SAYA gak berani menulis judul tulisan ini dengan “hilirisasi gigit jari.” Judul yang menjadi “tagline” metro tv.
“Tagline labelling” tema debat hilirisasi nikel dan turunannya. Debat “live” Selasa malam kemarin selama sembilan puluh menit
Debat empat kali jeda iklan tambah sekali selingan “breaking news.” Hitungan pas durasi bersih debatnya tujuh puluh menit.
Tayangan debatnya jam sembilan tiga puluh lima menit. Menjelang malam. Dengan pengantar dan perkenalan peserta lima menit.
Topik besarnya “economic challenger.” Debat di jam tayang seperti kemarin itu apakah ‘live’ atau “derecorde” tak pernah saya gubris. Membosankan
Tapi kali ini beda. Sengaja saya tunggu. Saya tongkrongi. Sekalian saya simak.
Sehari sebelumnya saya dapat info panas tentang debat ini. Bakal menyertakan menteri segala urusan bergelar “lord”.
Saya tak usah menulis namanya. Anda sudah tahu. Sering posting kehebatannya di banyak medan tugas yang disertai komentar “ngenyek” jika ada yang usil mengusik.
Menteri satu ini sering melontar tantangan. Sering pasang badan bak “nagabonar.”
Khusus untuk masalah hilirisasi si menteri tak hanya pasang badan tapi juga pasang mulut. Mungkin juga akan pasang otak. “Mari kita berdebat.”
Khusus tantangannya di topik debat hilirisasi ini sepertinya tertuju untuk seorang ekonom peneliti yang sering publis dan up data. Data berlawanan.
Ekonom peneliti yang nada bicaranya datar dengan suara garau tak pernah menampik tantangan debat. Malah menjawab akan datang dimanapun arena debat dipanggungkan.
Tambahan info pans, diacara debat itu akan hadir seorang anak muda yang sebelumnya buat kejutan memblasss tulisan dengan mengatakan semua kritik terhadap hilirisasi sesat.
Yang berarti si ekonom peneliti juga sesat. Sesat menyesatkan inilah yang menjadi daya tarik saya untuk mengikutinya.
Kalau semua mereka datang wuihh..meriahnya. Bakal lebih meriah dari debat milik Karni Ilyas di lawyer club.
Apalagi, bagi saya untuk menyimak debat ini gak perlu “costing.” Gratis. Gak perlu datang ke tempat acara. Juga tak perlu harus tanya sana-tanya sini untuk bisa membuat tulisan.
Semuanya sudah lengkap. Lengkap data dan lengkap sumber. Pertanyaan tinggal pinjam ngomong host. Klarifikasinya langsung dari sumber.
So pasti valid karena ada “crosschecck” untuk memenuhi unsur sebuah penulisan “reporting depth” tanpa “out fee.” Keluar ongkos.
Terima kasih metro tv. Terima kasih juga para narasumber debat.
Utamanya terima kasih ini untuk Faisal Basri ekonom peneliti “indef” yang akal sehatnya masih digunakan untuk menopang tonggak republik ini yang makin condong.
Kepada ekonom yang konsistensinya terhadap sebuah kritik saya juga minta maaf atas judul serampangan di tulisan ini. “Hilirisasi Faisal..”
Kalau saya pakai judul tagline metro bisa dianggap sebagai plagiat. Hukum plagiat di komunitas jurnalistik tempatnya di comberan. Lebih rendah dari tempat pembuangan sampah.
Saya punya alasan kuat untuk penamaan “hilirisasi faisal” ini. Debatnya mengacu ke akademis peneliti itu. Faisal terus disebut sebagai rujukan pendapat.
Ketika debat ia melaju dari pembuka hingga solusi ia terus di sapa dengan panggilan:bang, bapak, dan anda….
Plass… posisinya narasumber di atas narasumber… hahaha..
Hahaha … juga karena sang menteri “lord” dan anak muda yang up data kritik sesat itu tak muncul. Metro tv tak mengungkapkan alasan ketidakhadirannya. Saya kecewa. Tapi gak penuh. Setengah kecewa.
Tapi gak kecewa penuh. Sebab dari debat itu saya masih bisa nambah ilmu bahwa kritik kebijakan ekonomi pemerintah itu bukan untuk menyerang frontal
Ia lebih untuk mengkajinya lebih jauh dan mengukur apakah kebijakan itu efektif apa tidak. Tapi memang dalam case ini beliau kurang tepat, baik waktu maupun kontennya.
Waktunya dekat pemilu yang terkesan jadi kritik yang tidak murni dan tendensius. Terkait konten juga terlalu pede. Agak meremehkan team ekonomi pemerintah
Menjadi gesekannya agak keras.
Tentang up pernyataan sesat berpikir Faisal tentang hilirisasi saya tak membacanya utuh. Saya hanya melihat angka satu lalu skrol hingga angka tiga empat.
