Ustadz Masrul Aidi di Meugang KWPSI: Dari Usap Kepala Yatim, Copy-paste Seruan MPU hingga Menggeser Waktu Isya

Ustadz Masrul Aidi. (Dok PWI Aceh)

KAUKUS Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) melaksanakan agenda rutin setiap menjelang bulan suci Ramadhan, yaitu meugang bersama. Seperti biasanya, pada acara tersebut ada tausiah, santunan anak yatim, makan kenduri bersama dengan menu khas kuah beulangong, dan mengambil paket daging meugang hasil meuripee (pengadaan sapi meugang secara patungan). Meugang bersama tahun ini dilaksanakan di kediaman Din Keramik, Desa Gla Meunasah Baro, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Minggu, 10 Maret 2024/29 Sya’ban 1445 H. Ada puluhan anggota KWPSI yang hadir, termasuk Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, di mana sebagian besar anggota KWPSI juga anggota PWI. Sebelum makan kenduri bersama dan santunan anak yatim, Ketua KWPSI, Dosi Elfian menyampaikan sambutan sekaligus mempersilakan Ustadz H. Masrul Aidi, Lc, MA, Pimpinan Pondok Pesantren Babul Maghfirah Cot Keueung, Aceh Besar menyampaikan tausyiah. Tausyiah oleh ulama muda yang dikenal humoris dan smart itu dikutip secara utuh oleh Portalnusa.com untuk edisi khusus menyambut Ramadhan 1445 H.

 

“Yang saya muliakan dan kita hormati bersama, Ketua PWI Cabang Aceh, sudah mendampingi sebelah kanan saya.

Yang saya muliakan dan kita hormati Ketua KWPSI Kantor Pusat Aceh, sudah hadir di sebelah kiri saya.

Yang saya muliakan dan saya hormati pendamping sebelah kanan, Bang Nurdinsyam dan pendamping sebelah kiri Cek Midi.

Yang saya muliakan dan hormati tuan-tuan guru yang sudah berhadir, ada Dr Romadhon Tosari, Dr. T. Zulkhairi, dan para ketua-ketua yang lain dengan tidak mengurangi rasa hormat tidak diabsen seorang demi seorang.

Alhamdulillah hari ini kita hadir dalam acara meugang bersama. Ini salah satu agenda bid’ah. Ini agenda bid’ah karena tidak pernah ada di zaman Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Tetapi kita tetap yakin bahwa di dalam Islam, kullu ma’rufin sadaqah (setiap kebaikan itu adalah sadaqah). Dan kita tahu bahwa dalam tradisi kita di Aceh hari-hari menjelang puasa, menjelang Idul Fitri, menjelang Idul Adha adalah hari-hari yang sacral.

Sakral itu di dalam Islam ditandai dengan dua perkara. Salah satunya dengan berpuasa dan yang keduanya dengan berbuka puasa.

Makanya orang-orang yang mensyukuri kelahiran Rasulullah yang dicontohkan oleh Nabi di hari lahir beliau berpuasa. Ketika Nabi sudah mendakwahkan risalahnya saat berkeluarga dapat keturunan, orang-orang yang dapat rezeki sakralitasnya itu ditandai dengan makan-makan. Buatlah kenduri walaupun hanya dengan seekor kambing.

Ketika kita akan menjelang puasa Ramadhan yang secara jadwal tahun ini pada tanggal 11 bulan Maret (bukan siangnya) tetapi malamnya. Itu masuk 1 Ramadhan.

Secara efektif kalau tidak ada halangan pada tanggal 12 Maret 2024 kita sudah mulai berpuasa. Shalat tarawihnya dimulai tanggal 11 sebab kalender hijriyah berganti hari pada saat matahari terbenam. Sedangkan kalender masehi berganti hari pada tengah malam.

Seperti pengumuman KPU, tetap tengah malam pergantian. Itu bukan salah KPU karena memang salah pada sistem penanggalan.

Tetapi (kebiasaan ini) tidak ada yang protes, kecuali say. Karena kita kesal, karena setiap jam 12 malam atau jam 00.00 kita nonton berita langsung disapa selamat pagi. Peu pagi meuteungeut gohlom (apa selamat pagi, tidur aja belum).

