Politisi Kutu Loncat

Darmansyah


ENTAH
kenapa diskusi pagi saya di kupi solong, kawasan Ulee Kareng, kemarin  dengan dua profesor ekonomi melenceng ke tema lain. Politisi “kutu loncat.”

Tidak hanya melenceng. Malah terperosok lebih dalam … lebih dalam dan di kedalaman.



Saya menyesal usai diskusi itu bubar. Topik yang kami sepakati masalah hambatan investasi di Aceh jadi menguap. Nggak ada kesimpulannya. No progress. ,,, hahaha…. Cilaka…

Tak tahu siapa yang membawa piasan politisi  kutu loncat itu ke dalam pembicaraan kami bertegangan rendah itu. Seingat saya ada seorang tetangga meja yang menyapa seorang teman diskusi dengan ucapan: “ada politisi kutu loncat lagi ya.”

Lantas sapa antarmeja itu lanjut ke cas..cis…cus.. tanya.. siapa … sebagai apa.. dst ..yang bahasan lanjutannya berujung… ah… politisi ‘cari panggung.”

Politisi kutu loncat cari panggung baru. Politisi yang dicas..cis..cuskan ternyata seorang tokoh. Tokoh partai beringin yang dulu menjadi tempat berlindungnya paling nyaman.

Kan dulunya pohon beringin nyaman untuk mengamalkan syariah monoloyalitas. Loyalitas tunggal beringin.

Sang tokoh pernah jadi sesuatu di partai dan lembaga legislatif lokal dan Jakarta.

Selebihnya, kalau pun saya tahu nggak mau melanjutkannya. Anda dan saya cukup tahu sama tahu saja siapanya…

Nggak perlu tahu sampai ke periuknya.

Tahu nama. Tahu latar belakangnya. Dan tahu siapa dia. Ya sudah…

Awal mendengar obrolan tentang “kutu loncat” ini saya memposisikan diri sebagai jamaah. Hanya sesekali menyela dengan tanya nakal khas reporter. Tanya yang disertai tekanan gas untuk menghela masalah untuk lebih emosional.

Biasalah… masalah politik, apalagi menyangkut nama beken di panggung lokal, jauh lebih menarik dari investasi. Apalagi yang kami diskusikan menyangkut investasi “bodong”.

Akhirnya saya terseret juga ke arus kuat diskusi “outside” ini. Padahal di antara kami sudah beberapa kali saling peniup pluit. Pluit bola sudah keluar garis. Harus dipungut untuk dilempar ke dalam topik utama.

Tapi … entahlah… sudah fitrah manusia untuk berghibah. Terutama ghibah “kutu loncat.”

Tentang politisi kutu loncat itu saya termasuk khatam. Khatam dari pengalaman panjang jadi reporter. Reporter media manstream. Yang banyak bergaul dengan kutu loncat. Kutu loncat yang jenisnya banyak.

Seperti kutu loncat aslinya. Serangga kecil anggota suku psyllidae. Serangga yang hidup dengan memakan cairan tumbuhan, sehingga beberapa jenisnya dikenal menjadi hama berbahaya.

Ya kutu loncat itu hama. Entah kalau di politik hama ia juga hama. Anda jawab sendiri. Jangan ketawa.

Sebab kalau saya nggak menyamakannya dengan hama. Kalau Ana terserah.

Bacaan shahih saya lainnya kutu loncat itu berteman dengan banyak hama. Hama tumbuhan. Seperti kutu daun, kutu perisai atau pun kutu putih.

Kelompok terakhir dinamai  sternorrhyncha. Yang dianggap bentuk hidup paling primitif dari kepik sejati. Walaupun kutu loncat banyak marganya para peniliti mengatakan mereka hakekatnya satu suku, dan sekarang mereka disebar keenam famili.

Salah satunya adalah kutu loncat benaran. Tentu bukan kutu loncat “politisi”.

Dan terserah Anda juga menyamakan atau membedakan antara kutu loncat politisi dengan kutu loncat serangga.

Yang pasti habitatnya beda walaupun namanya sama: kutu loncat.

Tentang politisi kutu loncat ini saya teringat sebuah bincang dengan seorang akademisi politik. Namanya pernah berkibar. Ikrar Nusa Bakti. Peneliti lembaga ilmu pengetahuan. Lipi.

Ia  mengatakan fenomena politikus kutu loncat ini bukanlah suatu hal yang baru. Tapi sesuatu yang lazim terjadi di era reformasi demokrasi.

Banyak elite politik yang melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan.

Sandaran politikus kutu loncat adalah parpol yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas angin. Mereka mengenyampingkan loyalitas dan ideologi politik.