Oh, kayaknya sama dengan yang saya baca tulisan lainnya. Ketika kritik tentang hilirisasi nikel bikin geger, saya tidak kaget.
Tetapi bukan berarti saya setuju dengan substansi kritikannya. Boleh dikatakan saya tidak percaya, malah.
Karena sejak tahun lalu saya sudah sering membaca dampak “nickel downstreaming” — hilirisasi nikel — yang ditempuh pemerintaha di berbagai portal media luar.
Biasanya disertai kutipan pakar ekonomi. Intinya “nickel downstreaming” akan mengerek harga nikel dunia karena kekurangan pasokan yang signifikan.
Malah ada yang memuji hilirisasi nikel itu sebagai langkah cerdas. Saya enggan berkomentar soal itu. Tahu diri. Saya tak punya kompetensi, karena tak pernah belajar ilmu ekonomi.
Yang dilakukan Faisal masih dalam koridor kritikan yang konstruktif. Sementara respon adalah contoh smart response dari tim pengambil kebijakan.
Maunya saya bisa adu data dan diskursus bermutu yg terjadi diantara mereka dapat menginspirasi rakyat agar bijak dan dewasa dalam mengutarakan kritik termasuk cara meresponnya.
Bisa menjadi role model yang semakin mencerahkan untuk hari-hari mendatang. Khususnya nanti, saat riuh kampanye telah menjelang.
“Anjing akan menggonggong ketika diganggu. Anjing akan setia dan membela kepada orang yang memberikan makan.”
Saya orang yang pro hilirisasi. Mau nikel atau bahan tambang lain. Ataupun produk migas sampai ketela pohon. Yang menjadi masalah disini bukan hilirisasinya.
Apakah skema yang diberikan sudah sesuai sehingga tidak merugikan kepentingan bangsa ini. Bagaimana dengan tambahnya terhadap kepentingan nasional.
Dari pendapatan negara, membangun ekosistem industri, pembangunan industri nasional sampai ketenagakerjaan. Jangan sampai bangsa ini dirugikan.
Ingat, satu variabel diutik sedikit saja, kerugian luar biasa. Seperti contohnya penetapan harga jual bijih nikel ke smelter apakah sudah tepat. Karena kita bicara komoditas jutaan ton per tahun.
Ini memerlukan kajian ilmiah lanjutan seperti dominasi cina Saya pahan betul sifat investor cina beda dengan negara maju lainnya. Mereka ingin kuasai semua. Sampai tenaga kerjanya.
Hilirisasi industri nikel ini tidak terlalu bertaji nilai tambahnya kepada keuangan negara apabila tidak melibatkan pengenaan pajak pertambahan nilai. Karena pajak penghasilan badannya kecil.
Begitu juga dengan pajak ekspor tidak terlalu besar. Kalau dibuat disain dari penambang sampai smelter dalam kawasan berikat, tentu gak bisa tarik pajak pajak pertambahan nilai sebelas persen
Memang miris. Orang luar negeri menikmati hasil kekayaan alam kita tanpa dikenakan pajak maksimal Sedangkan ketika anak bangsa beli sesuatu untuk konsumsi, dikenakan pajak tinggi
Untuk itu dalam solusi debat itu saya setuju gak fair membandingkan tulisan Faisal Basri dengan pengeritiknya. Dimana hanya menyoal angka keuntungan negara..
Padahal Faisal membongkar semuanya. Kerugian lingkungan dan tenaga kerja kerja.Apakah hilirisasi nickel sepenuhnya menguntungkan?
Selain itu sang pengeritik masih berada di pasukan nya opung. Pastilah mati – matian pasang badan. Walaupun katanya digaji kecil jadi deputi
Namun dibalik itu tahukan masyarakat bahwa negara membayar sang deputy hampir tiga milyar per bulan.. Yaitu dari tantiem sebagai komisaris ini.
Jadi perdebatan antara senior dan yunior bukan masalah penting..
Yang sangat penting adalah pendapatan negara senilai itu sebanding kah dengan kerusakan lingkungan dan masalah sosialnya
Mari kita kaji lebih lanjut pada masa mendatang agar kebijakan yang dibuat benar-benar menguntungkan bagi negara dan bagi rakyat pemilik negara ini.
Namun begitu saya sepertinya melihat mungkin inilah gambaran pemerintah saat ini. Kalau ada kritk dari masyarakat, mereka menjawab, “kalian bisanya kritik pemerintah. Tapi gak bisa kasih solusi.”
Biasalah. Era penjajahan, kita ekspor manusia. Sesaat pasca kemerdekaan kita ekspor kayu gelondongan. Awal orde baru, kita ekspor tanah dan air.
Generasi ubanan pastilah tau betapa menyakitkannya ekspor mentahan, baik secara jiwa maupun kantong. Sudah betul kebijakan smelter itu.
