Kongres Persatuan PWI: Legitimasi, Kepemimpinan, dan Masa Depan Organisasi

Hendra J Kede

Hendra J Kede, ST, SH, MH, GRCE, Mediator

Ketua Dewas YLBH Catur Bhakti KBPII/Pemerhati GRC/Profesional Mediator/Penulis/Waka KI Pusat RI 2017-2022

(Tulisan ini sudah tayang di Kumparan.com dan dikutip kembali oleh Portalnusa.com)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini hukum dan tata kelola organisasi demi reformasi organisasi, dan tidak ditujukan untuk menyerang seseorang secara personal. Penyebutan nama-nama dalam tulisan ini semata-mata dalam kapasitas jabatan publik dan tidak mengandung nilai tuduhan atau evaluasi personal. Tulisan ini bertujuan untuk memperkuat tata kelola dan semangat rekonsiliasi organisasi, serta tidak ditujukan untuk merendahkan siapa pun.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) punya hajatan besar dalam waktu dekat. Kongres Persatuan PWI akan digelar sekitar minggu keempat Agustus 2025 untuk memilih dan menetapkan, di antaranya, Ketua Umum (Ketum) dan Ketua Dewan Kehormatan (Ketua DK).

Pelaksanaan Kongres Persatuan PWI mendapat kepastian setelah ditandatanganinya kesepakatan pelaksanaan Kongres Persatuan oleh Hendry Ch Bangun, Ketum hasil Kongres PWI XV Bandung 2023, dengan Zulmansyah Sekedang, Ketum hasil Kongres Luar Biasa (KLB)  PWI Jakarta 2024. Dilanjutkan disepakati komposisi dan nama-nama Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) Kongres Persatuan.

Belum ada kepastian apakah Ketum dan Ketua Dewan Kehormatan (DK) yang akan dipilih tersebut untuk menyelesaikan masa kepengurusan periode 2023-2028 atau merupakan masa kepengurusan periode tersendiri, 2025-2030. Publik masih menunggu kepastian dari SC Kongres Persatuan.

Tulisan ini dibuat dengan optimisme bahwa Kongres Persatuan PWI benar-benar dapat menyatukan semua elemen internal PWI dan mengembalikan sinergi positif pihak eksternal dengan PWI, setelah lebih setahun terakhir mengalami dinamika yang luar biasa menyedot energi dan perhatian publik.

Kongres Persatuan diharapkan bukan sekadar ajang untuk menyelesaikan legitimasi formalistik-legalistik kepemimpinan PWI belaka. Namun diharapkan benar-benar menjadi wadah untuk mengembalikan dan menegakkan marwah organisasi pers perjuangan tertua dan terbesar di Indonesia tersebut.

Kongres Persatuan PWI

Sesuai ketentuan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD & PRT) hasil Kongres Bandung 2023, Kongres PWI merupakan pemegang kekuasaan dan wewenang tertinggi organisasi (Pasal 12 ayat (1) PD) yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun untuk melakukan 3 (tiga) tugas pokok utama, yaitu:

  1. Menetapkan PD & PRT, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Perilaku Wartawan (Pasal 13 PD);
  2. Memilih dan menetapkan Ketum PWI Pusat, Ketua Dewan Kehormatan, Tim Formatur diketuai Ketum Terpilih, Tim Formatur menetapkan pengurus lengkap, dan Pokok-pokok program kerja lima tahun ke depan (Pasal 14 ayat (1) PD);
  3. Mendengar dan menilai Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Pusat (Pasal 15 ayat (1) PD).

Organisasi juga dapat menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam keadaan tertentu yang syarat dan ketentuannya diatur dalam PD & PRT (Pasal 14 ayat (2) PD)

Mempelajari ketentuan di atas maka tentu saja Kongres Persatuan yang akan dilaksanakan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan kritis preventif, di antaranya:

1.Apakah Kongres Persatuan memenuhi ketentuan PD & PRT mengingat PD & PRT hanya mengatur tentang Kongres dan KLB? Tidak ada nomenklatur tentang Kongres Persatuan sama sekali.