Tidak ada yang keberatan (pengucapan) selamat pagi tengah malam. Harusnya selamat pagi kan watee diteubiet mata uroe (harusnya pagi ketika keluar matahari).

Ada banyak anomali dan ketika kita tidak peduli maka anomaly itu akan semakin berkembang. Maka kepedulian kepada hal-hal kecil itulah yang menjadi identitas seorang muslim. Peduli.

Apa kepedulian tersebut? Kita perhatikanlah dari hal sederhana. Kita ambil contoh kegiatan kita hari ini, meugang bersama dengan anak yatim.  Ini salah satu bentuk, saya setuju bahwa memuliakan anak yatim itu hadir bersama, duduk, dan makan bersama.

Makanya saya sering menggugat, ketika acara memuliakan anak yatim itu dengan cara yang malah merusak. Mempermalukan mereka. Anak yatim diundang ke satu tempat, naik ke atas panggung.

Kalau naik ke atas panggung karena prestasi itu kehormatan, bangga. Tetapi naik ke atas panggung untuk menerima rasa iba itu sangat merusak.

Makanya di dalam Islam salah satu yang dikritik oleh para ulama tentang mekanisme penyaluran zakat adalah penerima zakat itu diundang ke sebuah tempat lalu dibagi. Jadi seolah-olah kita umumkan kepada warga masyarakat kalau ingin lihat siapa orang miskin di kampung kita besok datang ke meunasah. Sedangkan di dalam Islam mereka dimuliakan, tidak boleh dipermalukan. Maka hak mereka sampai ke tempat tanpa diketahui siapa orangnya.

(Dalam perkembangannya) datanglah tradisi kita mulai dari yang terima zakat kita undang ke sbuah tempat, anak yatim kita undang. Coba tanyakan kepada mereka yang pernah yatim dan diundang demikian, sekarang sudah jadi orang sukses. Bagaimana perasaannya.

Di atas panggung kita praktikkan hal-hal yang mendatangkan rasa miris. Anak-anak yatim ini diusap kepala oleh Pak Keuchik (kades), lalu naik Pak Imam diusap lagi ke kiri atau ke kanan. Kribo rambut anak yatim.

Kenapa begitu? Karena penerjemahan kita tentang mengusap kepala anak yatim sangat harfiah. Kalau memang tangan harus bersentuhan dengan rambut, bayangkan kalau anak yatim itu perempuan, maka harus disuruh buka jilbab. Buka neuk, bek hana teupeh ngon oek (buka nak, jangan sampai tidak kena rambut).

Ternyata  tidak seharfiah itu. Itu hanya bagian dari tradisi orang Arab ketika menunjukkan kasih sayang  dengan mengusap kepala. Sedangkan kita di Aceh mengusap kepala bagian dari pelecehan. Nyoe meunyoe sempat Bang Nasir (Ketua PWI) saya pegang kepala, pasti marah, kalau belum bisa balas belum bisa tidur. Bagi kita itu pelecehan.

Ada hal-hal yang mungkin secara budaya berbeda. Makanya dulu ketika ada acara santunan anak yatim dari Alumni Fakultas Ekonomi USK, hadir Pak Yusri (Kepala OJK Aceh).

Itulah hebatnya orang kita Aceh, walaupun dianggap separatis tapi sangat nasionalis. Sampai namanya pun tetap ada ‘RI’ di ujung. Yus-RI, Bas-RI, Nas-RI, dan lain-lain.

Waktu itu, ketika anak-anak sudah tampil ke depan, saya bisikkan ke Pak Yusri. Pak, apa nggak bisa santunan anak yatim itu mereka nggak ditampilkan ke depan.

Apa jawaban Pak Yusri? Ooo nggak bisa Pak Ustadz. Ini kan bagian dari transparansi.

Saya bilang kalau alasannya transparansi, ada banyak cara yang lain. Diplubikasi nama-namanya tanpa perlu mereka dihadirkan ke depan. Atau kalau perlu setoran ke rekening mereka diperlihatkan. Kalau model begini sangat merusak.

Tak lama setelah diskusi itu, baru beliau akui. Ya, betul juga. Pak Yusri (sebagai Kepala OJK) tentu punya kewenangan untuk mengubah sesuatu yang merusak. Tolong sampaikan kepada pihak perbankan, kalau mau menyantuni anak yatim janganlah dengan cara-cara yang merusak.

