Hafas Mat Lengket

Darmansyah

NAMANYA Hafas. Orangnya humble. Gaul. Rendah hati.

Humble yang sering dipakai untuk label seseorang yang tidak sombong.



Hafas lelaki empat puluhan itu memang tipikal humble tidak sombong. Ia menyapa siapa saja dengan intonasi suara garau dan cuap-cuap seenaknya tanpa beban dan membebani teman wicaranya.

Seperti ia menyapa saya di lepas subuh. Setiap kali saya berkunjung ke tempatnya. Tempat ia jualan. Di seberang jalan depan masjid besar. Masjid Raya Baiturrahman. Yang dulunya stasion kereta api cah ceh coh.

Saya selalu menceritakan ke banyak orang tentang Hafas yang humble plus menyenangkan. Hafas generasi ketiga bu gurih.

Bu gurih yang dulunya sekali dibangun Pak Daham. Pak Daham pemilik warung nasi bu gurih Sinar Pagi yang tak banyak lagi orang bisa mengingatnya. Bu gurih Sinar Pagi di pertokoan Jalan Diponegoro.

Pak Daham yang memiliki anak Ilyas Daham. Ilyas yang teman saya bermain petak umpet sebagai jurnalis. Ilyas yang nggak mau ikut mewarisi bu gurih Pak Daham.

Bu gurih yang menjadi ueenaak,,,, di pagi hari. Yang setiap saya mudik ke negeri indatu tak pernah melewatkan sebagai breakfast. Yang lauknya bisa dendeng, ayam gulee atau pun ikan. atau telur.

Sarapan pagi yang dihibur oleh cuap-cuap Hafas yang membagikan nomor antri ke pembeli. Pembeli yang berjubel di akhir pekan-sabtu dan minggu. Pembeli yang senang disapa si Hafas.

Saya teringat Hafas di hari kesebelas ramadhan kemarin. Teringat bu gurih rasyid ketika  “dipaksa” buka puasa oleh anak ke sebuah rumah makan nasi uduk. Nasi uduk betawi.

Nasi uduk yang bangunan rempahnya sama tapi beda nama  .. eee.. juga rasa. Beda juga dengan nasi kapau agam bukittingi.

Ajakan sang anak memaksa. Alasannya saya sering cerita bu gurih Rasyid ke mana-mana.

Maksanya  disertai iming-iming. Iming-iming celoteh promo. Promo tentang Jokowi pernah singgah ke sana. Rafi Ahmad dan Gita Slavina, sang istri, menjadikannya sebagai rumah makan favorit.

Padahal selera saya beda dengan Jokowi maupun Rafi Ahmad. Selain itu  banyak lagi yang ia celotohkan agar tensi saya “nggak” buyar.

Nasi uduk yang dipaksakan ke saya itu milik Mat Lengket. Lokasinya di kawasan Klender, Jakarta Timur. Sahibul hikayatnya Mat Lengket sudah ada sejak lima puluh tahun silam.

Lima puluh tahun untuk satu generasi. Yang pasti secara generasinya kalah dari bu gurih milik si Hafas. Yang sudah ada sejak tahun lima puluhan. Sebab bu gurih Hafas itu sudah di posisi cucu.

Nasi uduk ayam goreng Mat Lengket  memang khas rumah makan Betawi pada umumnya. Menu utamanya  ayam goreng. Perbedaanya adalah jenis ayam muda pada setiap sajiannya.

Meski ukuran ayamnya lebih kecil kelezatannya biasa ajai. Pilihan ayam muda mungkin karena dagingnya lebih manis, mudah meresap bumbu dan empuk. Selain muda, ayam yang digunakan juga masih perawan.

Ya… setiap yang perawan kan …. Hahaha… puasa.

Ayamnya itulah yang membedakannya dibanding tempat lain. Meski ayam kampung tapi dibumbui dengan asam jeruk agar  tidak bau dan empuk.

Harum santan nasi uduknya lebih kering. Itu saya longok  ke dapurnya dengan pura-pura ke toilet.   Selain nasi uduk dan ayam goreng, Mat Lengket  menyediakan menu pendamping. Si semur jengkol, petai hingga sate.

Nasi uduk Mat Lengket memiliki aroma santan gurih dan mempunyai tekstur pera.  Hanya itu. Ohhh… lainnya  mereka tidak punya cabang  dan bukanya setiap sore hingga menjelang malam.

Harganya… maklum aja .kan harga Jakarta.