2. Apakah Kongres Persatuan memiliki otoritas selayaknya Kongres atau selayaknya KLB? Hal ini karena keduanya memiliki cakupan otoritas yang berbeda.

3. Apakah Kongres Persatuan akan melaksanakan seluruh kewenangan dan fungsi yang ditentukan Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 15 PD?.

4. Apakah Kongres Persatuan akan melanjutkan atau mempersingkat periodesasi produk Kongres XXVq Bandung, 2023?

5. Jika produk Kongres Persatuan tidak melanjutkan namun melahirkan periodesasi tersendiri, apakah seluruh ketentuan yang ditanyakan pada pertanyaan angka 3 (tiga) di atas dijalankan semua saat pelaksanaan Kongres Persatuan

6. Jika ketentuan sebagaimana pertanyaan nomor 3 (tiga) di atas tidak dilaksanakan seluruhnya, namun periodesasi kepengurusan produk Kongres Persatuan adalah periode baru, lantas apa yang menjadi pokok-pokok program kerja PWI Pusat 5 (lima) tahun ke depan sesuai ketentuan Pasal 13 Ayat (2) huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf e PD?

7. Jika produk Kongres Persatuan adalah periode kepengurusan baru, pertanyaan lainnya adalah apakah produk Kongres Bandung tahun 2023 yang menetapkan Hendry Ch Bangun sebagai Ketum dan Sasongko Tedjo sebagai Ketua DK dianggap sudah 1 (satu) periode kepengurusan dengan segala implikasi hukum dan moralnya?

Kesadaran akan hal ini sangat diperlukan terutama oleh SC Kongres Persatuan yang memiliki tugas dan tanggung jawab besar dan berat untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan hukum di atas dapat diatasi dan diantisipasi dengan sebaik-baiknya demi legitimasi hukum dan stabilitas perjalanan pengurus PWI ke depan.

Kegagalan SC menjawab dan menempatkan secara tepat semua pertanyaan hukum tersebut akan menggoyahkan legitimasi hukum kepengurusan PWI Pusat produk Kongres Persatuan dalam melaksanakan program kerja, termasuk program peningkatan kompetensi wartawan anggota PWI.

Kurang kokohnya legitimasi hukum produk Kongres Persatuan juga akan berdampak sangat signifikan terhadap hubungan kerjasama dengan pihak eksternal, baik pemerintah, swasta, maupun elemen masyarakat sipil, bahkan terhadap relasi internasional.

Selanjutnya, ada baiknya direnungkan bagaimana Ketum dan Sekjen PWI yang pernah menjabat mengelola PWI, khususnya Ketum pada masa reformasi, sebagai referensi dalam rangka menyongsong pelaksanaan Kongres Persatuan Agustus 2025 mendatang.

Ketum dan Sekjen PWI Era Reformasi

Semenjak era reformasi, PWI Pusat memiliki empat Ketum produk Kongres yaitu Tarman Azzam, Margiono, Atal S. Depari, dan Hendry Ch Bangun, serta satu Ketum yang mengklaim produk KLB yaitu Zulmansyah Sekedang.

Pertama, Drs. H. Tarman Azzam, M.Sc.

Tarman Azzam terpilih menjadi Ketum PWI Pusat pada Kongres PWI XX di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1998, beberapa saat setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie.

Periode kepengurusan 1998-2003 punya tantangan yang sangat serius dan kompleks. Jika tidak ditangani dengan baik berpotensi berakibat fatal bagi organisasi PWI. Bisa-bisa organisasi PWI akan tinggal nama dalam sejarah pers Indonesia. Tergulung oleh semangat reformasi yang sedang menggelora di semua sektor.

Saat itu, organisasi pers bermunculan bak cendawan tumbuh di musim hujan. PWI yang sebelumnya merupakan organisasi tunggal profesi wartawan mendapat kritik dan sorotan sangat tajam dan kritis.

