PORTALNUSA.com | BANDA ACEH – Aktivitas anak-anak di bawah umur yang mencari uang dengan berbagai modus semakin marak di Kota Banda Aceh. Anak-anak tersebut diyakini korban ekploitasi dari orang-orang tertentu yang bekerja secara sistematis dan terkoordinir.
Pengamatan Portalnusa.com, bocah yang rata-rata berusia SD terlihat mangkal dan melakukan berbagai aktivitas untuk memancing belas kasihan masyarakat yang lalu lalang atau berhenti di lampu merah.
Berikut beberapa penampakan sosok-sosok penyandang masalah sosial yang memunculkan keprihatinan masyarakat di Kota Banda Aceh.
Menariknya, modus serupa terlihat di dampir semua persimpangan lampu merah seperti di Simpang Lima, Simpang Jambo Tape, Simpang BPKP, Simpang Tiga, dan beberapa lintasan utama lainnya.
Selain bocah yang menjajakan dagangan seperti timun, jemblang, jambu, dan lainlain juga tak sedikit yang ber-‘gerilya’ dari satu cafee ke cafee lainnya sambil meminta sumbangan dengan memperlihatkan lembaran bertuliskan ‘bantuan anak yatim’ atau ‘bantuan faikir miskin’.
Fenomena tersebut semakin marak setiap menjelang Ramadhan atau menjelang Idul Fitri.
Terpantau juga pergerakan bocah-bocah tersebut berlangsung cepat dari satu titik ke titik lainnya. Misalnya, bocah yang meminta-minta di lampu merah, setelah dinilai sepi tak lama kemudian terlihat beroperasi di titik lain.
“Titik operasional bocah-bocah tersebut dimobilisasi oleh orang-orang tertentu, yang umumnya menggunakan becak motor. Pergerakan mereka cepat sekali,” kata seorang warga Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.
Kelompok berbeda
Aktivis sosial yang juga Kepala UPTD Rumoh Seujahtera Aneuk Nanggroe Dinsos Aceh, Michael Octaviano membenarkan meningkatnya aktivitas anak-anak di bawah umur yang melakonkan peran sebagai peminta-minta, pedagang, badut, dan lain-lain di Kota Banda Aceh.
Namun Michael belum melihat itu sebagai sebuah aktivitas yang dikendalikan sindikat profesional melainkan ‘usaha keluarga’ yang melibatkan orangtua, anak, dan cucu.
“Kami telah mendeteksi ada satu keluarga besar yang tinggal di kawasan Neuheuen melakoni usaha jualan timun, jemblang, jambu, dan lainnya di persimpangan lampu merah di Banda Aceh. Mereka ada 11 orang yang bergerak dari satu titik ke titik lainnya,” kata Michael.
Selain kelompok keluarga dari Neuheuen, menurut Michael ada juga bocah yang bergerak dari satu cafee ke cafee lainnya meminta-minta dengan memperlihatkan lembaran ‘surat keterangan’ anak yatim atau anak kurang mampu.
“Yang lebih memprihatinkan, ada bocah perempuan yang keluar masuk pusat kuliner atau cafee di sekitar Pango dan Hermes Hotel, meminta-minta hingga jam 12 malam. Prihatin sekali,” kata Michael yang juga pendiri Yayasan Blood For File Foundation (BFLF).
Badut
Aktivitas lainnya yang melibatkan anak-anak di bawah umur di Kota Banda Aceh adalah aksi badut yang rata-rata juga beroperasi di simpang lampu merah. Badut-badut tersebut ‘menjual’ kelucuan sambil mendekati mobil atau sepeda motor yang ada anak-anak. Kalau anak-anak senang, maka orangtua langsung memberikan uang sebagai ucapan terima kasih.
Kelompok badut ini, menurut Michael belum terdeteksi dari mana, namun dia memastikan ada juga yang mengkoordinir minimal untuk penyewaan kostum. “Ada biaya untuk sewa kostum, itu biasanya dari Medan,” kata Michael.
Sebenarnya, lanjut Michael tidak terlalu sulit untuk mengantisipasi aktivitas anak-anak di bawah umur di berbagai titik dalam wilayah Kota Banda Aceh. Misalnya, di simpang lampu merah, tempatkan saja personel Satpol PP untuk mengawasi. Begitu juga ke cafee-cafee bisa dilakukan patroli secara berulang.
“Dengan cara begitu dipastikan mereka merasa tidak nyaman dan akhirnya tidak mau beraktivitas,” demikian Michael Octaviano. []