Usai buka puasa di warung Mat Lengket nggak ada kesan yang lengket di hati saya. Nggak ada cinta kan nggak ada sayang terhadap uduk langganan Rafi Ahmad itu.

Kalau bu gurih Rasyid so pasti ada dua-duanya. Cinta dan sayang.

Cinta dan sayang yang mengingatkan saya pada seorang teman. Almarhum Bondan Winarno. Bondan seorang pereview makanan.

Bondan yang dulunya kerap muncul dalam acara televisi, dengan kata yang sudah menjadi trademark-nya: maknyus….

Meski sudah meninggal, kata-kata maknyus ini masih dipakai oleh banyak orang saat mendeskripsikan masakan yang super lezat. Maknyussss yang pernah saya dengan dia ucapkan untuk bu gurih Rasyid.

Maknyuss… yang nggak pernah dengar untuk Mat Lengket. Entah kalau saya alpa mendengarnya. Dan nggak bisa lagi mengklarifikasinya. Maklum Bondan udah pergi jauuhhh…

Maknyuusss… seorang Bondan sebagai preview kuliner topangannya sangat kukuh. Kukuh dari pengalamannya sebagai jurnalis

Jurnalis di media hebat yang ritualnya melintas di tempo, kompas dan sinar harapan.  Bahkan ia pernah menjadi pemimpin redaksi koran suara pembaharuan.

Bondan yang saya kenang bukan hanya maaknyuss… tapi seorang peliput investigasi. Peliput investagasi yang pernah membuat republik ini goncang usai membongkar skandal klaim tambang emas palsu.

Tambang emas palsu bre-x Skandal yang membuat cendana, rumah kediaman Soeharto, bersih-bersih. Karena ada nama Bambang Trihatmodjo menyelinap di sana.

Skandal yang menjadikan Bondan sebagai bintang investigator usai menerbitkan buku bre-x sebongkah emas di kaki pelangi.

Buku yang memuat fakta  kebohongan  bre-x. Karya yang banyak dipuji. Dipuji pula karena kegigihan dengan pertaruhan nyawa dalam ancaman.

Oo..yaa..saya sedang tidak menulis kapasitas Bondan sebagai jurnalis. Angle tulisan ini tentang bu gurih versus uduk Mat Lengket yang mencantelkan nama Bondan.

Bondan yang pernah saya antarkan ke bu gurih Rasyid di hari-hari awal usai tsunami. Bondan yang mengacungkan dua ibu jarinya saking uu… eaak-nya. Bondan untuk kemudiannya tak memerlukan saya untuk ke bu gurih Rasyid.

Bondan yang ke setiap teman-temannya  menularkan oralnya membisikkan:“kalau berkunjung ke Banda Aceh cari saja bu gurih  Pak Rasyid. Tanya kepada tukang becak, sopir taksi atau warung kupi“.

Bondan juga  memberi catatan dengan memilah kenikmatan kuliner Aceh  ini dengan nasi kapau minang. Yang ia katakana ada beda ekstrem taste-nya

“Aromanya itu lho bung,” katanya di sebuah pertemuan dengan saya. Ada uap serai bercampur santan diiringi wangi kapulaga, bungong lawang kleng, pandan, daun salam dan cengkeh yang menjalar menerabas langit kenikmatan.

Setelah masuk ke mulut rasakan sensasi rasanya dengan ujung lidah. Di sana ada rasa campur aduk dari bumbu arab dan india yang membuat pencicip kuliner serasa diaduk kenikmatan yang sulit dicari tandingannya.

Sebagai seorang yang amat kenal dengan nasi kapau, Bondan dilahirkan dan mengalami masa remaja di Padang. Tokoh kuliner itu bisa memisahkan citarasa kedua masakan itu.

“Memang mirip sih, tapi beda jauh. Dari rempah dan tata cara menanaknya juga beda, walau pun secara praktek sama-sama dikukus,” tulis Bondan beberapa tahun lalu di sebuah website wisata Jakarta.

Di situ pula Bondan Winarno menempatkan bu gurih sebagai makanan breakfast di rangking atas jajanan Nusantara. Jajanan, yang ia katakan, bisa dihirup bersama aroma kopi Aceh yang “sssss…uup….”

Itu tentang bu gurih Aceh yang diidentifikasinya dengan warung Pak Rasyid sebagai langganan awalnya ketika menemukan kuliner ini dalam khazanah masakan Nusantara.