Namun sejarah membuktikan, kepemimpinan Tarman Azzam tidak saja berhasil menjaga eksistensi organisasi PWI, namun lebih dari itu ia berhasil mempertahankan PWI sebagai organisasi pers terkuat dan terbesar di Indonesia.

Tarman Azzam berhasil membuktikan kemampuan kualitas kepemimpinannya sebagai nahkoda unggul yang mampu mensinergikan semua elemen di PWI untuk bergandengan tangan mewujudkan amanah Kongres PWI XX Semarang.

Keberhasilan tersebut sangat diapresiasi oleh Pengurus PWI Provinsi seluruh Indonesia dengan menerima  LPJ-nya secara aklamasi dalam Kongres PWI XXI di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tahun 2003.

Tidak sampai di situ, Tarman Azzam dipercaya dan terpilih kembali sebagai  Ketum PWI Pusat periode 2003-2008, secara aklamasi, disambut sorak sorai peserta Kongres.

Saya saat itu termasuk salah seorang saksi mata di lokasi menyaksikan bagaimana apresiasi diberikan oleh PWI Provinsi seluruh Indonesia kepada Ketumnya yang bernama Tarman Azzam.

Tarman Azzam saat menerima amanah sebagai Ketum PWI Pusat tahun 1998 baru berusia 50 tahun, masih memegang posisi sebagai Pemimpin Redaksi aktif Harian Terbit, Pos Kota Group. Memulai aktifitas di PWI sebagai Anggota Muda, Anggota Biasa, sampai puncaknya sebagai Ketum PWI.

Memang, lima puluh adalah umur saat dimana energi masih sangat kuat dan berbanding lurus dengan semangat untuk memajukan PWI, khususnya dan dunia pers pada umumnya. Performa kekuatan fisik dan psikis sedang berada pada masa puncak-puncaknya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) yang dipilih mendampinginya adalah Bambang Sadono yang bahkan baru berusia 41 tahun, namun jangan ditanya tantang kematangan dalam karir kewartawanannya. Saat terpilih sebagai Sekjen PWI Pusat, Bambang Sadono adalah Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, koran terbesar di Jawa Tengah yang berkarir dari bawah.

Setelah menyelesaikan 2 (dua) periode sebagai Ketum PWI, Kongres PWI XXII di Banda Aceh tahun 2008 mengamanahkan Tarman Azzam mengemban jabatan Ketua DK. Sementara hasil Kongres PWI XXIII di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 2013 Tarman dipercaya sebagai Ketua Dewan Penasehat.

Tarman Azzam wafat saat sedang menjalankan tugas organisasi sebagai Ketua Dewan Penasehat PWI ke Ambon, Maluku, tanggal 9 September 2016, saat beliau berusia 68 (enam puluh delapan) tahun dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi PWI. Namanya akan dicatat dengan nama harum sepanjang sejarah PWI dan pers Indonesia.

Kedua, H. Margiono

Hampir semua elemen PWI mengakui kepiawaian seorang Margiono, baik sebagai seorang wartawan maupun sebagai pemilik/pengusaha media.

Margiono memulai karir kewartawanan dari bawah, menapak setapak demi setapak sampai pada posisi Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Memulai membangun bisnis media dari tidak dikenal orang nama medianya sampai Rakyat Merdeka menjadi salah satu koran politik berwibawa di antara koran-koran yang ada, akibat sentuhan tangan dingin seorang Margiono.

Kongres PWI XXII di Banda Aceh tahun 2008 mempercayakan posisi Ketum kepada salah seorang pimpinan teras PWI Pusat dibawah Tarman Azzam tersebut untuk memimpin periode 2008-2013.

Berbeda dengan Tarman Azzam, seorang Margiono selama menjabat Ketum tidak saja menjalankan profesinya sebagai wartawan namun juga pada saat bersamaan memimpin perusahaan media. Sehingga sering dijadikan referensi tentang bagaiman kepemimpinan PWI yang sangat kuat secara profesi dan finansial.

