Empat Pulau Itu Milik Aceh: Suara Sejarah dari Tahun 1853
LAKSDA TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, mantan Kabais TNI 2011-2013, dalam blog-nya (solemanponto.blogspot.com) menulis catatan sejarah tentang empat pulau di Aceh Singkil yang kini masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara. Catatan sejarah yang ditulis di Jakarta, 12 Juni tersebut dikutip Portalnusa.com untuk menjadi referensi dan pengetahuan kita semua di tengah tingginya suhu kemarahan masyarakat Aceh.
Ketika Menteri Dalam Negeri menetapkan empat pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, melalui SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, saya merasa ada yang luput.
Keputusan administratif yang hanya disandarkan pada teknologi spasial modern ternyata mengabaikan sesuatu yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih bermakna yaitu sejarah.
Sebagai seorang yang menghormati hukum dan mencintai arsip, saya menelusuri akar sejarah empat pulau tersebut.
Hasilnya mengejutkan—dan tidak bisa dibantah: empat pulau itu sejak abad ke-19 adalah bagian dari wilayah Aceh.
Bukti Tertulis: Peta Kolonial Hermann von Rosenberg (1853)
Pada peta resmi yang dibuat oleh Hermann von Rosenberg pada tahun 1853, seorang kartografer Hindia Belanda yang mendokumentasikan wilayah Distrik Singkil, dengan tajuk “Kaart van het District Singkel“, keempat pulau tersebut terang-terangan digambarkan dalam wilayah administratif Aceh Singkil.
Peta itu bukan fiksi. Ia diterbitkan dalam jurnal ilmiah resmi pemerintah kolonial, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, dan kini disimpan di KITLV Leiden.
Ini bukan sekadar peta tua. Ini adalah dokumen negara kolonial yang menunjukkan bahwa dari segi pemerintahan Belanda, pulau-pulau itu adalah bagian dari Aceh.
Jika negara ini menghormati arsip kolonial dalam hal batas wilayah lainnya, mengapa untuk kasus Aceh ini diabaikan?
Dokumen Agraria 1965 dan Kesepakatan Gubernur 1992
Jejak sejarah tidak berhenti di tahun 1853.
Tahun 1965, Kepala Inspeksi Agraria Aceh Selatan secara resmi mencatat keempat pulau itu sebagai bagian wilayah Aceh.
Kemudian, pada 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut menandatangani kesepakatan batas laut yang juga memasukkan keempat pulau tersebut dalam zona Aceh.
Inilah kontinuitas hukum dan administratif yang tidak boleh diputus hanya karena teknologi GIS menunjukkan garis berbeda. Sejarah bukan algoritma, ia berdiri karena jejak nyata.
Fakta Fisik: Aceh Hadir di Pulau Itu
Di Pulau Panjang dan Mangkir, terdapat tugu batas bertuliskan “Kabupaten Aceh Singkil”, dermaga yang dibangun dengan APBA dan tenaga medis dari Dinas Kesehatan Aceh.
Penduduk setempat membayar pajak ke Aceh. Lalu mengapa hari ini pulau itu tiba-tiba masuk Sumatera Utara?
Jika negara ini menjadikan “kehadiran administratif” sebagai ukuran, maka Aceh telah lama hadir di sana—bukan hanya lewat peta, tapi juga lewat pengabdian.
Saya bertanya kepada negara:
Apakah kehadiran administratif bisa menghapus sejarah? Apakah garis satelit bisa membatalkan tugu sejarah? Apakah keberadaan Aceh selama lebih dari satu abad bisa digusur oleh satu surat keputusan?
Saya tidak menolak teknologi. Tapi saya menolak ketika teknologi melupakan sejarah.
Saatnya Menghormati Jejak Lama
Empat pulau itu bukan sekadar gugusan karang. Mereka adalah warisan, marwah, dan tapal batas sejarah Aceh.
Negara yang adil adalah negara yang menghormati arsipnya sendiri. Dan saya percaya, Aceh tidak sedang menuntut lebih. Aceh hanya ingin agar sejarahnya tidak dicabut dari peta.[]