Makanya di dalam Islam anak yatim itu tidak dimuliakan dengan cara usap kepala tetapi anak yatim di dalam Islam dimuliakan dengan cara dimasukkan ke dalam KK.

Makanya, kalau saya punya adik laki-laki dan adik saya meninggal dunia maka anak yatim itu tanggung jawab saya. Begitupun kalau saya meninggl dunia, tanggung jawab adik-adik saya. Itu cara paling sederhana untuk memuliakan anak yatim.

Tetapi di Aceh ketika sudah berjalan syariat Islam 20 tahun lebih, perlindungan terhadap hak-hak anak yatim ini belum ada sama sekali. Maka betapa banyak anak-anak yatim yang diabaikan oleh wali-wali dari pihak ayahnya.

Makanya di Aceh ada istilah wali karong wali meukeutam. Wali karong dari pihak ibu, wali meukeutam dari pihak ayah.

Lama saya berpikir kenapa disebut wali meukeutam. Rupanya wali meukeutam ini nggak pernah hadir dalam kehidupan, meunan abeh umu yah (begitu meninggal orang tua si anak), meukeutam (secepat kilat) hadir.

Kita memang membuat acara keagamaan (peringatan maulid) setiap tahun. Tetapi sayangnya para penceramah maulid tidak melihat sisi tentang perlindungan anak yatim dari sejarah Rasulullah.

Nabi kita (Muhammad) ketika ayahanda beliau (Abdullah) me4ninggal, yang peduli kepada Aminah (ibunda Rasulullah) yang sedang hamil bukan kerabat Aminah (dari pihak perempuan) tetapi justru kerabat Abdullah (dari pihak laki-laki), termasuk Abu Lahab. Kalau pun helak-jelak Abu Lahab, itu pakciknya Nabi.

Ketika Muhammad lahir, yang menjaga beliau juga dari pihak ayah yaitu Abdul Muthalib. Ketika Abdul Muthalib meninggal yang memelihara Muhammad juga dari pihak ayah, yaitu Abi Thalib. Sayangnya sejarah ini nggak pernah diangkat. Sisi pendekatan humanisnya. Akhirnya ketika dekat dengan kerabat dari pihak ibu. Padahal dalam KK, dalam KTP selalu disebut istri itu pekerjaannya ikut suami. Kenyataanya suami selalu ikut istri, tinggal di Kompleks PMI (Perumahan Mertua Indah).

Makanya, dalam hal ini, saya menjalankan istri ikut suami. Meskipun saya kawin ke kampungnya Ustadz Wirzaini (Pidie) tetapi istri ikut suami. Tinggal di Cot Keueung. Mungkin karena Jokowi tahu saya tinggal di Cot Keueung kawin ke Pidie, dibangunlah jalan tol (dibuka salah satu gerbang tol) di Cot Keueung, biar saya gampang pulang pergi dari Cot Keueung-Pidie.

Apa yang saya paparkan itu adalah sebuah anomali, mudah-mudahan (persoalan tanggung jawab terhadap anak yatim ini) bisa diangkat oleh kawan-kawan dari KWPSI, dari PWI.

Sebelumnya saya sempat diskusi dengan Bang Michael Octaviano (aktivis sosial). Beliau mengeluh karena anak-anak yatim dari seluruh Aceh diantarkan ke tempat beliau karena beliau punya rumah singgah.

Saat itu kami diskusi, ada juga Kepala Sekretariat Batul Mal Aceh (Rahmat Raden, almarhum). Waktu itu saya tanyakan kenapa tidak dari Pemerintah Aceh ini dibuat usulan (Rancangan Qanun) Perlindungan Anak Yatim. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.

Pertanyaannya, orang yang menelantarkan anak yatim, apa pidananya. Harus ada pidana. Jadi kalau ada wali (pakcik atau saudara ayah anak yatim) yang tidak peduli anak yatim itu harus dipidanakan.

Saya berhasil meyakinkan beliau (Rahmat Raden) dan berjanji akan menyisir dari anggarannya dan kita alokasikan anggarannya untuk merancang qanun ini. Baru dalam semangat demikian, tiba-tiba Allah SWT berkehendak lain. Beliau berpulang ke rahmatullah sekitar dua tahun lalu. Tidak ada yang menindaklanjuti.