Program-program peningkatan kapasitas dan kompetensi wartawan menjadi fokus utama PWI di bawah kepemimpinan Margiono.

Apakah Margiono berhasil atau tidak sebagai Ketum PWI? Semua orang sepakat mengatakan berhasil. Buktinya Margiono kembali dipercaya kembali sebagai Ketum dalam Kongres PWI XXIII di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk periode 2013-2018.

Mengulang kesuksesan pendahulunya, Tarman Azzam, seorang Margiono juga terpilih secara aklamasi untuk periode ke duanya.

Tidak itu saja kesamaan Tarman Azzam dengan Margiono. Saat terpilih sebagai Ketum PWI Pusat tahun 2008, Margiono juga seusia dengan Tarman Azzam saat terpilih sebagai Ketum tahun 1998, yaitu usia 50 (lima puluh) tahun. Sehingga keduanya sama-sama mengakhiri masa jabatan sebagai Ketum PWI saat usianya belum genap 60 (enam puluh) tahun.

Margiono juga berhasil mencatatkan diri sebagai Ketum PWI pertama yang dipercaya memimpin Dewan Pers pada saat masih menjabat Ketum PWI, yaitu sebagai Wakil Ketua Dewan Pers.

Sekjen yang dipilih H. Margiono untuk mendampinginya adalah Hendry Ch Bangun yang juga sedang berada pada usia sangat produktif, 50 tahun, dari Kompas Group.

Margiono tidak saja hebat, cerdas, punya leadership mumpuni, jejaring luas, namun juga rendah hati. Beliau tidak ngotot menjadi Ketua DK selepas menjadi Ketum dua periode. Beliau mepersilahkan dan mendorong H. Ilham Bintang meneruskan posisi sebagai Ketua DK periode kedua. Sementara beliau cukup sebagai Ketua Dewan Pernasehat.

Margiono meninggal 1 Februari 2022 saat menjabat Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat, pada usia menjelang 63 tahun, dengan meninggalkan legasi yang luar biasa bagi PWI dan nama harum yang akan dicatat selamanya dalam buku-buku sejarah PWI dan pers Indonesia dengan tinta emas.

Ketiga, Atal S. Depari

Atal S. Depari terpilih sebagai Ketum PWI dalam Kongres PWI XXIV di Solo tahun 2018 setelah mengungguli Hendry Ch Bangun dalam perolehan suara. Saat terpilih sebagai Ketum, Atal S. Depari berusia 64 tahun.

Sekretaris Jenderal yang mendampingi Atal S. Depari adalah Mirza Zulhadi. Saat itu Mirza berusia 60 tahun.

Atal S. Depari nampaknya lebih banyak memposisikan dirinya sebagai penerus H. Margiono.

Pada periode Atal S. Depari terjadi satu dinamika kepengurusan antara Umum dengan Dewan Kehormatan dibawah Ketua DK H. Ilham Bintang yang cukup mendapat perhatian publik.

DK mengeluarkan surat pemberhentian terhadap 2 (dua) orang pada waktu berbeda yaitu Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat dan Ketua Pengurus Provinsi PWI Sumatera Barat. DK menilai keduanya telah melanggar PD&PRT PWI dan telah memenuhi syarat diberikan sanksi pemberhentian.

Atal S. Depari selaku Ketum tidak sependapat dengan keputusan DK tersebut dan menggunakan hak konstitusionalnya sebagai Ketum untuk tidak mengeksekusi Keputusan DK a quo sampai akhir masa jabatannya sebagai Ketum, tahun 2023.

Walaupun DK sempat menerbitkan Surat Peringatan kepada Atal S. Depari untuk melaksanakan keputusan DK, namun Atal S. Depati tetap tak bergeming pada keputusannya untuk tidak melaksanakan keputusan DK tersebut.

