MAA Disarankan Inisiasi Qanun Pidana Adat sesuai KUHP Nasional 2026

Taqwaddin Husin

PORTALNUSA.com | BIREUEN – Akademisi Hukum USK, Dr Taqwaddin, SH, SE, MS yang tampil sebagai pemateri pada Rakor dan Evaluasi Peradilan Adat Gampong di Kabupaten Bireun, Selasa 16 September 2025 menyarankan agar Majelis Adat Aceh (MAA) menginisiasi Qanun Pidana Adat sesuai KUHP Nasional.

Taqwaddin yang juga mantan Kepala Ombudsman Aceh dan sekarang aktif sebagai Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh tampil membahas topik Peradilan Adat Gampong versi KUHP Nasional.

Dia menjelaskan, dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Nasional baru yang akan diberlakukan mulai 2 Januari 2026 telah diakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

“Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat, termasuk Hukum Pidana Adat,” katanya.

Taqwaddin juga menjelaskan, selama ini digunakan KUHP lama produk kolonial dengan semangat masa lalu, dimana hukuman pidana dipahami sebagai proses penjeraan dan balas dendam. Dalam KUHP lama tidak diakui keberadaan hukum adat.

Sedangkan dalam KUHP 2026, semangat penyelesaian perkara pidana sesuai dengan paradigma Restorative Justice yaitu perdamaian untuk pemulihan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat.

Jika dicermati Pasal 2, Pasal 12, Pasal 66, dan Pasal 597 KUHP Nasional, lanjut Taqwaddin jelas tersurat dalam ketentuan-ketentuan tersebut bahwa KUHP Nasional 2026 ini mengakui hukum pidana adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Karenannya untuk memudahkan implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat terkait pidana adat, Taqwaddin menyarankan MAA agar mengambil inisiatif mengusulkan kepada DPRA atau melalui Pemerintah Aceh untuk melahirkan Qanun Aceh tentang Pidana Adat.

“Menurut saya, langkah ini penting dimulai dari sekarang agar saat implementasi KUHP Nasional 2026 materi Pidana Adat Gampong diatur dalam qanun sehingga memudahkan proses penegakan hukum,” katanya.

Misalnya, larangan melaut bagi nelayan pada hari Jumat, yang selama ini dilarang tapi belum diatur secara tertulis apa dan bagaimana sanksinya jika larangan adat ini dilanggar.

Selain itu, Taqwaddin juga menyarankan kepada MAA untuk melakukan pelatihan Peradilan Adat Gampong  kepada semua Imum Mukim, Imum Seumeujid, Sekretaris Mukim, para Keuchik, Tuha Peut, Imum Meunasah, Sekretaris Gampong, dan lain-lain.

“Menurut saya hal ini  penting dilakukan lagi setelah sekian lama terhenti akibat syeh syoh di MAA. Akibatnya, banyak para pimpinan mukim dan gampong sekarang tidak lagi paham tentang Adat Gampong,” ujar Taqwaddin.

Rakor dan Evaluasi Peradilan Adat Gampong di Kabupaten Bireun dibuka oleh Wakil Ketua MAA, Drs Syaiba Ibrahim.

Dalam sambutan tertulis mewakili Ketua MAA, Prof Yusri Yusuf yang sedang umrah,  mengharapkan agar rakor dan evaluasi ini dapat menghasilkan rekomendasi guna memperkuat dan mengoptimalkan Peradilan Adat Gampong.

Rakor diikuti 40 peserta yang terdiri pimpinan MAA Kabupaten Bireun, para Imum Mukim, Keuchik dan tokoh-tokoh perempuan.

Kegiatan berlangsung di Aula SKB Dinas Pendidikan dibahani oleh tiga narasumber: Dr Taqwaddin, SH, SE, MS, AKBP Ruslan Syafei, MSi dari Ditbinmas Polda Aceh, dan Saidan Nafi, SH, MH, mantan birokrat yang telah menduduki banyak jabatan di pemerintahan. []

Berikan Pendapat