Survei Thayyiban
Oleh Darmansyah
Saya baru tahu peta jalan rekayasa hasil survei Detil. Kemarin siang.
Sebelumnya saya hanya tahu dari cerita setengah hoaks. Dari skeptis yang muara kualanya ke purbasangka, Purbasangka yang sudah lama jadi tanaman di akar pikiran saya.
Purbasangka yang prasangka itu biasanya dimiliki oleh mereka yang saling bersebarangan. Prasangka yang menjadi penghalang dalam membangun harmonis dengan hasil survei.
Saya sengaja mengangkat kata batang terendam “purbasangka” sebagai pembenaran dari ketidakpercayaan itu.
Abis trah saya arkais. Artefaknya neon. Tipikalnya kuno. Bukan now yang meng-elit-kan dengan kata “prejudice”.
Tahunya peta jalan rekayasa hasil survei ini pun karena diberitahu. Yang memberi tahu itu mantan surveyor. Peneliti. Pernah bekerja di beberapa lembaga survei. Lembaga survei beken.
Lembaga survei yang pernah memaksanya mengutak-atik metodologi, pilihan sampling sekaligus hasil akhirnya dengan presentase yes dan no-nya.
Saya gak ingin menyebut lembaga surveinya. Tak ingin menyinggung foundernya yang kini bisa menikmati tantiem dari laba net-net-net, bonus dan gaji komisaris.
Si yang memberitahu sudah resign dari tenaga surveyer. “Gak nyaman saja. Jauh dari halalan thayyiban,” katanya dengan senyum masam.
Saya tahu apa itu halalan tayyiban. Makanan dan minuman yang baik dan diperbolehkan secara syariat. Bukan hanya sehat, bergizi, yang pentingnya didapat secara benar.
Kini si surveyor akhh .. si peneliti sudah banting stir bikin usaha rumah makan. Namanya: berdikari. Punya empat cabang. “Belum ada rantingnya… hahahah.”
Pilihan nama berdikari itu sesuai dengan akronimnya: berdiri di atas kaki sendiri. Dulunya jargon milik Bung Karno.
Nama mantan surveyor: Thamrin. Betawi pinggiran. Lebak Bulus. Bukan Betawi Tanah Abang, Kebun Kacang atau Kebun Jeruk.
“Saya Betawi Luar. Bukan Betawi Dalam. Tapi luar dalam saya gak kawe. Gak macam tas lois vuitin, chanel, prada, gucci atau pun Hermes-nya korea,” katanya bergurau.
“Saya orisinil,” lanjutnya yang mengingatkan saya pada senior jurnalis era kuda makan ilalang: Mahbub Junaidi. Mahbub yang mempopulerkan politisi sebagai musuh nomor dua setelah setan.
Thamrin si mantan surveyor itu punya persambungan dengan sebuah nama: Husni. Nama yang jelas ashbabnya.
Sang ayah, yang teman saya, amat kagum dengan nama Husni Thamrin. Pejuang… .yang juga Betawi Luar Dalam. Bukan seperti saya yang ngaku-ngaku betawi celana dalam.
Nama Husni Thamrin itu ditabalkan menjadi jalan paling elitis di pusat ibu kota republik ini.
Thamrin yang peneliti ini khatam nahwu sharafnya bagaimana sebuah survei direkayasa.Dipatut-patut.
“Itu biasa,” katanya dengan nada meyakinkan. Namanya saja reka-dan yasa. Reka dan yasa itu kan penerapan pengetahuan. Gabungan ilmiah dan keterampilan. Pengetahuan dan praktis.
Ini melibatkan penggunaan ilmu pengetahuan, matematika, dan pengalaman untuk menciptakan solusi yang berguna atawa sampah bagi siapa saja yang bernama manusia.
Apakah ada cara untuk mencegah survei rekayasa ini?
Jawabannya: di negeri ini gak ada. Belum ada.
“Kita gak punya aturan yang melarang sebuah kegiatan survei rekayasa.”
Saya seperti mendapat durian runtuh tentang survei yang bisa direkayasa atau dimanipulasi itu.
Sepengetahuan dan hasil pengalaman si Thamrin ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan hasil survei menjadi tidak akurat, bahkan menyesatkan.
Itu bisa dimulai dari pilihan metedologinya hingga pilihan sampel yang gak representative, pertanyaan yang diarahkan, manipulasi data hingga interpretasi subyektif.
Sebenarnya saya sudah cukup sampai disini saja untuk tahu tentang survei tipu-tipu itu. Yang di kalangan ilmuwan sering ditabal sebagai survei “abal-abal.”
Tapi Thamrin mau lanjut menjelaskan. Katanya jika sampel yang digunakan dalam survei tidak mencerminkan populasi yang ingin diwakili, maka hasil survei tidak bisa digeneralisasikan
Lainnya, pertanyaan dalam survei bisa dirancang semau gua untuk diarahkan ke responden untuk menjawab sesuai dengan keinginan pewawancara.