Apakah fenomena ini merupakan problem? “Ya,” kata Ikrar waktu itu.

“Problem besar”.

Problem tak ada lagi undang-undang yang mengikatnya. Ranahnya urusan kontrak politik antara kader dengan parpol yang bersangkutan.

Tindakan politikus kutu loncat yang dilakukan oleh seorang kader utama, jelas bisa merugikan parpol yang ditinggalkan. Rantai kaderisasi yang sudah dirintis sekian lama dan jaringan yang sudah dirintis menjadi terputus,” tutur Ikrar.

Fenomena ini biasanya dipicu oleh kondisi internal parpol. Parpol dinilainya belum mempunyai aturan yang memadai dalam mengusung calon pejabat publik, baik kepala daerah maupun anggota legislatif.

Hal tersebut menimbulkan celah bagi politikus mudah keluar masuk parpol saat menduduki pejabat publik.

Fenomena kutu loncat ini ada musimnya. Musim pemilu. Sejak pemilu bebas kecambahnya tumbuh subur.

Di tingkat nasional Anda bisa mencatat nama kecil dan besar. Nama kecil sebut saja si Ruhut yang ada Sitompul-nya.

Juga ada Pak De Karwo yang dulu menjadi gacok demokrat di Jawa Timur. Tapi kini sudah di golkar dan menjadi sesuatu. Sesuatu yang ada proyeknya…. proyek takut miskin.

Nama besar? Wuih … kalau ini saya tak menyebut nama. Bisa di-cut. Terlalu riskan. Padahal saya tak mau di-cut. Lebih suka di-up….

Bersamaan dengan loncatnya sang politisi partai beringin ke partai berbendera merah itu mungkin ditopang oleh cuaca dari musim yang massif. Kalau sudah begini musimnya pasrah sajalah.

Memang, dulu, seingat saya ada diskusi besar untuk mencegah  “kutu loncat” ini. Alat pencegahnya ideologi partai. Dengan ideologi ini kecintaan kader terhadap partai terukur.

Dari platform. Ide-ide, garis perjuangan yang ada dalam partai membuat seseorang akan rela menjadi mesin.

Mereka rela untuk menjadi anggota partai tanpa harus menjadi pengurus “teras.” Mau berkorban untuk partai tanpa harus dinominasikan pada pemilu legislatif dan pemilukada.

Rela bekerja keras dan memiliki kesabaran yang tinggi, sehingga pada suatu saat akan menjadi kader yang tangguh dan “tertempa” secara ideologis.

Munculnya perebutan kekuasaan, perpecahan, friksi dalam internal partai kelak tidak membuat kader berubah menjadi “kutu loncat” begitu saja.

Konflik pada organisasi yang memilki ikatan ideologi kuat akan lebih mudah diminimalisir. Dan konflik yang muncul dapat dikelola secara internal. Sehingga kader garis miring politisi tidak mudah “melirik” partai lain, karena ideologi partai yang tertanam pada kader tidak akan bisa “larut” dengan ideologi partai lain.

Itu kan idealnya. Itun secara akademis. Kini yang menonjol justru pragmatism. “Gua kerja lantas lu kasih apa.”

Ideologi? Kan nggak bisa dikunyah sebagai makanan. Apalagi makan siang. Tak ada yang gratis.

Ideologi yang dimiliki partai tidak terlalu penting untuk saat ini. Apakah Anda bisa membedakan antara satu parpol dengan parpol lain, kecuali hanya namanya saja?

Proses rekrutmen? Ah… cerita basi. “Broh.” Sampah.

Ya tampung aja “kutu loncat.” Clearkan. Biarkan saja mereka masuk partai a har ini. Keluar dan masuk partai b besok… dst…

Fenomena ini makin marak dengan sikap partai-partai yang memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk masuk kepada parpol dengan pertimbangan untuk mendongkrak suara.

Dana kepopularan kan gratis.  Surat izin loncatannya melimpah lewat kebijakan partai terbuka.

Padahal sikap keterbukaan partai ini merupakan sesuatu yang berbahaya. Perjuangan politisi seperti ini demi untuk kepentingan pribadi dan kelak akan mengabaikan prinsip-prinsip etika dan norma dalam berpolitik.

Hal inilah yang memunculkan politisi korup dan tanpa peduli akan nasib masyarakat.

Parpol yang memiliki ideologi yang  kuat dan jelas dapat mencegah munculnya politisi “kutu loncat.”

“Kutu loncat” tanpa screening yang ketat.

Ah…. saya ngelantur. Masalah politik kok dinyinyiri. []

  • Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”.