Konsil Kolegium

Oleh Darmansyah

TEMAN saya itu dokter. Spesialis. Penyakit dalam. Sejak tiga puluh dua tahun silam. Sudah sub-spesialis. Jantung. Sudah di tataran guru besar.

Pernah jadi dekan dan direktur rumah sakit milik pemerintah provinsi.

Ia tulen Aceh. Alumni kedokteran Universitas Diponegoro ketika belum ada fakultas kedokteran di negerinya.

Kemarin siang dia datang dan ngajak cari kopi dan kuah beulangong. Dua kuliner aceh sebagai penggenap sunah muakad dalam tajussalatin “peumulia jamee.” Memuliakan tamu.

Di hari kemarin itu saya memang berada di posisi tamu.

Pencarian ini lewat meupakat. Sebab “nibak meupakat lampoh jirat tapeugala.”  Karena ada “tapeugala” inilah saya dan teman mencarinya hingga ke ujung batas Cinere.

Ujung Cinere perbatasan Jakarta-Depok.

Sepanjang perjalanan ke batas kota itu ia ngoceh. Sesekali ngelantur. Lainnya ada degup suara meninggi. Saya hang..hing.. ..hong dengan istilah yang ia pilin dalam degup suara itu.

Mulai dari konsil, kolegium, profesi, etik dan entah apa lainnya yang bikin saya fly jajaran istilah itu. Istilah yang dalam otak saya terurai menjadi merek stateskop, susu formula ataupun band jazz.

Semuaya seperti kosakata sakral baginya. Ya..begitulah nasib dunia kesehatan dari versi yang ia ocehkan di telinga saya sepanjang perjalanan itu.

Saya tahu sebagai guru besar, dosen, dan praktisi yang sehari-hari berkutat dengan anatomi, farmakologi, dan segala yang tak terjangkau logika ia pantas jengkel.

Tentu tidak hanya dia. Mereka yang satu kolega dalam urusan ilmu yang dipakari, yakni bidang kedokteran memang seperti sakit hati hari-hari ini.

Sakit hati itu karena kolegium alias badan ilmiah yang bertugas menyusun kurikulum, standar kompetensi, dalam memastikan dokter spesialis kini diacak jadi “tukang suntik asal-asalan”.

Seperti dikatakan sang teman: kembali ke zaman purba. Zaman ketika dokter umum bisa bedah sesar, bisa potong usus dan bisa potong kaki dan tangan. Hahaha…

Lantas saya teringat ke era purba itu. Era tahun lima puluhan ketika gelar dokter dapat tambalan dokter med. Dokter med yang penah bertugas di kampung saya.

Dokter yang datang dari program bantuan asing. Progran we-ha-o.

Dan seingat saya ada dua  di antara mereka bernama dokter med Palm dan dokter med Nex. Yang Palm Belanda tulen sedang si Nex Jerman setengah Yahudi.

Yang Palm itu itu masih lajang dan akhirnya menikah dengan gadis asal Simeulue. Sedangkan si Nex membawa istri yang bule asli dan cantiknya bak gadis Lamno.

Saya ingat betul ketika itu si Nex pernah mengoperasi sesar makcik saya yang melahirkan anak kembar tiga. Dari ketiga anak itu satu yang selamat dan kini menjadi sepupu saya.

Saya tahu persis si Nex dan Palm gak memerlukan spesialis bedah anak atau pun anestasi dalam melakukan operasi kecil dan besar, Semua operasinya lancar-lancar saja.

Tapi, kini, ada aturan main yang diorkestrasi oleh kolegium. Itu terjadi setelah Palm dan Nex hengkang.

Dan sejak dulunya kolegium inilah yang mengatur segala hal terkait mutu pendidikan kedokteran dan berlaku di lembaga-lembaga pendidikan kedokteran.

Termasuk sang teman yang ngajak kuliner.Teman anak orang  “berada.” Yang ayahnya eksportir rempah-rempah dan punya banyak hotel. Yang tiga dari lima anaknya jadi dokter.

Tema ngomongnya berpindah-pindah. Dari kolegium ke konsil. Lalu melebar ke etika. Soal etika ini saya bisa paham. Kan sebagai jurnalis saya juga dipayungi etika. Kode etik. Kode Etik Jurnalistik.

