lain menutup semua pelabuhan ekspor di Aceh menjadi hanya sebagai pelabuhan interinsuler atau antarpulau. Satu satunya pelabuhan ekspor dan impor untuk wilayah pertumbuhan Sumatera Bagian Utara hanyalah Belawan.

Pada tahun 1964 atas perjuangan sebuah Tim Pengusaha Aceh yang diketuai oleh Oesman Adami/Direktur NV Aceh Trading Company berhasil memperjuangkan kembali Sabang menjadi freeport melalui sebuah Keppres yang diterbitkan oleh Presiden RI, Soekarno. Sejak itu kegiatan perdagangan impor dan ekspor kembali meramaikan Sabang.

Pada tahun 1971 oleh sebuah tim bersama PWI Banda Aceh yang terdiri Anwar Zeat, HM Dahlan Sulaiman, dan anggota DPR RI asal Aceh Kasim AS berhasil memperjuangkan Undang-Undang tentang Daerah Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang.

Baca: Pabrik Tisu Aja Nggak Punya

Dalam rangka IMT-GT yang diprakarsai oleh HM Dahlan Sulaiman dari Kadin Aceh dan TA Hamid MAB Ketua BKPMD Aceh berhasil memperjuangkan kembali pelabuhan ekspor dan impor di seluruh Aceh antara lain Malahayati, Krueng Geukueh dan Kuala Langsa.

Selain Sabang sebagai freeport dan free trade zona, melalui pelabuhan tersebut secara insidentil sampai sekarang masih terjadi kegiatan impor dan ekspor. Bahwa secara faktual minimnya kegiatan perdagangan dalam dan luar negeri lewat pelabuhan di Aceh termasuk Sabang, bayak penyebab dari luar dan dalam yang dapat diungkapkan pada lain kesempatan.

Pabrik di Aceh

Selain pelabuhan, Aceh juga pernah memiliki berbagai pabrik.

Bertumbuh dan berakhirnya era industrialisasi di Aceh sangat terkait dengan kebijakan dan regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah baik yang bersifat parsial maupun nasional ataupun juga karena alasan domestik seperti minimnya bahan mentah dan bahan baku.

Sebelum diterbitkan UU RI tentang Pembentukan Pusat Pertumbuhan Ekonomi, di mana untuk Sumatera Bagian Utara berpusat di Medan, banyak industri dan pabrik yang berdiri dan bertumbuh di Aceh baik skala kecil maupun menengah baik berbasis bahan baku maupun  bahan mentah dari dalam dan luar Aceh.

Era 50-an hingga 70-an ada dua pabrik sabun cuci yang cukup besar di Banda Aceh yaitu Cap Rencong dan  Cap Cakra Donya, pabrik kawat duri dan paku di Bireuen dan di Aceh Besar (Lhoknga). Selain itu ada pula pabrik kecap dan kayu lapis di Langsa, pabrik pengolahan karet getah di Meulaboh, pabrik tapioka di Saree Aceh Besar dan masih banyak lagi seperti mesin jahit, korek api, pengolahan kopra dan pinang.

Regulasi dan alasan bahan mentah serta masalah persaingan pasar telah menyebabkan pabrik-pabrik tersebut tutup dan minggat dari Aceh. Paling akhir minggat adalah Sirup Cap Patung yang kini sudah berskala nasional di KIM Medan, Sumatera Utara.[]