Entah karena faktor dinamika kepengurusan yang sangat dinamis ini atau bukan, Dahlan Iskan melalui tulisannya di DI’s Way pernah mengatakan H. Ilham Bintang berubah haluan pada Kongres PWI XXV di Bandung, Jawa Barat tahun 2023 mendukung Hendry Ch Bangun sebagai Ketum dari sebelumnya mendukung Atal S. Depari saat Kongres PWI XXIV di Solo, tahun 2018.

Entah seberapa besar pengaruh dinamika kepengurusan tersebut, faktanya tidak saja Atal S. Depari gagal mengikuti jejak 2 (dua) Ketum era resformasi pendahulunya yang terpilih aklamasi untuk periode kedua, Atal S. Depari justru kalah dalam pemilihan Ketum PWI periode 2023-2028 dari rivalnya pada Kongres PWI XXIV yang lalu, yaitu Hendry Ch Bangun yang didukung H. Ilham Bintang.

Atal S. Depari juga tidak masuk dalam struktur kepengurusan PWI hasil Kongres XXV Bandung, baik sebagai Ketua DK, Ketua Dewan Penasehat, maupun posisi lainnya.

Keempat, Hendry Ch Bangun

Pada Kongres XXV PWI di Bandung, Jawa Barat, tahun 2023, untuk kedua kalinya Hendry Ch Bangun maju sebagai Calon Ketum PWI Pusat. Dan untuk kedua kalinya juga bersaing dengan Atal S. Depari yang saat itu berstatus patahana.

Sejak persaingan BM Diah dengan Rosihan Anwar di awal tahun 70-an untuk posisi Ketum, baru kali inilah kembali terjadi persaingan perebutan posisi Ketum PWI dua kali berturut-turut oleh dua orang yang sama-sama memiliki darah dari daerah yang sama.

Jika Rosihan Anwar dan BM Diah sama-sama keturunan dan berdarah Minang, maka Atal S. Depari dan Hendry Ch Bangun sama-sama berdarah dan keturunan Batak Karo.

Jika pada persaingan dalam Kongres PWI XXIV tahun 2018 dimenangkan Atal S. Depari, maka dalam Kongres PWI XXV tahun 2023 gantian Hendry Ch Bangun yang menang.

Terkait dinamika kepengurusan, hasil Kongres PWI XXV Bandung jauh lebih dinamis dibanding periode sebelumnya. Dinamika tersebut bahkan menyerempet Pengurus Provinsi PWI dan Pengurus Kabupaten/Kota PWI, serta melibatkan pihak institusi luar PWI, salah satunya Dewan Pers.

Terlepas dari keabsahan secara hukum, pihak yang mengatasnamakan Dewan Kehormatan dibawah Ketua Sasongko Tedjo memberhentikan Ketum Hendry Ch Bangun dari keanggotaan PWI dan menunjuk Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Zulmansyah Sekedang sebagai Plt Ketum menggantikan Hendry Ch Bangun.

Puncaknya ketika Sasongko Tedjo dan Zulmansyah Sekedang beserta pengurus PWI Pusat dan Pengurus Provinsi yang sepemahaman melakukan apa yang mereka sebut sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) pada pertengan Agustus 2024, belum genap setahun kepemimpinan Hendry Ch Bangun sebagai Ketum periode 2023-2028.

Tentu saja Hendry Ch Bangun dan jajaran Pengurus Pusat dan Pengurus Provinsi yang sepemahaman dengannya tidak mengakui KLB tersebut dan seluruh produknya.

Kementerian Hukum dan HAM saat itu juga tidak bersedia menerbitkan SK AHU perubahan kepengurusan PWI Pusat sesuai hasil KLB, dan sikap Kementerian terkait berlanjut sampai saat tulisan ini dibuat.

Mulailah secara de fakto ada 2 (dua) kepengurusan PWI Pusat walaupun secara de jure terbuka peluang untuk diperdebatkan.