Dari MPU jangan harap. Yang ada hanya copy-paste. Makanya seruan-seruan MPU itu selalu copy-paste. Makanya saya kesal ketika tahun ini seruan masih sama. Seperti tak pernah duduk rapat.

Kalau pun ada, misalnya hanya dalam rangka syiar Ramadhan supaya pada waktu shalat Isya dan tarawih jangan ada tempat usaha yang buka. Pertanyaannya, sebesar apa dosa orang yang buka tempat usaha ketika shalat tarawih. Tidak dosa.

Untuk hal-hal yang tidak berdosa, Forkopimda Aceh bisa duduk bersama. Tetapi untuk orang-orang yang bercelana pendek, terbuka aurat sepanjang jalan, itu Pemerintah Aceh tidak pernah bisa duduk bersama.

Jadi, kita selalu sibuk pada urusan aksesoris, bukan pada substansi, pada isinya. Makanya ketika hari seperti ini kita duduk, dalam rangka meugang—kita tahu bahwa banyak anak-anak yang bernasib malang, menginginkan kehadiran sosok ayah dalam kehidupannya, maka kita-kita yang di-KWPSI ini hadir untuk menjadi sosok ayah.

Maka, inti dari perlindungan anak yatim adalah anak yatim itu merasa hadir sosok ayah. Makanya kita yang menjadi laki-laki ini harus melihat anak yatim dari sisi anak yatimnya, bukan dari sisi ibu anak yatimnya. Jangan sampai yang diingat ibu anak yatim, bukan anak yatimnya. Itu salah sekali.

Jadi, harus sisi anak yatimnya yang kita angkat. Makanya cara yang paling mudah seperti yang saya katakana tadi, yaitu dari kerabat. Wali bertanggungjawab terhadap anak yatim.

Cara lain yang lebih mudah, lebih sesuai dengan selera kita adalah anak-anak yatim itu diangkat menjadi anak tiri kita. Tetapi saya khawatir teori yang kedua ini menyebabkan anak kandung kita menjadi yatim nanti.

Maka dalam kasus di Aceh, saya selalu promosikan bahwa di Beurawe (salah satu desa di Banda Aceh) ada yang namanya Teungku Adnan. Beliau itu menyantuni anak yatim se-Beurawe tidak bangun asrama yatim, anak yatim tetap dengan ibunya, tetapi mereka merasakan kehadiran sosok ayah. Beliau ajak anak-anak itu pada interval waktu tertentu ke Pasar Aceh berbelanja. Yang perlu sepatu, perlu celana, perlu rok, perlu baju, perlu jilbab. Bahkan perlu tas dan sepeda. Beliau belikan. Beliau adalah sosok aytah di mata anak-anak itu.

Terus terang saya sangat sedih melihat Aceh yang bersyariat Islam tetapi tidak ada kepedulian pada syariat. Saya sudah lama sarankan kalau tidak sanggup kita urus ya kita batalkan saja syariat Islam.

Karena semua persoalan negatif di negeri ini yang dikambinghitamkan adalah syariatnya. Misalnya, ada yang mengatakan, “nyan cok (tuh ambil) syariat Islam, rasakan menjadi provinsi termiskin di sumatera.”

Semua persoalan nagatif selalu dikaitkan dengan syariat Islam, padahal untuk syariat Islam itu tidak ada penguatan sama sekali. Maka kalau memang kita tidak sanggup berbuat, kita batalkan saja, supaya kita tidak perlu ribut. Kalau ada yang pakai celana pendek silakan. Kita tidak perlu heboh.

Kalau di Jakarta saya nggak marah melihat orang bercelana pendek. Tetapi kalau di Aceh, saya marah sekali. Maunya saya pukul saja, tetapi karena postur saya stunting, ya harus mundur. Coba kalau badan saya sebesar Tgk Amiruddin, saya hantam terus.

Ini (persoalan syariat Islam) anomalinya bagi kita. Ke depan semoga Allah SWT meridhai. Maka mulai terlihat tanda-tandanya. Di saat bersamaan ketika putra Aceh segera dilantik jadi Pj Gubernur, pada saat bersamaan putra Aceh yang lainnya juga menjabat sebagai Pangdam IM.

