Fachry Timah

Oleh Darmansyah

SAYA lega. Usai mengikuti alur panjang pemberitaan media. Alur sepanjang tiga bulan terakhir. Hingga memasuki hari ini. Tak ada berita di media mainstream dan medsos menyebut keterlibatannya.



Bahkan untuk dijadikan saksi juga gak ada.

Padahal, hari-hari sebelumnya saya sempat dag dig dug… Cemas….

Bahkan sisa kecemasan masih saja menggelantung setelah menerima pernyataan clear darinya. Clear dalam teks bahasa indatu.

“Alhamdulillah, nyan gara-gara Dahlan. Teumuleh hana jitanyong wie uneun ilee…”

Untuk mempertegas kekhawatiran saya ia menambah dengan kalimat penuntas, ”Insya Allah hana sapeue…”

Ia hanya menuding sebuah nama yang menyebabkan banyak orang bertanya tentang posisinya dalam kasus itu. Posisinya yang sentral. Yang oleh si “gara-gara” ia seolah-olah berada dalam arus kasus itu.

Tapi, sampai saya menulis pada hari ini, ia jauh dari kasus mega korupsi itu. Kasus yang Anda sudah tahu. Kasus yang hampir setiap hari tayang di selebgram televisi. Yang jumlah tayang youtubenya tak terhitung lagi.

Nama yang membuat saya dag ..dig…dug… itu  Fachry Ali. Untuk selanjutnya panggil saja dengan Fachry.

Ia intelektual muslim. Peneliti hebat. Pernah menjadi Komisaris Utama di PT Timah. Saat benang kusut kasus itu dimulai.

Saya tidak tahu bagaimana ia sampai ke posisi komut (komisaris utama) perusahaan pelat merah itu, Itu mah gak penting. Dan saya pun gak pernah bertanya ketika bertukar sapa di banyak kesempatan.

Kecemasan saya terhadap Fachry sangat beralasan. Ia asset negeri saya. Saya kasihan kalau ia diseret dan terseret.

Fachry alumni IAIN- (kini UIN) Syarif Hidayatullah. Pemikir. Lulusan Australia. Saya tahu jalan hidupnya. Ingin terus jadi pemikir. Pemikir Islam.

Fachri lahir di negeri “ketelatan.” Negeri yang juga kelahiran saya. Negeri yang yang nun jauh di “pucok donya.” Kala itu. Susoh. Kabupaten Aceh Selatan. Sebelum kabupaten itu mekar jadi empat.

Ia lebih muda dari saya enam tahun. Sub etnisnya: jamee. Jamee yang berarti tamu. Bukan Aceh totok. Untuk itu aksen Acehnya hingga kini gembur. Aceh yang idem dito dengan saya.

Sebagai jamee ia menjalani jalan hidup berpindah. Dari Susoh ke Banda Aceh terus Jakarta. Dari Sekolah Rakyat Islam hingga IAIN Ciputat.

Karir intelektual Fachry sudah dimulai sejak mahasiswa. Saya berani mengatakan ia penulis termuda di eranya. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar nasional.

Fachry Ali bisa menjadi penulis produktif karena ia adalah seorang pembelajar yang tekun.

Tulisan-tulisannya lahir karena ia berinteraksi intensif dengan masyarakat.

Realita yang ia dapatkan dari masyarakat itulah yang ia tulis setelah mengendap dalam pikiran dan mendapat internalisasi yang cukup.

Sebagai intelektual, pemikir, dan penulis yang hebat, Fachry banyak menerima penghargaan bergengsi. Sering diundang di berbagai forum atau berorasi di kampus-kampus.

Saya tahu ia sering “wobaksot”  membagi keilmuannya. Terakhir saya mendengar ia hadir di forum peradaban Aceh. Di kesempatan lain saya diberitahu ia datang ke kampus udik di kampung saya.