Tentang data? Mudah kok. Data itu kan berhala. Bisa diubah atau dihilangkan sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari yang sebenarnya.
Lainnya interpretasi hasil akhir bisa dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu, sehingga kesimpulan yang diambil menjadi tidak objektif.
Makanya, kata si Thamrin, menutup makan siang di warung nasi berdikari pojok Cikarang, Bekasi, kemarin: survei independen dan kredibel dengan metodologi bisa menjelaskan suatu fenomena.
Ternyata “durian runtuh” Thamrin itu nyambung dengan pemahaman saya selama ini bahwa survei hanyalah salah satu indikator. Bukan satu-satunya penentu keputusan.
Makanya keputusan saya untuk mensurvei terowongan Geurutee atas anjuran si Al-Katiri pekan lalu gak bikin “cewang.” Gak akan berubah…
Saya memilih survei opini. Survei ini digunakan untuk mengumpulkan pandangan masyarakat terhadap isu-isu sosial, politik, atau ekonomi.
Hasil survei opini publik sering digunakan untuk mendapatkan gambaran pandangan orang terhadap sebuah isu atau kasus.
Saya pilih jalan praktis untuk melakukan survei jajak pendapat ini. Melalui telepon, Maka langkah yang saya tempuh merencanakan strategi.
Dimulai dari pengambilan sampel, menyusun kuesioner, melakukan uji coba, mengumpulkan data, memasukkan data, hingga menganalisis hasilnya.
Penting untuk memastikan kuesioner singkat dan jelas, serta menjaga responden. Tujuan survei Anda sudah tahu. Terowongan Geurutee.
Apa yang ingin saya ketahui dari survei ini?
Jawabnya sepele. Hanya untuk senang-senang. Senang mendengar carut mencarut dari halu kenangan responden tentang macam-macam.
Untuk itu saya punya target responden. Cuma delapan orang. Ingin menjangkau sejauh mana mereka mengenal Geurutee dan apakah terowongan itu solusi.
Karena targetnya hura-hura maka rancang pertanyaan singkat, jelas, dan mudah dijawab. Menggunakan pertanyaan pilihan ganda agar mudah dijawab.
Dalam melakukan pertanyaan saya memastikannya lewat kalimat yang mudah dipahami dengan alur yang lurus. Gak berbelok-belok.
Saya juga menjelaskan tujuan survei dengan memberi informasi lengkap sekaligus apa yang ingin saya dapatkan dari responden.
Dalam bertanya saya sering bercerita dan gak mau memengaruhi jawaban responden.
Maklum aja ini bukan survei benaran Untuk itu gak ada data yang saya kumpulkan masuk ke keranjang spreadsheet.
Untuk apa….Gak juga memakai analisis karena polanya brengsek. Konyol…
Hanya sebagai laporan saya membuatnya mudah dipahami. Kan survei dalam skala kecil. Cuma delapan responden. Delapan orang. Bak sistem survei otomatis.
Memanggil lewat telepon ke-delapan responden, menyimpan jawabannya di otak atas persetujuan responden sebelum wawancara. Semua jawaban gak ada pertanyaan yang mengarahkan.
Netral-netral aja. Isi pertanyaan dan jawaban dari ke-delapan mereka itu gak ada rahasia.
Isi pertanyaan tentang terowongan Geurutee itu seperti ini: apakah mengenal Geurutee.. Sering melewatinya.. terakhir melewatinya kapan…
Lanjut dengan: ceritakan kondisi jalannya di awal dan akhir melewatinya … komentari panoramanya… apakah pernah dengar atau baca tentang rencana bangun terowongannya.
Lantas semua pertanyaan yang sambung menyambung itu saya kunci dengan pertanyaan: apakah setuju atau ada solusi lain…
Baik pertanyaan yang saya susun maupunjawaban dari ke-delapan responden itu semuanya konyol. Gak ada yang bisa dijadikan data. Semuanya hong …larut dengan cerita nostalgia.
Salah seorang responden yang kini menetap di Qatar dengan anaknya yang bekerja di perminyakan malah larut selama dua jam berbagi kisah ketika kami naik sepeda ke kutaraja.
Naik sepeda dan bermalam di kuburan syahid. Kuburan yang kini sudah tenggelam dan menjadi tubir laut usai tsunami.
Ya, lainnya seorang teman yang menetap di Ottawa, Kanada. Anak ketelatan yang ayahnya seorang kepala sekolah. Kini sudah jadi warga negara sana. Beristri bule.
Lainnya datang dari responden di Medan, Meulaboh, Meukek, Jakarta dan satu lainnya Batam.
Karena jawabannya konyol maka survei saya itu kuyup. Basah dengan cerita masa lalu. Jadi ini sebuah survei cilaka.
Cilaka karena kesalahan saya memilih kuesioner telepon yang fokus pada percakapan mendalam. Yang dampaknya bersinggungan dengan perilaku responden.
Di ujung survei telepon itu semuanya malah bertanya: untuk apa bangun terowongan.. bangunkan saja negeri di naca itu dari kemiskinan…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”