Raksasa Tekstil Indonesia Tumbang, Lebih 10.000 Karyawan Di-PHK, Janji Kampanye Gibran Tak Terbukti

PT Sritek PHK lebih 10.000 karyawan. (Foto: Tempo.co)

PORTALNUSA.com | SUKOHARJO – PT Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa industri tekstil Indonesia, resmi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap hampir 11.000 karyawan per 1 Maret 2025.

Keputusan ini diambil setelah perusahaan mengalami kepailitan yang diumumkan pada Oktober 2024.

Sritex memiliki fasilitas produksi sebanyak 37 pabrik yang tersebar di beberapa lokasi di Jawa Tengah, yaitu Sukoharjo, Semarang dan Boyolali. Pabrik terbesar berada di Sukoharjo menempati 79 hektare lahan.

PHK massal ini memicu reaksi publik yang mengaitkan situasi tersebut dengan Wakil Presiden (Wapres) RI, Gibran Rakabuming Raka.

Selama kampanye pemilu, Gibran dikenal sering mengunjungi karyawan Sritex dan memberikan janji-janji yang kini dipertanyakan setelah terjadinya PHK massal.

Hal ini memicu warganet untuk menuntut pertanggungjawaban atas janji yang telah dibuat. Selain itu, Menteri Ketenagakerjaan yang sebelumnya menjamin bahwa Sritex tidak akan tutup dan karyawan tidak akan terkena PHK juga mendapatkan sorotan.

Netizen mengingatkan kembali janji tersebut dan meminta klarifikasi terkait langkah pemerintah dalam menangani situasi ini.

Kondisi ini menambah daftar panjang perusahaan yang mengalami kesulitan finansial dan melakukan PHK massal, menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas industri dan lapangan kerja.

Sejarah PT Sritex

Dikutip dari Kumparan.com, PT Sritex didirikan pada 1966 oleh H.M. Lukminto yang berawal dari sebuah toko kecil di Pasar Klewer, Solo.

Pada 1968, pabrik cetak pertama Sritex dibuka dengan memproduksi kain putih dan berwarna.

Kemudian pada 1978, Sritex terdaftar dalam Kementrian Perdagangan sebagai perseroan terbatas.

Selanjutnya pada 1982, Lukminto berhasil mendirikan pabrik tenun pertamanya.

Pada 1992, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana. Semua lini produksi tersebut dilakukan dalam satu atap.

Pada 1994, Sritex berhasil menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman.

Sritex selamat dari krisis moneter di tahun 1998 dan berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat, dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.

Sritex terus berkembang hingga sahamnya berhasil melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode SRIL.

Namun, saham SRIL sempat disuspensi sejak 18 Mei 2021 karena penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) tahap III 2018 ke-6 (USD- SRIL01X3MF).

Suspensi tersebut berlanjut sampai 18 Mei 2023. BEI berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut.

Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam menyebut restrukturisasi anak perusahaan di Singapura, yaitu Golden Mountain Pte LTD, masih belum selesai dengan para kreditur.

“Kita sangat memahami BEI memiliki potensi aturan delisting, tapi kami terus berkomunikasi dengan BEI di mana tahun lalu kami sudah meminta dilakukan relaksasi oleh BEI untuk meminta ditinjau ulang sampai akhir tahun 2024 menunggu adanya penyelesaian restrukturisasi,” ujar Welly dalam paparan publik virtual, Selasa, 25 April 2024.

Akibat krisis ini, ribuan pekerja harus di-PHK dan beberapa pabrik Sritex terpaksa ditutup.

Pada Juni 2024, Sritex melakukan PHK sebanyak hampir 3.000 karyawan atau 35 persen dari total karyawan. Perusahaan mengakui masih mempekerjakan 11.000 karyawan.

Direktur Independen Sri Rejeki Isman, Regina Lestari Busono, mengatakan perusahaan mengalami penurunan kinerja karena pesanan yang diterima tidak sebanyak sebelum Covid- 19. Sehingga kapasitas produksi harus disesuaikan, termasuk efisiensi biaya untuk menjaga kesinambungan perusahaan beroperasi.

Perusahaan terpaksa memangkas tenaga kerja sebanyak 35 persen sejak awal meledaknya Covid-19,” ujar Regina dalam paparan publik SRIL virtual, Selasa, 25 Juni 2024.[]