Selain etik. Yang lainnya, otak saya tumpul untuk menterjemahkannya. Saya bisa tersesat untuk memahaminya  Gak ngerti apa konsil.

Makanya otak saya sering tersedak dan minta dijelaskan.

Ternyata konsil kedokteran, itu adalah lembaga yang mengesahkan standar sekaligus mengawasi praktik profesi dokter.

Fungsi utamanya mengesahkan sekaligus memastikan apa yang ditulis kolegium tidak ada yang salah titik komanya.

Menurut sang teman yang sudah sub-spesialis jantung sekaligus konsultan, di negara-negara yang waras, kedua lembaga —kolegium dan konsili—dijaga tetap independen.

“Di sini,” katanya,“ semuanya ditaruh di bawah ketiak kementerian kesehatan. Supaya lebih “terkoordinasi”.

Dalihnya efisiensi dan penyederhanaan.

Undang-undang kesehatan terbaru telah mengubah wajah kolegium dan konsil: dari badan otonom ilmiah menjadi anak-anak tangga birokrasi.

Kini, kolegium bukan lagi dibentuk oleh komunitas profesi, tapi oleh pemerintah.

Bahkan keanggotaannya bisa ditentukan lewat… voting. Ya, voting. Seperti pemilihan ketua rukun tetangga bukan penentu nasib pendidikan dokter spesialis.

Tak perlu jadi guru besar untuk tahu keputusan ini sangat berbahaya.

Sampai di sini suara sang teman berdegup: bayangkan, kalau mutu  pendidikan dokter ditentukan oleh perwakilan politik.

“Maka siap-siaplah mendapat layanan medis yang standar etiknya mungkin setara dengan “dokter di sinetron” —banyak gaya, minim kompetensi.”

Menurut sang teman yang ikut tanda tangan deklarasi guru besar kedokteran kemarin, ini bukan sekadar kooptasi, tapi semacam “suntik mati” terhadap integritas akademik.

Deklarasi guru besar itu saya tahu. Tempatnya di Salemba, ujung Kramat Raya.

Saya tahu Salemba sebagai monumen ilmu kedokteran. Tempat Hariman Siregar dulu menggerakkan demo malari. Malapetaka lima belas januari. Demo yang membakar Jakarta.

Kata sang teman dipilihnya Salemba untuk mengingat dan menumbuhkan kesadaran yang mendalam dan kekecewaan yang membuncah dari dunia kedokteran.

Mereka datang bukan untuk mengajar, tapi menyampaikan keprihatinan. Mereka bukan buzzer, bukan oposan, tapi ilmuwan yang sudah mengabdikan hidup di ruang operasi, laboratorium, dan kelas.

Ketika mereka bicara, mestinya bangsa ini mendengar.

Saya tahu poin mereka sederhana: jangan jadikan pendidikan kedokteran sebagai ladang kuasa.

Pendidikan kedokteran adalah urusan nyawa manusia, bukan proyek yang bisa dikavling-kavling.

Kolegium haruslah tetap menjadi milik akademisi dan praktisi, bukan “alat kelengkapan konsil” yang wajib lapor pada menteri.

Menurut sang teman dia dan teman guru besar lainnya tidak sedang membela organisasi prefesi seperti Ikatan Dokter Indonesia.

“Kami sedang memperingatkan kita semua bahwa ketika pemerintah masuk terlalu dalam ke urusan keilmuan, maka yang dikorbankan adalah: mutu dokter, hak pasien, dan keamanan publik.”

Lantas saya mencoba menggugat sang teman ketika hidangan kuah beulangong khas Cinere sudah tersaji: bukankah pemerintah  sudah membuat undang-undang.

Betul. Tapi tugasnya membuat kebijakan, bukan menyusun kurikulum anatomi forensik.

Saya tambah pusing. Tapi tetap meladeni ocehan sang teman yang tambah jengkel dan menjengkal hingga ke politik.

“Kini demokrasi telah berubah bentuk: dari pemerintahan oleh rakyat menjadi pemerintahan di atas kepala rakyat.”

Entahlah….

Lantas saya coba merangkai tali otak sembari berimaji: ya ini bukan “sapu jagat” demi kebaikan, melainkan sapu yang menyapukan hak-hak profesi ke bawah karpet.