Terakhir, Bondan sudah “pisah” dengan bu gurih Pak Rasyid. Ia lewat seorang teman menemukan warung baru di kawasan Jalan Sudirman, arah Mata Ie, persis di samping Rumah Sakit Fakinah. Warung itu milik Kak Ros dan menjual bu gurih yang dikatakan Bondan the number one.

Ketika di sebuah kesempatan ketemu dengan Bondan, saya tidak sohib amat dengannya tapi pernah saling kenal ketika sama-sama jadi wartawan ibu kota, kami menggelitiknya dengan pertanyaan, “kok nggak pernah lagi nulis kuliner Aceh.”

Spontan ia menjawab tentang temuannya, bu gurih Kak Ros. “Waaahhh… rasanya itu lho,” tanpa melanjutkan jawaban dan menegakkan jempolnya.

Bu gurih Kak Ros memang salah satu item dari sajian kuliner Aceh yang sangat sepesifik. Memulai usahanya sejak tahun delapanpuluhan, Kak Ros, begitu nama wanita pemilik warung yang sangat sederhana itu dipanggil, sudah malang melintang menjajakan bu gurihnya dan diakui sebagai salah satu yang sangat eksklusif di Aceh.

Selain masakan bunya yang standar untuk nasih gurih, Kak Ros masih menyimpan rahasia bagaimana kukus nasi setelah diaduk dengan santan dan dibubuhi berbagai bumbu itu ditanak.

“Perapian dan waktunya juga harus diatur dengan disiplin. Bahkan setelah matang juga harus diinapkan,” katanya ketika kami mengorek rahasia masakan bu gurih-nya.

Khusus untuk lauknya, selain manok gulee  yang sangat nyam-nyam tetap ada taburan serundeng, kacang tanah goreng, bawang goreng dan dipoles dengan sambal lado.

Dengan rasa itu, khusus di pagi Sabtu dan Minggu, tiap akhir pekan, jangan pernah datang terlambat. Antrian dan kalimat hana le  pasti membuat Anda balik pulang.

Memang beberapa kalangan baru beberapa tahun terakhir berkenalan dengan warung Kak Ros. Tapi begitu kenal langsung “nempel.”

Bahkan, ketika saya mengajak seorang kawan eksekutif media di Jakarta makan pagi di warung Kak Ros dia langsung minta dibungkuskan untuk dirasakan ke keluarganya.

“Nggak basi kan. Tahan sampai sore kan,” begitu ia bersinyinyir dengan seorang lelaki keluarga Kak Ros yang terus mengiyakan pertanyaan tentang daya tahan bu gurih ketika sang teman siap-siap berangkat ke bandara.

Jejak bu gurih dalam daftar kuliner Aceh, terutama di Banda Aceh, sudah berusia tua sebagai sajian breakfast.

Di tahun lima puluhan enampuluhan hingga delapan puluhan bu gurih paling top bisa didapatkan di warung Sinar Pagi di Jalan Diponegoro.

Kalau kita dari arah Jalan Merduati tempatnya beberapa pintu toko sebelum belokan ke arah Jalan Cut Meutia.

Warung itu, entah faktor apa, tutup dan tak ada yang melanjutkan. Rasyid, yang kini almarhum, adalah salah satu pekerja, kemungkinan juga famili dari pemilik Sinar Pagi.

Yang menyalin rahasia resepnya dan membuka usaha sendiri secara bergerilya dengan stelling numpang di banyak kedai kopi sebelum membukanya di toko yang sekarang.

Bahkan nasi gurih di Warung Mutiara di Jalan Diponegoro, sisi kiri dari komplek Masjid Raya Baiturrahman juga merupakan penerus Rasyid dan generasi ketiga dari Warung  Sinar Pagi.

Pemiliknya bu gurih di Mutiara itu dulunya pernah menjadi pekerja “magang” di Warung Rasyid yang  ketika itu membuka cabang di ujung Jalan Tentara Pelajar, persisnya  di tusuk sate Jalan Supratman.

Memang banyak jajanan bu gurih yang dijual di Banda Aceh di kala pagi dengan taste beragam, dan tanpa ingin menyempalkan peranan mereka  memelihara khazanah kuliner Aceh ini kita hanya bisa  menyebutkan beberapa warung yang standar dan terkenal serta disinggahi secara rutin oleh pembeli.

Hakekatnya, nasi gurih itu adalah makanan breakfast, tetapi akhir-akhir ini ada yang menjualnya sebagai pilihan  kuliner lainnya di sore dan malam hari sebagai pendamping  dari jajanan bu gureng.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”