Miris, Masyarakat Aceh Barat Terus Hidup dalam Lautan Debu dan Limbah Batu Bara

Foto dokumen Forum Pemuda Meureubo Raya yang merekam tumpahan batu bara menghitamkan kawasan pesisir di Kecamatan Meureubo, Aceh Barat. Kondisi seperti ini masih terjadi hingga akhir 2023 dan memasuki 2024. Tak ada solusi, bahkan nyaris dianggap seperti kondisi normal.(Foto for Portalnusa.com)

PORTALNUSA.com | MEULABOH – Kondisi yang sangat memiriskan terus melanda masyarakat Aceh Barat khususnya yang bermukim di sekitar wilayah pertambangan. Keseharian mereka harus hidup dalam lautan debu dan pencemaran akibat tumpahan batu bara, tak hanya di laut, malah di jalan umum.

“Apa yang diberikan oleh perusahaan tambang tersebut, seperti CSR atau rekrutmen tenaga kerja belum sebanding dengan kerugian besar yang dialami daerah termasuk dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Ketua Forum Pemuda Meureubo Raya, Abu Samah Ahmad kepada Portalnusa.com, Jumat sore, 26 Januari 2024.

Menurut Abu Samah, hingga akhir 2023 hingga memasuki 2024, polusi debu dan pencemaran laut oleh tumpahan batu bara belum teratasi, bahkan terkesan sudah menjadi sesuatu yang normal-normal saja.

Tumpahan batu bara mencemari pesisir Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. Kerugian besar yang sangat tidak sebanding dengan yang diberikan perusahaan berupa CSR atau rekruitmen tenaga kerja. (Foto for Portalnusa.com)

“Pencemaran laut dan garis pantai dalam wilayah Kecamatan Meureubo masih saja menjadi pemandangan keseharian hingga saat ini. Tak ada solusi. Semuanya seperti terhipnotis, termasuk Pemkab Aceh Barat,” ujar Abu Samah.

Padahal, lanjut Abu Samah, Aceh punya payung hukum berupa Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 (UUPL) tentang Dampak Lingkungan Berisiko Tinggi.

“Nyatanya, senjata berupa qanun tersebut tak bisa dimanfaatkan. Sementara di lapangan terlalu sering turun tim ini dan tim itu untuk merespons keluhan masyarakat. Kemudian diam tanpa tindakan apapun. Besoknya begitu lagi dan begitu lagi. Terindikasi ada yang diuntungkan dengan kondisi ini,” tandas Abu Samah.

Dijelaskan Abu Samah, pusat tambang itu sendiri berada di permukiman masyarakat sedangkan lingkar kampus Alue Peunyareng dengan tambang hanya berjarak sekitar enam kilometer.

Stock pile (penumpukan) berada di Gampong Peunaga Cut sehingga sepanjang pesisir selalu terjadi tumpahan batu bara dan debu yang sangat merugikan masyakat, petani dan nelayan.

Seorang putra Aceh Barat yang juga mantan Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) Aceh, Nasir Nurdin sependapat dengan kegelisahan Abu Samah.

Baca: Pesisir Meureubo Hancur Akibat Limbah Batu Bara, Pemerintah Aceh jangan Diam

Menurut Nasir yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Pemkab Aceh Barat dan Pemerintah Aceh termasuk DPRK dan DPRA semakin ‘senyap’ menghadapi kerusakan lingkungan dan berbagai implikasinya terhadap masyarakat.

Seharusnya, kata Nasir,  kehadiran perusahaan tambang membuka peluang besar untuk memajukan daerah dan memperbaiki ekosistem yang rusak.

Pada kenyataannya, kehadiran perusahaan justru merusak alam dan terus memperluas kerusakan itu. Pemerintah dengan senjata regulasi yang dimiliki terkesan ‘impoten’ sehingga tidak mampu berbuat apapun untuk melindungi masyarakat.

“Pemkab Aceh Barat belum mampu berbenah menjadi kota tambang, kota industri maupun kota pendidikan. Seharusnya Aceh Barat sudah semakin baik dengan kehadiran perusahaan tambang di wilayahnya. Nyatanya banyak yang hanya berpikir untuk kepentingan sesaat, untuk kepentingan perut hari ini,” pungkas Abu Samah dibenarkan Nasir Nurdin.[]