Paham Gerung

TERIMA kasih Gerung. Kata “tolol” yang kau narasikan kini banyak diadopsi para tokoh publik, intelektual kota dan kampung serta akademisi. Tentu konteksnya beda.

Tergantung…



Gerung pun diburu banyak orang. Anda lebih tahu dari saya siapa pemburunya.

Begitu pentingnya seorang Gerung. Dan tak begitu pentingnya para pemburu.

Saya kagum. Hanya seorang Rocky Gerung. Diburu berhari-hari. Mungkin berpekan-pekan. Entahlah…

Di tengah perburuan tukang tenung itu muncul nama-nama beken di seputarnya. Terlibat dalam dikusi kata “tolol” dan “bajingan.”

Ada  nama Din Syamsuddin, Fahri Hamzah hingga Eggy Sujana. Bahkan Muldoko yang lingkar satu kepresidenan juga terseret dengan konteks kata itu.

Konteksnya beda-beda. Beda konstektual yang jadi maknanya karena kesan dari suatu situasi.

Namun begitu, sambungan kata “bajingan” yang melekat dengan kosakata “tolol” itu masih takut-takut untuk dioralkan.

Dalam linguistik, oral atau lisan berarti segala sesuatu yang bersangkutan dengan bunyi bahasa atau wicara yang seluruhnya dihasilkan dengan udara melewati mulut.

Saya tahu kenapa mereka takut-takut.

Ada jaring pengaman yang bisa membuat mereka blass….

Jaring pengaman ini Anda tentu maklum. Bukan pengaman sosial yang bisa menopang asap dapur.

Saya gak kenal secara fisik dengan Rocky Gerung. Tapi mengenal cara ngomong dan isian ngomongannya. Lewat banyak media. Bisa youtube, televisi dan lainnya.

Datar dengan nada cuek. Bisa nyelekit. Tapi terjaga agar gak “outside.”

Dari profil dan bahasa yang menyatu dengan gerak tubuhnya sebagai pengungkapan pikiran atau perasaan saya menangkap banyak makna yang berada di sana.

Bukankah komunikasi antarmanusia bisa dibaca lewat gerakan anggota tubuh? Bukankah ini yang dinamakan komunikasi antarbudaya?

Bahasa tubuh ini kerennya disebut “body language.”  Sesorang yang menyampaikan atau menegaskan pesan melalui isyarat hingga gerakan dari bagian tubuh.

Bahasa tubuh ini mewakili ekspresi wajah, tatapan mata, sentuhan, diam, suara, postur, hingga gerakan tangan dan kepala. Semua ini menjadi milik Gerung.

Seperti juga ketika ia menyebut kata bajingan terus bersambung dengan kata tolol. Saya paham dengan kata tolol, Kata yang sudah selesai ketika diucapkan.

Beda dengan kata bajingan. Yang harus saya pahami lewat akar katanya. Yang berbeda makna dengan kata bajingan.

Bajingan bukan turunan dari kata bajing. Bajing nama hewan dan bajingan nama profesi.

Jika sekarang diperbincangkan bajingan yang tolol, itu adalah salah kaprah. Kesalahkaprahan yang tidak hanya milik Gerung. Kita pun punya kegemaran memaki dengan menyebutkan nama-nama hewan.

Ungkapan “bajingan tolol” sudah berhari-hari diperbincangkan.

Bukan saja di berbagai media baik itu televisi mau pun media sosial, juga digaungkan lewat aksi unjuk rasa di berbagai kota. Ungkapan dengan nada negatif ini juga sudah masuk ke lingkungan istana.

Adalah Rocky Gerung, pengamat politik yang kritis menyuarakan berbagai ketimpangan di negeri ini, melahirkan kata “bajingan tolol” itu.

Pagi tadi saya teleponan dengan seorang teman. Teman lama. Peneliti. Dulunya sewaktu masih peneliti junior saya yang mboncengnya untuk tugas penelitian. Tapi sekarang terbalik. Justru saya yang harus bonceng hasil penelitiannya.

Sebagai peneliti ia sudah senior. Terkenal. Punya “podcast” dan minta saya untuk “subcribe. ” Bagikan…biasalah …promo.

Di lain waktu saya  pernah diminta datang untuk sebuah tegur sapa di-podcast-nya. Tapi saya gak mau. Bukan peneliti. Apalagi akademisi. Takut ngawur. Kan seorang jurnalis. Jurnalis kan sering ngawur.

Di ujung teleponan kami pagi tadi ia menyenggol Gerung. Ia memberi cap jempol untuk intelektualitas yang dosen itu.

Katanya banyak orang gak paham  fenomena Gerung. Ia  sangat kental dalam suasana kehidupan politik Maka banyak cuitan-cuitannya terdistorsi. Jadi nyinyiran. Murahan.

“Semurah-murahnya nyinyiran Gerung sangat menarik untuk disimak.”

Gerung, sebenarnya, ingin membangun kehangatan berbangsa. Rezim ini yang tak mau membangun kehangatan itu. Lantas semua orang dibuat jadi dungu. Negeri jadi robek. Robek oleh kekuasaan yang dungu.

Stigma ini menjadi akut. Seolah  pemerintah memecah persatuan, perobek tenun kebangsaan. Tak ada dialog. Yang ada caci maki dan tunjuk menunjuk.

“Bagi saya,” kata si teman, ”besok maunya ada reuni akal sehat.”

Tentang Roocky sendiri ia mengatakan, ingin mengembalikan kita ke akal sehat itu.