Tak ada partisipasi bermakna. Padahal, banyak alimuwan dan akademisi mengingatkan: konsil kedokteran harus independen.

Termasuk seorang teman saya yang kini menjadi motivator hidup sehat yang mengatakan pemerintah kita lebih suka mendengar saran dari spreadsheet birokrasi ketimbang para pakar.

“Padahal kami telah mengabdi selama puluhan tahun.”

Ia setuju tugas pemerintah mengatur sistem kesehatan. Tapi bukan berarti ia berhak mengatur bagaimana ilmu kedokteran berkembang.

Menteri kesehatan kan gak punya hak menentukan siapa yang pantas jadi pengajar bedah saraf.  Itu yang menjadikan deklarasi guru besar itu gak percaya dengan menteri kesehatan.

Saya tahu dari literasi tentang sain yang kembang karena kebebasan berpikir. Ini aksioma sejak lama.

Makanya kata sang teman kolegium dan konsil jangan diborgol oleh birokrasi. Kalau ini dilakukan yang dihasilkan bukanlah dokter yang berpikir, tapi teknisi kesehatan yang taat instruksi.

Bayangkan bila pemerintah juga ikut menentukan siapa yang pantas mengajar filsafat, menulis puisi, atau membedah naskah kuno.

Kelak, kita akan punya kolegium sastra yang wajib menyisipkan satu bait pujian pada menteri dalam setiap novel. Kalau sudah begini duduk perkaranya maka gak laku lagi imaji puisi-puisi si Hasyim KS.

Sebagai guru besar penyakit dalam sang teman mengatakan sedang cari panggung. “Ini hanya cara  menyelamatkan panggung.”

Panggung tempat semua bisa hidup lebih sehat —dengan dokter yang dilatih bukan oleh pejabat, tapi oleh para ilmuwan sejati.

Dengan sinis sang teman menatap saya dan mengatakan, kalau  Bung bertanya, “apa urusannya buat saya?”

Jawabannya sederhana: karena suatu hari nanti, nyawa kalian mungkin akan bergantung pada keputusan yang diambil oleh orang yang tak pernah belajar kedokteran, tapi kebetulan menjabat.

Lantas saya kembali ke tulisan pekan lalu tentang “benang kusut.”

Benang kusut dunia kedokteran ketika sedang berada di tengah benturan besar—bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan paradigma bahkan lebih kecil lagi berakar dalam cara berpikir.

Tak bisa dipungkiri, jejak cara berpikir Menkes Budi Gunadi Sadikin alias be-ge-es terbentuk dari pengalaman panjangnya di dunia perbankan dan industri.

Ia terbiasa dengan sistem yang dinilai dari kecepatan, output, dan skala distribusi.

Maka ketika ia memandang dunia kesehatan dan kedokteran dari kacamata yang sama, wajah rumah sakit pun diarahkan menjadi semacam unit bisnis negara.

Dunia kedokteran pun, tanpa disadari, sedang dialihkan dari panggilan profesi menjadi lini produksi strategis.

Apa yang kita saksikan hari ini adalah pertarungan diam-diam antara dua paradigma besar: Yang satu bergerak dengan logika efisiensi sistem—permintaan penawaran sedangtkan yang lain bertahan dengan logika formasi manusia, sebuah pendekatan yang mengakar pada profesional ethos dan nilai dasar profesi penyembuh.

Saya pernah belajar bahwa paradigma manajerial, percepatan adalah kebutuhan sistemik. Namun,  di bawah paradigma etik-humanistik, percepatan bisa berarti mutilasi proses pendewasaan klinis.

Masuk akal, ketika negara tergesa-gesa mempercepat, para dokter justru mengambil sikap penahanan.

Bukan karena mereka takut berubah, tetapi karena mereka tahu bahwa membentuk seorang dokter bukan soal memproduksi kompetensi, tetapi menumbuhkan kesadaran moral.

Kita menyaksikan secara telanjang ‘pertarungan’ ego yang gak seimbang.

Bagi saya tidak adil rasanya jika kritik hanya diarahkan kepada pemerintah.

Karena di sisi lain, pada beberapa senter, dunia pendidikan spesialis itu sendiri telah lama menjadi ruang yang terlampau kaku, rumit, dan hierarkis.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Berikan Pendapat

Berita Terkait

0

Benang Kusut

Darmansyah
0