Khatam Kupi  

 

SAYA  tak pernah khatam dengan makrifat kopi dikaitkan dengan tumbuh seribunya warung kopi di Aceh.

Sudah berguru ke mana-mana. Dari teungku tingkat meunasah hingga ayatollah yang punya ilmu sufi.

Sudah menyibak semak dari pesantren ujung kampung hingga pesantren kupi keude beurawe hingga taufik dan solong kupi.

Malah sudah diajarkan wirid berjuz-juz oleh para abu tapi gak pernah menjadi hafidz.

Saya tak menyerah. Terus mencari.

Di dhuha Jumat pekan lalu saya nyantri ke DapuKhupi. Kawasan Simpang Surabaya. Di selangkang fly over yang cabang jalannya bisa ke Batoh-Lamseupung-Peuniti dan Beurawe.

Saya datang khusus untuk mengkhatamkan pemahaman tentang kopi dan Aceh. Langsung ketemu ulee balangnya.

Diberi pencerahan. Disalawatkan dengan kajian tentang artian kopi robusta dan arabica. Tapi pemahaman sesungguhnya belum membuat saya khatam.

Soal pemahaman ini sudah lama menjadi  “listing” di otak saya. Sejak seorang ilmuwan hebat berbisik ke telinga saya:

“: …kamu tidak akan pernah memahami Aceh tanpa pernah mendatangi keude kupi”

Itu kutipan. Saya tak tahu apa itu joke atau tesis. Atau pun hanya sekadar adagium. Sebab yang memberitahunya adalah seorang ilmuwan. Peneliti, Bukan orang Aceh. Tulen bule..

Ia pernah malang melintang berkiprah sebagai pengamat politik di negeri ini. Juga di Aceh sejak tahun enam puluhan.

Saya orang Aceh. Tulen.  Saya tak pernah mengujinya hingga hari ini. Hingga datang ke DaphuKupi. Apakah bisikan itu masih valid.

Saya tahu, validitas itu harus diuji lewat tesis secara akademis. Milik makhluk akademis. Sedangkan saya bukan bagian dari makhluk itu.

Hanya seorang jurnalis. Tukang tulis. Itu pun sudah “old.”  Selain itu saya juga bukan tukang tenung.yang “hambo”-nya sering gak ketulungan.

Jadi jangan pernah bertanya dengan saya tentang validitasnya. Kalau mau tanya saja dengan Liddle. Saya sendiri sudah lama tak mendengar actionnya. Mungkin dia sudah uzur.

Saya saja sudah uzur. Tujuh puluh pertengahan. Liddle pasti lebih uzur. Berdasarkan tahun lahirnya sudah: delapan puluh enam.

Liddle yang saya tahu akrab disapa dengan Bill.  Orangnya khas. Berbadan ramping. Tinggi. Dengan jenggot bak tanaman tak terawatt di dagu. Berkacamata minus dan lain sebagainya…

Khasnya yang lain, selama di Aceh, sering dibonceng ke gampong-gampong. Mungkin nyungsep ke keude kopi lantas muncul jokes, tesis atau adagium itu.

Saya beberapa kali pernah ketemuan. Ngomong dalam bahasa prokem. Campur aduk. Suaranya gembur. Tapi ramahnya ya ampun. Bukan seperti banyak teman saya yang Aceh. Mbong bak toke bangku.

Anda sudah tahu mbong dan toke bangku. Saya pun khatam. Sudah….

Liddle yang saya tahu lainnya pengajar di Ohio State University. Columbus, Amerika Serikat. Ia profesor emeritus ilmu politik  dan spesialis politik Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Riset Liddle fokusnya pada kepemimpinan politik, perilaku memilih, dan sikap populer terhadap politik islam.

Dia telah memenangkan hibah penelitian baru-baru ini dan banyak mempublikasi hasil risetnya. Banyak.. sekali… Saya gak ingin menambah cerita ini. Bukan topik tulisan.

Yang perlu Anda tahu publikasi tulisannya banyak di media mainstrean prestesius. Tingkat global maupun negeri ini. Mulai dari The New  York Times hingga Kompas dan Tempo.

Setelah saya telusuri ulang gak ada topiknya tentang kopi dikaitkan dengan Aceh.

Mungkin gak ilmiah.. hahaha. Mungkin juga hanya joke.

Saya tahu apa  itu joke. Trik lucu untuk membuat orang tertawa. Bahkan pesan britannica dictionary, jokes jangan pernah dianggap serius.

Jokes itu sendiri ada stratanya. Atas-bawah atau receh. Kalau receh itu strata guyonan rendah atau garing. Paling bisa bikin tersenyum.

Bagaimana kalau ia dikategorikan dengan tesis. Saya jadi mikir. Tesis itu kan pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen.

Tesis biasanya dikemukakan dalam karangan untuk memeroleh gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Terlalu lebay.