Kan lucu, kalo kita mau kembali menyaksikan ponton ditarik tagbot lalu lalang membawa tanah mengandung emas, nikel, uranium, dan segala macam mineral yang namanya aneh-aneh, melaju pelan ke smelter luar negeri.
Ia menilai larangan ekspor nikel hanya akan menimbulkan barang pengganti nikel dalam pembuatan baterai untuk kendaraan listrik.
Hampir sembilan puluh persen nilai tambah dari smelter nikel lari ke China, meliputi jumlah laba, nilai depresiasi dan biaya tenaga kerja.
Ekonom indef, Faisal Basri, dalam banyak kesempatan podcast terus menggebrak dengan kalimat nilai tambah yang diciptakan smelter nikel itu sebagian besar lari ke cina.
Kira-kira ya persisnya segitu, sembilan puluh persen, lari ke cinaanya.
Soal nilai tambah, sambung Faisal, beberapa komponen ikut mempengaruhi nilai tambah, selain kekuatan modal, ada juga tenaga kerja, dan lahan, yang menjadi tempat beroperasinya eksplor nikel.
Tenaga kerja itu juga ada yang didatangkan dari China.
“Tenaga kerja kan harus ada dan dapat upah, nah bisa dihitung. Satu lagi, lahan. Ada lahan pabriknya, bayar sewa istilahnya. Walau punya sendiri harus dihitung sewa.
Nah sewanya dalam bentuk apa? Pajak bumi dan bangunan? Itu kan tanah negara. Jadi sampai sekarang saya masih yakin, nilai tambahnya lari semua ke china”
Oligarki adalah pengendali ekonomi ia saat ini. Banyak pengusaha saat ini mendirikan partai politik dan ini membuat kelompok oligarki terlibat dalam dengan pengambilan keputusan.
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi saat ini?
Ya pastinya pemimpin tertinggi. Dia punya kuasa untuk menyingkirkan orang-orang yang merusak negeri ini, tapi oleh dia justru dimasukan orang-orang itu ke gerbong kekuasaan
Padahal pemerintah sudah bolak balik bikin ini itu agar jumlah investasi meningkat, namun hal tersebut tidak terjadi,” tukasnya.
Masih kata Faisal, institusi negara yang tergerogoti oleh kepentingan politik dengan membuat aturan yang dibuat seenaknya dan menguntungkan salah satu pihak.
“Nah kita mau diamkan ini?
Kita dapat apa?
Sembilan puluh persen nilai tambah dari kekayaan alam kita lari ke asing. Bahkan bunganya lari ke asing, patennya lari ke asing.
Sisanya? ….paling buat pekerja, itu pun sedikit.
Dia pun membantah pernyataan bahwa ekonomi Indonesia terus tumbuh.
Dengan tegas dia menyebut secara nyata pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan terus menerus dan investasi mengalami perlambatan.
Sengkarut hilirisasi nikel terus bergulir. Menunjukkan pemahaman yang sangat minim untuk hal yang sangat sederhana. Kalau sudah demikian, bagaimana negara mau maju!
Padahal kebijakan ini bisa dijelaskan secara sederhana, dengann contoh sederhana pula
Faisal memprediksi program hilirisasi nikel memiliki dua ancaman secara bersamaan.
Yakni menipisnya cadangan nikel domestik dan minimnya daya saing baterai listrik besutan lokal. Sebab harga baterai sodium-ion saat ini hanya sepuluh persen dari harga baterai yang akan diproduksi di dalam negeri.
Faisal pun berargumen hasil nilai ekspor nikel pada tahun lalu hanya mencapai empat ratius tiga belas koma sembilan triliun rupiah.
Beda dengan angka presiden yang mencatat nilai ekspor hasil hilirisasi nikel mencapai lima ratus eupuluh triliun rupiah
Selain itu, Faisal Basri menilai bahwa sembilan puluh persen dari nilai ekspor tersebut tidak dinikmati negara. Sebab mayoritas dana hasil ekspor tersebut diletakkan di Cina.
Sementara itu, sepuluh persen dari nilai ekspor tersebut digunakan untuk membayar tenaga kerja dan pajak yang ada di dalam negeri.
Saat bertemu Luhut, menko kemaritiman dan investasi sang peneliti menunjukkan bukti pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Salah satu bukti tersebut adalah foto yang menunjukkan warga negara Cina yang melakukan pekerjaan dengan kualifikasi rendah.
Faisal menekankan dirinya tidak anti pada tenaga kerja asing. Akan tetapi, Faisal menegaskan tenaga kerja yang masuk ke dalam negeri harus mengerjakan pekerjaan dengan kualifikasi tinggi.
Akan tetapi, ia menemukan tenaga kerja asal Cina justru menjadi tukang kebun, satpam, dan supir forklif.
“Reaksi Pak Luhut diam. Pak Luhut bilang tenaga kerja yang datang dari Cina untuk mempersiapkan mesin dan pulang setelah selesai. Saya bilang faktanya tidak begitu,” katanya.[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”