DALAM beberapa hari terakhir ratusan etnis Rohingya mendarat di beberapa titik dalam wilayah Aceh, seperti di Pidie, Bireuen, dan berlanjut ke Aceh Utara. Kedatangan manusia perahu tersebut ternyata tidak lagi mendapat simpati dari masyarakat Aceh yang dikenal sangat menghormati tamu, apalagi sesama muslim. Lalu, kenapa terjadi perubahan sikap yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya? Kontributor Portalnusa.com, T. Moundary merekam kondisi di lapangan, termasuk alasan masyarakat menghalau kembali Rohingya ke laut lepas. Laporan tersebut dirangkum oleh Nasir Nurdin dan Ali Mangeu untuk liputan khusus edisi ini.
Pada 15 November 2023, tepatnya Rabu sore pukul 17.30 sebanyak 147 imigran Rohingya kembali mendarat di pesisir Pantai Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.
Menurut Sekretaris Panglima Laot Pidie, Marfian, pengungsi muslim itu terdiri atas 46 laki-laki dewasa, 58 perempuan dewasa, 21 anak laki-laki, dan 22 anak perempuan.
Sehari sebelumnya, pada Selasa pagi, 14 November 2023 warga Gampong Blang Raya, Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, juga dikejutkan dengan berlabuhnya sebuah kapal kayu ukuran besar di bibir pantai.
Ada sekitar 200 orang yang mendarat dari kapan tersebut. Namun, enam dari 200 orang itu kabur dengan cara turun dari kapal, dan belum diketahui posisi mereka sampai sekarang.
Menurut Marfian, pengungsi Rohingya yang mendarat Selasa pagi dan Rabu sore sudah ditempatkan di penampungan sementara di Yayasan Mina Raya Gampong Leun Tanjung, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.
“Mereka sedang dalam pendataan dan digabungkan dengan pengungsi lainnya di tempat penampungan sementara di kamp Mina Raya,” kata Marfian.
Penolakan warga
Imigran gelombang ketiga—setelah dua gelombang mendarat di wilayah Pidie—berusaha merapat ke pantai Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Kamis subuh, 16 November 2023.
Imigran yang menumpangi kapal kayu itu dilarang warga turun ke daratan meski kapal sudah mendekat ke bibir pantai.
“Kesimpulan bersama masyarakat menolak kehadiran Rohingya ke daratan. Warga tidak menerima,” kata Keuchik/Kepala Desa Pulo Pineung, Mukhtaruddin kepada wartawan.
Menurut Mukhtar, masyarakat menolak imigran karena merepotkan setelah tiba di daratan. Warga sudah melihat saat Rohingya tiba di Desa Matang Pasi, Kecamatan Peudada, pada 16 Oktober 2023.
Aceh Utara juga menolak
Setelah ditolak di Bireuen dengan cara mengarahkan kapal berlayar kembali ke perairan. Akhirnya sekitar pukul 17.16 WIB, kapal bermuatan ratusan imigran itu mendarat di Desa Aron, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.
Menurut pendataan sementara, mereka berasal dari Kamp Kutupalong di Ukhia, Cox’s Bazar, Bangladesh dengan tujuan Malaysia.
“Jumlahnya 249 orang, 78 laki-laki, 108 perempuan dan 54 anak-anak,” bagitu laporan sebelumnya yang diterima wartawan dari Keuchik/Kepala Desa Pulo Pineung, Bireuen, Mukhtaruddin.
Panglima Laot Aceh, Miftach Cut Adek membenarkan Rohingya yang ditolak di Bireuen sudah mendarat di Aceh Utara.
Pantauan Portalnusa.com, Rohingya tersebut mendarat di pantai Desa Ulee Madon, Krueng Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara pada Kamis sore, sekitar pukul 16.15 WIB, 16 November 2023.
Imigran tersebut terdiri anak-anak, pria dan wanita dewasa. Mereka turun dari kapal sambil membawa tas dan barang lainnya.
Ketika tiba di pantai, beberapa perempuan langsung berbaring di hamparan pasir.
Warga sekitar langsung berdatangan ke lokasi untuk melihat secara langsung imigran etnis Rohingya tersebut.
Seperti halnya di Bireuen, perangkat Desa Ulee Madon bersama masyaratnya juga menolak kehadiran imigran Rohingya di kampung mereka.
Namun atas dasar kemanusiaan, maka untuk sementara mereka diterima di bibir pantai untuk diberikan makanan, minuman, baju layak pakai dan obat-obatan.
Seorang warga Ulee Madon, Nahrita mengatakan, masyarakat menolak etnis Rohingya karena sejumlah alasan yang sangat prinsipil.
“Dulu kami sudah menerima mereka dan diberlakukan sebagai saudara. Tetapi mereka suka buat tingkah, padahal dulu apa kurang kami bantu, tapi mereka yang kaburlah, joroklah, shalat pun nggak,” ungkap Nahrita.
Di Ulee Madon, masyarakat hanya bisa memberikan bantuan berupa makanan, minuman, dan obat-obatan.
Selanjutnya pada pukul 21.30 WIB, Kamis malam, 16 Oktober 2023, etnis Rohingya tersebut dinaikkan kembali ke kapal untuk melanjutkan pelayaran. Sebuah pelayaran mengarungi samudera luas penuh tantangan, tanpa tujuan. []