Oleh Darmansyah
ESAI pendek itu sangat menarik. Tentang meritokrasi. Sayangnya terlalu centeng. Centeng itu sama dengan sumir, pendek atau pun pandak. Gak panjang.
Gak membahas inti dari meritokrasi itu sendiri. Alasan si penulisnya hanya untuk “test case”.
Katanya kepada saya: “biar rincian informasinya ditanggapi, diuji secara ‘expected result’. Secara lengkap dan berpanjang-panjang.
Walaupun sumir, “test case” esai meritokrasi itu ditulis serinci mungkin dengan format terstruktur agar memudahkan untuk dibaca.
Penulisnya seorang teman esais terkenal. Teman yang sering ber- “say hello and bye..bye”… Yang kemarin saya tanyakan kenapa dia gak menulis secara “heiding” meritokrasi itu.
Jawabannya sangat khas pertemanan sesama jurnalis. “Supaya Anda juga ikut menuliskannya kembali. Seperti saya juga menulis esai “test case” sumir Anda kembali. Hohoho….
Saya sudah tahu hulunya tulisan meritokrasinya. Bahkan sampai ke hilir. Hulunya pemilihan kepala daerah dan hilirnya pemimpin yang akan menjadi penjabatnya.
Pemimpin yang hari-hari ini masih bernama calon. Anda sudah tahu bagaimana heboh dan gaduhnya musim durian runtuh ini.
Ya sudah. Gak ..pa..pa. Saya memulainya saja. Seperti ucapan si teman esais hebat itu: …Anda ikut juga menuliskannya…
Saya bismillah… saja…
Meritokrasi seperti saya tahu : “sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi.
Bukan berdasarkan kekayaan atau kelas sosial.
Sistem politik itu berkelindan dengan kondisi hari dan hari..hari.. ini. Kondisi negeri yang gak baik-baik saja. Kondisi yang merittokrasinya digilas oleh pembentukan kasta…
Kondisi yang menjadikan musabab langkanya pemimpin yang baik dan hebat.
Alangkah ironisnya Anda dan saya kehilangan pemimpin yang jelas-jelas terbukti hebat tapi tidak bisa lagi berkarier karena aturan.
Mungkin saya halu. Menginginkan lahirnya pemimpin berdasarkan merit. Merit yang dijunjung tinggi secara prinsip di banyak negara belahan bumi lain.
Pemimpin hebat-hebat yang harus naik dari anak tangga meritokrasi. Seperti itulah yang dengan ketat dilaksanakan di utara kita. Lalu terbukti menjadi salah satu kunci sukses negara itu.
Dari contoh itu kita bertanya apakah di negeri Jakatana ini ada yang masih meneguhkan janji untuk punya prinsip menegakkan meritokrasi?
Apakah rakyatnya mempertimbangkan prinsip meritokrasi dalam setiap pemilihan kepala daerah?
Kalau saya diperkenankan menjawab pertanyaan yang saya bikin sendiri itu. “gak tahu apakah setuju atau tidak. Apakah masih menjunjung tinggi meritokrasi. Entahlah.. Cuma di dalam hati.”
Bagaimana dalam tindakan?
Wallahualam bi-sawab.
Anda sudah tahu, salah satu penghambat meritokrasi di sini: “kalau sudah duduk lupa berdiri. Pun ingat masa jabatan akan berakhir, akan diwariskan kepada keluarga atau orang separtai saja.”
Di masa reformasi dulu kita teriak anti ka-ka-en,,, Anda tahu siapa di antara kita yang paling lantang teriaknya. Malah sampai ke istana sana…
Tapi Anda juga tahu ketika si tukang teriak itu sudah duduk menjabat, tindakannya begitu sarat ka-ka-en. Akronim ka-ka-en nya mereka ganti dengan “ keluarga dan konco ndewe.”
Kalau dulu di era saya, zaman jayabaya, yang menilai prestasi adalah atasan. Kini bukan lagi atasan yang menilai prestasi itu. Sudah pindah ke partai dan rakyat setempat.
Kini rekom partai sangat menentukan. Istilahnya rekom, tapi isinya putusan partai: siapa calon bupati atau wali kota dan gubernur di suatu wilayah.
Minggu-minggu ini perburuan rekom itu luar biasa gencarnya.
Anda pun tahu: apa syarat utama untuk mendapatkan rekom partai. Nomor satunya bukan capaian prestasi.
Memang akan ada perdebatan yang panjang: apa kriteria prestasi yang istimewa itu. Sebenarnya perdebatannya gak rumit-rumit amat. Apa pun pasti bisa dirumuskan. Yang penting mau atau tidak.
Berangkat dari kosakata meritokrasi sendiri ia berasal dari kata merit yang sama dengannya imbalan. Sedangkan tokrasi idem demokrasi….
Jadi demokrasi yang didasarkan pada besar kecilnya imbalan .. setidaknya itulah bahasa yang dipahami masyarakat pada umumnya.
Semua bisa dilihat pada “pesta” demokrasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden kemarin, di mana masyarakat “pesta” terima amplop warna warni.
Kalau Anda bertanya kepada penerima amplop jawaban singkat. Ringkas. Mumpung lima tahun sekali “mereka” bagi-bagi…
Selanjutnya paling lupa kalau sudah terpilih…. Itulah fenomena meritokrasi versi masyarakat prindava….