Tentang keberadaannya sebagai Komut PT Timah, saya sendiri gak tahu. Yang saya baru tahu ia menjadi Komut tepat di saat perusahaan negara itu menandatangani  kerja sama dengan pihak swasta

Tentu Fachry, kala itu, sebagai yang  punya kecerdasan tinggi. Fachry memiliki logika yang kuat. Ia pasti dibantu oleh tim komite audit dewan komisaris.

Buktinya Fachry jauh dari kasus yang lagi heboh itu.

Kok bisa?

Dari hasil investigasi dan penyidikan pemeriksa diperoleh jawaban bahwa persetujuan itu tidak pernah ada. Bahkan tidak pernah diajukan oleh direksi.

Saya bergumam sembari menengadah. Droen selamat dari bencana besar.

Mengapa direksi tidak minta persetujuan dewan komisaris?

Entahlah…

Saya gak ngerti masalah hirarki di perusahaan negeri itu. Yang saya tahu perusahaan tempat Fachry menjadi komut adalah perusahaan publik.

Begitu direksinya yakin langkahnya itu termasuk operasional perusahaan maka persetujuan dewan komisaris memang tidak diperlukan.

Perusahaan yang sudah masuk bursa saham direksinya lebih bebas bergerak. Bahkan pemegang saham pun dilarang ikut campur operasional perusahaan.

Dalam hal kasus timah yang Fachry pernah jadi bosnya ini Kejaksaan Agung lebih menekankan kepada undang-undang lingkungan hidup.

Kerugian  negara dihitung dari segi kerusakan lingkungan.

Kehadiran Fachry di perusahaan timah itu adalah posisi yg mewakili pemegang saham. Tugasnya mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalanka perseroan dan memberi masukan dan nasihat kepada direksi

Itu yang saya tahu tentang posisi Fachry. Posisi aman ketika kasus timah itu terus bergulir. Melebar. Baik dari sisi tersangka maupun  angka kerugian negara dari korupsinya yang terus meningkat.

Dari dua ratus tujuh puluh satu triliun rupiah menjadi tiga ratus triliun rupiah. Masya Allah…..

Beriringan dengan kenaikan angka korupsi ini muncul kasus baru di seputarnya. Kasus ‘bekingan’. Bekingan yang datang dari sosok purnawirawan jenderal bintang empat.

Bekas jenderal itu disebut-sebut punya peran sebagai pelindung megakorupsi ini. Namun, siapa sosok sang jenderal yang menjadi beking masih misteri.

Teranyar, kasus dugaan penguntitan jaksa agung muda tindak pidana khusus. Febrie Adriansyah.

Yang menguntit oknum anggota detamen khusus delapan delapan. Pasukan anti teror milik kepolisian.

Cerita penguntitan ini Anda pasti lebih tahu. Tahu juga siapa yang berada di belakangnya. Tahu juga siapa sebenarnya sosok purnawirawan jenderal bintang empat yang berinisial b.

Kalau saya hanya tahu setiap praktik hitam tambang pasti ada bekingnya. Tidak hanya di timah. Di semua lini. Yang biasanya mereka itu berseragam, mempunyai pangkat di pundak

Mereka berkolaborasi untuk menyukseskan maling ini.

Dalam kasus timah ini sang beking, katanya, mengakomodir praktik hitam melalui mantan anak buahnya. Bahkan  mengorganisir sampai terjadinya pembelian smelter.

Saya tahu bumbu-bumbu itu, di media, mengalahkan substansinya: bagaimana konstruksi korupsinya kok sampai begitu besar. Ada juga  sedikit kisi: ada kerja sama antara mereka dengan sekelompok perusahaan swasta.

Di situ disebut soal penambangan ilegal. Lalu soal peralatan processing timah milik swasta.

Tapi tidak ada media yang memberitakan di mana letak korupsinya. Saya pun jadinya hanya menduga-duga.

Sebenarnya semua orang sudah tahu apa yang terjadi. Anda pun tahu.[]

 * Penulis adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman.”