Sesuai keyakinan dan tafsir masing-masing terhadap PD&PRT, kedua belah pihak mulai mengambil tindakan administrtif terhadap kepengurusan dan anggota yang berseberangan. Beberapa Pengurus Provinsi yang berseberangan dibekukan oleh kedua belah pihak dan ditunjuk Pelaksana Tugas (Plt) dari kelompoknya, dilanjutkan dengan saling pencabutan Kartu Tanda Anggota (KTA) beberapa anggota yang berseberangan.

Tidak sampai disitu, dinamika juga merembet sampai ke ranah hukum. Saling melaporkan ke aparat penegak hukum (Polisi) atas dugaan tindak pidana. Saling menggugat ke Pengadilan Negeri atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum.

Saat terpilih sebagai Ketum tahun 2023, Hendry Ch Bangun berusia 65 tahun. Hendry Ch Bangun menunjuk Sayid Iskandarsyah sebagai Sekjen yang saat itu berusia 54 tahun.

Namun setahun kemudian, tahun 2024, Sayid Iskandar digantikan oleh Iqbal Irsyad yang berumur 52 tahun sebagai Sekjen. Sayid Iskandarsyah mengundurkan diri setelah adanya dinamika yang teramat sangat dinamis antara Ketua Umum dan Sekjen disatu sisi dan Dewan Kehormatan disisi lain sebagaimana dijelaskan diatas.

Pergantian posisi Sekjen ke Iqbal Irsyad dilakukan setelah tercapainya kesepakatan ‘perdamaian’ antara Ketum dengan Dewan Kehormatan melalui Pleno Diperluas terkait apa yang disebut dinamika Forum Humas. Dan saya masuk PWI Pusat juga bersamaan dengan Iqbal Irsyad menjabat Sekjen PWI Pusat pasca Pleno Diperluas akhir Juni 2024 tersebut.

Namun dinamika baru muncul setelah Ketum melakukan reshuffle pengurus. Apakah dinamika baru ini muncul karena katidak-puasan terhadap hasil reshuffle atau karena alasan lain, belum ada kesimpulan final yang disepakati kedua belah pihak.

Puncaknya, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, adalah terselenggaranya KLB versi Zulmansyah Sekedang, Agustus 2024 di Jakarta.

Setelah Hendry Ch Bangun memenangkan kontestasi pemilihan Ketum pada Kongres PWI tahun 2023 di Bandung, Atal S. Depari sebagai mantan Ketum tidak masuk dalam struktur PWI Pusat periode 2023-2028. Dan sepanjang dinamika kepengurusan pasca KLB Jakarta 2024, Atal S. Depari terlihat berada di barisan KLB Jakarta.

Dinamika inilah yang berujung pada apa yang kemudian dikenal sebagai Kongres Persatuan yang disepakati Hendry Ch Bangun dengan Zulmansyah Sekedang yang rencananya akan digelar Agustus 2025 mendatang.

Kelima, Zulmansyah Sekedang

Zulmansyah Sekedang menyatakan diri sebagai Ketum hasil KLB 2024 walau tidak atau belum mendapat pengakuan dari negara karena tidak terbitnya SK AHU yang melegitimasinya.

Akta Notaris yang memuat hasil KLB dilaporkan oleh Hendry Ch Bangun ke Bareskrim Polri atas dugaan pemalsuan surat dan pemberitan keterangan palsu. Sampai saat tulisan ini dibuat dan sepanjang informasi yang saya terima, lapora Hendry Ch Bangun tersebut masih pada tahap penyelidikan, belum naik ke tahap penyidikan.

Zulmasyah Sekedang berusia 52 tahun saat menjabat Ketum PWI versi KLB 2024. Zulmansyah menunjuk Wina Armada Sukardi sebagai Sekjen yaitu mantan Sekjen PWI Pusat zaman Tarman Azzam periode kedua. Saat ditunjuk sebagai Sekjen, Wina Armada Sukardi berusia 65 tahun.