Makanya saya amat enggan bicara meritokrasi pemimpin. Saya sudah banyak diberitahu oleh orang partai. Untuk dapat tiket pemilihan kepala daerah dari partai pengusung itu gak gratis.
Juga diberitahu dana anggaran daerah yang sebagian besar habis untuk biaya pegawainya. Masalah sampah aja, saat ini ada yang gak bisa menanganinya.
Kalau tidak percaya datang dan tanyakan saja untuk membuktikan sendiri.
Karena saya datang dari koloni penulis senyap yang bukan pakar ilmu politik khatamnya, hanya menulis.
Khatam menulis itu harus diimbangi dengan khatam membaca. Khatam juga membaca meritokrasi politik cina. Saya gak anti demokrasi elektoral, satu orang satu suara, tidak semuanya buruk.
Orang barat membagi sistem politik dengan “demokrasi yang baik” dan “otoriter yang buruk”. Dari dua kategori itu itu salah satunya tak bisa masuk ke cina.
Di tingkat bawah, ya, demokrasi electoral. Di tingkat menengah dan atas, asas meritokrasi yang digunakan. Bupati atau wali kota yang kinerjanya bagus diangkat menjadi gubernur.
Dari gubernur masuk ke jajaran kabinet. Tetapi khas cina, mau jadi bupati atau wali kota atau gubernur harus ranting tingkat ranting, cabang, daerah hingga provinsi.
Tak ada ceritanya bukan kader partai bisa jadi wali kota atau gubernur. Bahkan kader partai pun kalau kinerjanya biasa-biasa saja juga akan tersisih.
Di negeri hantu laut ini mau menerapkan asas meritokrasi? Untuk jabatan dalam birokrasi memang bisa. Tetapi untuk jabatan politik, ya susah.
Di sini yang dibutuhkan kesadaran. Untuk itu diperlukan kata “seandainya.”
Seandainya semua pemimpin itu sadar, bahwa tugasnya diangkat, ditunjuk, maupun diberi amanah dengan cara dipilih secara langsung oleh rakyat adalah untuk melayani masyarakat.
Andainya mereka tahu seharusnya kemajuan daerah yang diraih bukanlah menjadi sebuah prestasi. Melainkan kewajiban, bentuk pertanggungjawaban atas amanah yang sudah diberikan.
Nyatanya masih banyak yang merasa bahwa pemimpin itu adalah raja, yang harus selalu dilayani, dicukupi dan dituruti semua kemaunya.
Sehingga tidak pernah terpikirkan lagi, untuk melayani masyarakat. Karena yang harus dilayani adalah atasan yang lebih tinggi.
Tipe pemimpin yang dilahirkan era sekarang beragam. Ada yang berprestasi. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang tidak cakap. Tapi, banyak yang kurang ajar.
Saya berhak menyebut kata “kurang ajar” ini karena termasuk orang yang amanah. Amanah yang malah berkhianat. Menjadi tikus got mengembat duit rakyat.
Lebih kurang ajar lagi, sudah mendapat cap narapiadana, eh, maju lagi menjadi calon. Dan, terpilih lagi.
Kalau saya ukuran seorang pemimpin yang berprestasi laksanakan dulu kewajibannya. Jika sudah dilaksanakan itu hanya baru disebut menggugurkan kewajiban.
Yang disebut berprestasi jika pemenuhannya melebihi yang wajib tadi. Anggaran sudah dari pusat tiap tahunnya, tinggal melaksanakan saja itu bukan prestasi.
Yang disebut berprestasi itu misal: bisa memajukan pendapatan daerah melebihi anggaran dari pusat, bisa menaikkan pendapatan dan kemakmuran daerah, bisa menurunkan angka pengangguran.
Ditambah lagi bisa lebih banyak industri dibangun, fasilitas publik jadi lebih baik dan lebih lancar, penertiban hukum lebih baik dan nokorupsi di pemerintahannya.
Jadi sekali lagi kalau cuma bisanya menyebar anggaran yang dari pusat tadi ya masih disebut si tenguk.
Tren saat ini di daerah banyaknya selain partai malah pendukung pencalonnannya dari para broker yang siap dengan duitnya.
Ujungnya kemudahan izin tambang dan fasilitas proyek-proyeknya. Jadi yah ngono-ngono wae, tak ada perkembangan apapun.
Salah pemilih juga mau yang dua ratus ribu sama sepuluh kilogram beras. Itu masalahnya.
Satu kartu suara sangat mudah dibelinya di negara demokrasi ini katanya. Selama yang kismin masih jadi mayoritas maka mereka masih bisa bermain-main dengan kekuasaan.
Mau bagaimana. Sistem demokrasi dan sistem hukum kita membuka pintu selebar-lebarnya. Kenapa, ya, belum ada koruptor yang dihukum mati di negeri ini.
Saya juga gak menyalahkan kekurang-ajarannya. Alasannya bupati dan wali kota itu bukan pelatih bola. Pelatih yang mudah menilai keberhasilannya.
Tinggal lihat data. Bagaimana perkembangan pemain. Berapa tropi yg sudah dikoleksi. Bagaimana posisi peringkatnya. Sayangnya ya itu.
Untuk indikator kriteria saja rakyat banyak tidak tahu. Apalagi nilai masing-msing kriteria.
Sepertinya peluang inilah yg dimanfaatkan atas nama survei. Diinput, diolah akhirnya keluarlah angka-angka kepuasan untuk kelanjutan.
Dan popularitas untuk newcomers… hahaha…[]
- Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”