Dan, itu tentu saja sebuah kebahagiaan. Karena sesuai juga apa yang dikatakan pengkritik, capek kita berperang dengan jumlah korban tak terhingga, tetapi yang kita perjuangkan supaya Aceh merdeka, ternyata yang jadi gubernur, kapolda, pangdam, kajati orang lain semua. Kita apapun tidak ada. Ini juga anomaly bagi kita.

Jadi, perjuangan-perjuangan itu membuahkan kesia-siaan selama kita tidak menjadikan orientasi penguatan hukum syariat. Padahal Allah sudah menyatakan dalam Alquran yang artinya, “Kalau kalian komitmen untuk menolong Allah pasti Allah perkokoh nilai tawar kalian.”

Makanya kalau orientasinya bukan syariat maka kita akan dilemahkan oleh anggaran, factor dana, dan lain sebagainya.

Saya senang ketika mendengarkan sambutan dari Ketua KWPSI bahwa kepedulian kepada syariat itu tetap bertahan, tidak bisa ditawar-tawar.

Saya juga merasa senang bahwa anak yatim di seputaran Banda Aceh dan Aceh Besar ada kepedulian dari berbagai pihak. Tetapi bagaimana dengan yang di daerah-daerah. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan ini menjadi faktor pemicu semoga di daerah lain tergerak melakukan  hal yang sama. Apalagi dengan banyaknya rekan-rekan media, semoga bisa menyuarakan bahwa anak-anak yatim membutuhkan sosok ayah di hari-hari penting seperti ini. Bukan hanya sebatas daging meugang yang sampai ke rumah tetapi kehadiran sosok ayah. Mereka diperlakukan secara manusiawi, bukan sebagai penerima kebaikan dari para muhsinin tetapi benar-benar sebagai anak yang dapatkan kebaikan dari sosok ayah yang hilang dalam hidup mereka.

Yang berikutnya, saya sudah lama mengkritisi pelaksanaan Ramadhan di negeri kita. Ramadhan menjadi sesuatu yang mencekam. Bayangkan, malam pertama Ramadhan sampai malam-malam berikutnya, setelah magrib pusat Kota Banda Aceh itu sudah layak menjadi lokasi syuting film horror. Ada banyak toko lampu menyala tetapi tidak ada manusia sama sekali.

Kita tidak ingin Ramadhan itu mencekam. Kita ingin Ramadhan itu semarak. Maka salah satu caranya adalah dengan menggeser jadwal shalat Isya dari jam 8 ke jam 9.

Ketika isu ini saya gulirkan pertama sekali, di-bully seluruh Aceh. Seolah-olah yang pertama masuk neraka setelah Abu Lahab langsung saya. Ada yang menganggp saya memang malas shalat.

Padahal coba kita datang ke pesantren-pesantren seluruh Aceh, coba perhatikan jam berapa di pesantren itu azan isya. Tetap azan isya-nya jam 9. Jadi, kalau di laur Ramadhan azan isya jam 9 kenapa tidak kita lanjutkan pada bulan Ramadhan tetap jam 9. Ini yang terjadi adalah begitu masuk Ramadhan, shalat isya-nya sudah jam 8. Seolah-olah kita ingin mempertegas seolah-olah kita ingin mempertegas bahwa kita sangat berbeda dengan sikap wahabi yang ada di Arab.

Di Arab itu, di luar Ramadhan azan isya-nya jam 8. Tetapi khusus di bulan Ramadhan mereka tunda azan Isya hingga jam 9. Jadi, supaya kita sangat terlihat berbeda dengan sikap wahabi yang ada di Arab, maka kita azan isya di luar Ramadhan jam 9 sedangkan saat Ramadhan jam 8. Pokoknya jangan sama dengan wahabi. Tidak ada usaha perbaikan.

Dengan kondisi seperti ini, bayangkan saja saat acara buka puasa bersama, kita siapkan katering dengan jumlah yang banyak, namun akhirnya menjadi mubazir karena dihadang panggilan azan Isya.

Inilah hal-yang yang seharusnya menjadi tema untuk kita pikirkan sehingga menjadi bahan diskusi. Kita tidak memaksa supaya cepat terlaksana (semua regulasinya) tetapi setidaknya gagasan tersebut menjadi narasi yang baru supaya Aceh menjadi pioneer bagaimana mengelola Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Bulan yang disenangi, bukan bulan yang ditakuti.” []