Lantas apa adagium? Entahlah…adagium sendiri justru merupakan sinonim dari ungkapan, pernyataan, dan peribahasa.

Puyeng…

Soalnya nama R. William Liddle sendiri sudah merasuk ke otak paling dalam saya sebagai ilmuwan hebat di kampus negeri saya. Dulu…

Dulu sekali ketika warung kopi belum berjibun. Masih satu dua…

Belum juga ada “dapu kupi” tempat saya merentang “haba” di Jumat pagi untuk mengkhatamkam hafalan wirid maknawi kedai kopi dengan ulee balangnya:Tarmizi.

Tarmizi yang akrab disapa “bang midi.” Yang pagi itu renyah sekali. Duduk bangkit menyalami banyak pengunjung. Ber..ha…ha..ha..

Ketika saya datang ke “dapu kupi” itu jumlah warung kopi itu telah berjibun.

Bahkan sudah menimbun gelar : “aceh serambi mekah” dengan “kota seribu kedai kopi.”  Untung saja gak menimbun “serambi indonesia.” Kalau itu ampuunnn … saya. Hanco klaha…..

Terhadap kasus ini, beberapa tahun lalu, saya pernah mengadakan riset kecil-kecilan. Di sebuah keude kopi kawasan Beurawe. Usai sebuah subuh. Respondennya macam-macam.  Acak…. dan bisa diacak..

Kalau “wobaksot,” kembali ke asal, saya menjadi pengunjung tetap keude kopi Beurawe. Mereka senang saya hadir.

Banyak “haba.: cerita. Setengah dari isian habanya  “sulet.” Bohong. Setengah lagi campuran. Yang benarnya hanya seperempat.

Senangnya mereka saya selalu mendahului membayar. Bisa dua atau tiga meja. Dengan “peng mirah” Hahaha… bangga juga dianggap ureung kaya.

Ketika saya lontarkan pertanyaan tentang “serambi mekkah” dan “seribu keude kopi”  ke responden acak itu jawaban mereka hampir serentak: seribu keude kopi. Hanya dua orang yang menyempal “serambi mekkah.”

Saya terbahak… Berlari ke toilet… Anda tahu kan alasan saya…Basah kantong apa…gitu..

Di keude kopi Beurawe saya juga bikin riset lain. Menghitung jumlah meja dan komparasi pengunjung lelaki dan wanita.

Wow! Wanitanya sampai lima puluh persen dari tiga puluh enam meja,

Di kesempatan lain saya ke keude kupi Solong. Kawasan Gampong Keudah. Pinggir Krueng Aceh. Keude kopi terbuka.

Hanya ada atap dan lantai. Seperti sebuah pujasera. Penuh. Masif. Pria. Wanita. Hingga tengah malam. Anak-anak muda.

Di Solong ini saya mendapat petuah seorang teman ngopi.

Ia mengatakan begini: jika ngon mengambil batu, kemudian memejamkan mata, dan melemparkan batu itu ke arah manapun secara acak, niscaya akan kena warung kopi.

Pesan lainnya. Pergilah ke pedalaman  yang melewati hutan dan kebun-kebun. Saat memasuki kampung, yang paling pertama ngon jumpai adalah warung kopi.

Hahaha….

Saya lanjut tanya:  berapa berapa gelas dia minum kopi sehari.

Jawabannya di luar nurul,  tujuh gelas!

Pernah juga di sebuah kesempatan lain, katanya, habis minum kopi kepalanya kliyengan dan bawaan mau tidur aja.

Saya gak lanjut tanya,  yakin kopi itu ada ‘isinya’. Anda lebih tahu dari saya tentang isinya. Stop….jangan lanjut nulisnya bisa banyak urusan.

Lanjut lainnya saya sisakan saja di otak. Sisa tanya: kok ngopi banyak gak kembungnya.

Masih tentang gelas kopi. Seorang pegawai pernah cerita ke saya,  Ia aneuk keumuen. Ponakan. Dia rutin ngopi pagi hari di rumah sebelum berangkat kerja. Usai ngisi absensi  ngopi  lagi di warung dekat kantor.

Sekitar jam satu-an di kantor ngopi  lanjut. Begitu dentang  jam tiga-an sore ngopi lanjut. Terakhir, ngopi di malam hari, bisa di rumah atau di warung kopi. Luar biasa.

Kalau saya gak lah. Untuk kopi, saya lebih memilih kopi scahetan : lebih praktis.

Sedangkan untuk susu, saya milih susu segar yang fresh from the oven, mimik di tempat, langsung. Menurut saya itu lebih menyehatkan.

Maaf kalau paham saya tentang ngopi ini masih dangkal. Jangan ditiru. Lanjut saja. Harap maklum makrifat saya tentang ngopi ini belum khatam.

Saya janji akan mengkhatamkan lewat ulee balang Bang Midi.. eee.. Tarmizi.. Ha..ha..ha…[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”