Kandidat Potensial

Pertanyaan wajar yang muncul pada pemikiran siapapun pasca adanya kesepakatan Kongres Persatuan adalah siapa Ketum PWI potensial dalam Kongres Persatuan PWI Agustus 2025 mendatang?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Jawabannya akan sangat tergantung bagaimana SC mendesign Kongres Persatuan dan bagaimana sudut pandang 39 Pengurus Provinsi pemilik suara.

Bisa saja Kongres Persatuan menjadi ajang pertempuran ketiga antara Atal S. Depari yang kebetulan berdiri di pihak KLB dengan Hendry Ch Bangun untuk ketiga kalinya, setelah pertempuran mereka tahun 2018 dan tahun 2023 pada Kongres PWI XXIV dan XXV.

Bisa juga muncul calon lain yang disepakati oleh kedua belah pihak karena dipandang mampu menjadi jembatan untuk mengakomodir kedua belah pihak sehingga Kongres Persatuan tinggal mengesahkannya saja.

Bisa juga muncul calon lain yang dipandang mampu menjalin sinergi dan hubungan dengan pihak luar yang sudah terlanjur masuk dalam pusaran dinamika PWI, khususnya pemerintah.

Atau bisa juga mucul calon kompromi yang bisa menjadi jembatan untuk menyelesaikan seluruh dinamika yang muncul. Calon itu juga diterima kedua belah pihak. Calon itu juga punya potensi mensinergikan PWI dengan pihak-pihak luar PWI, termasuk pemerintah. Dan calon itu juga berpotensi meredam dan menyelesiakan semua konflik yang ada sampai ke akar-akarnta, baik hukum maupun non-hukum, baik internal maulun dengan eksternal. Dan calon itu juga memiliki relasi dan jejaring yang luas. Dan yang jauh lebih penting, calon itu adalah wartawan yang diakui kewartawanannya.

Penutup

Apakah Kongres Persatuan nanti akan menjadi ajang rivalitas untuk ke tiga kalinya antara Atal S Depari dan Hendry Ch Bangun setelah keduanya ssbagai kandidat utama di Kongres 2018 yang dimenangkan Atal dan Kongres 2023 yang dimenangkan Hendry?

Atau akan menjadi warisan Atal dan Hendry dimana keduanya menjadikan Kongres Persatuan 2025 ini sebagai tempat kontestasi dan lahirnya pemimpin baru yang akan memimpin PWI kedepan menjawab semua tantangan yang ada?

Atau Kongres Persatuan akan diingat sebagai Kongres yang menyatukan PWI melalui kepemimpinan hasil rekonsikiasi yang disahkan Kongres karena Ketum dipilih secara aklamasi setelah tercapainya konsensus bersama semua pihak?

Kita tunggu saja, sambil kita membantu berikhtiar mencarikan solusi terbaik, setidaknya membantu dengan berdo’a kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar memberikan yang terbaik kepada PWI, tempat berhimpunnya 66% lebih dari sekitar 30.000,- wartawan kompeten di seluruh Indonesia, sebagai penggetak utama pilar ke empat demokrasi, aamiin.

Sebagai kalimat penutup tulisan ini, ijinkan saya mengajak seluruh insan wartawan Pengurus PWI pada semua tingkatan dan anggota PWI seluruh Indonesia untuk berpikir jernih dan bergandengan tangan untuk memastikan bahwa Kongres Persatuan ini tidak hanya sebagai sarana menyatukan struktur dan legalitas hukum PWI tetapi juga sekaligus sebagai sarana menyatukan rasa kebersamaaan. Dan pada waktu bersamaan sekaligus merestorasi legitimasi moral dan etika organisasi yang sangat kita cintai ini.

Jayalah selalu PWI, organisasi perjuangan wartawan Indonesia demi Indonesia sejahtera dan maju.

Merdeka!!!

Terima kasih

 

Berikan Pendapat