Gerung membuktikan bisa dengan leluasa berceramah di masjid, lengkap dengan sambutan teriakan takbir yang menggema, sekali pun dia adalah seorang “kafir”.

Ini membuat saya jadi kalah telak. Jelas-jelas muslim tapi tak mampu berceramah di masjid. Apalagi mendapat sambutan tepuk tangan dan teriakan takbir.

Khusus untuk kata yang menggunakan terma “tolol”, terlihat jelas ada arogansi si dosen yang melihat orang lain jauh lebih bodoh dari dirinya. Bahkan beberapa cuitan sebelumnya sudah sangat jelas diarahkan ke siapa.

Nama Gerung seakan sudah melekat pada hal-hal tentang silogisme yang kadang banyak orang belum siap untuk menyikapinya.

Satir-satirnya akan terasa pahit bagi yang tidak satu barisan. Bahkan bisa memutarbalikkan fakta masa lampau menjadi framming “kebenaran” di masa kini.

Bagi makhluk medsos tampaknya sudah tidak asing lagi dengan sebutan cebong dan kampret. Dikotomi yang tercipta sejak sembilan tahun lalu yang eksistensinya masih “terawat baik”. dalam kehidupan sosial kita sampai sekarang.

Dulu, kaum cebong dikenal punya nuansa pembawaan yang santai dan humoris setiap mengcounter isu serangan. Sebaliknya, kaum kampret punya nuansa ngamukan dalam mengcounter serangan yang datang.

Di era itu pula muncul idiom baru yang dilekatkan ke sifat-sifat ngamukan seperti itu sebagai kaum sumbu pendek. Meski, sebutan yang satu ini tidak sepenuhnya buat kaum kampret.

Ketika era berganti cebong yang dulunya santai dan humoris banyak yang murtad menjadi kaum yang baperan dan sama-sama ngamukan.

Banyak yang kehilangan akal sehatnya. Di sisi lain, kaum kampret banyak yang punya argumen-argumen bernas saat mengkritisi kebijakan  yang diangkat sebagai isu serangan.

Sebagai orang cerdik, Gerung membidik sisi ini sebagai gimmick marketingnya.

Sebutan-sebutan fenomenal seperti intelektual sekolam, boneka, dan dungu berhasil beliau ciptakan. Tak pelak lagi hal itu dialamatkan buat kaum cebong.

Sementara untuk kaum sebelah selalu membawa narasi-narasi heroik sebagai “perawat akal sehat”.

Berkat kecerdikan Rocky Gerung-lah, semua berhasil diputarbalikkan tanpa ampun.

Terlepas permainan kata, banyak narasinya yang memiliki nilai perenungan yang sangat dalam.

Banyak kritikan yang tampak dari luar seperti ditujukan buat sebuah kaum, tapi pada hakikatnya kritikan itu sangat universal.

Hanya kita saja yang suka ge-er-an dan baperan dalam menyikapinya.

Perhatikan celetukan-celetukan beliau ini yang berlaku bagi siapa pun…

Kalian terlalu dungu untuk memahami satire. Faktanya kedunguan itu memang tidak hanya milik satu kaum saja, bahkan banyak para wakil rakyat yang sepertinya berlaku seperti ini.

Kebebasan itu melampaui netralitas. Faktanya netral itu bukan berarti tidak mempunyai pendapat atau bahkan terpenjara oleh kenetralitasan itu sendiri.

Sopan santun itu tata krama, bukan cara berpikir. Faktanya banyak orang terbelenggu kebebasan berpikirnya karena khawatir disebut tidak punya adab, takut berpikir keluar dari kotak kelaziman.

Analisis artinya menguraikan dengan akal. Bila data tak cukup gunakan saja logika. Faktanya banyak berita hoax yang sudah dijelaskan dengan logika masih tetap diimani sebagai sebuah kebenaran.

Skeptis adalah hakekat akal. Supaya Anda tak jadi pemuja. Skeptis itu bukan tak percaya pada fakta. Melainkan tak percaya bahwa benar atau salah itu faktual.

Faktanya skeptis adalah filter pertama dalam memerangi berita hoax, dari siapa pun sumber berita itu berasal.

Memulai dengan asumsi, berarti tak boleh mengambil konklusi. Apalagi ngamuk. Faktanya di zaman medsos seperti sekarang telah banyak melahirkan pakar-pakar di setiap bidang dengan asumsi-asumsinya yang super canggih.

Bagi saya politik kita sekarang sudah sangat memuakkan. Parlemen kinerjanya sangat buruk. Ironisnya lagi  hampir sembilan puluh persen calon legeslitaif  yang maju sekarang adalah caleg-caleg lama.

Berkuasalah bila memang ingin.Tapi jangan pongah. Dalam konteks kekuasaan kepongahan itu akan hinggap di kubu mana saja. Mereka sudah terpinggirkan dari akal sehat.

Tentang kata “tolol” plus “bajingan” itu   ia sampaikan pertama kali ketika memberikan orasi di hadapan kaum buruh.

Saya tak ngerti dan tak tahu apa dan siapa  yang dimaksudkan sebagai “bajingan tolol” itu.

Literasi yang saya cari gak menemukannya secara utuh. Bahkan postingan di youtube makin bikin bingung.

Meski tak disebutkan secara jelas seorang nama, orang sudah mengaitkan ke satu jabatan. Sang pejabat sendiri sudah menanggapi dengan santai dan singkat: “Itu urusan kecil, saya fokus kerja saja.”

Namun, urusan kecil ini menjadi besar ketika muncul gerakan mempolisikan Gerung. Kini, bukan saja polisi yang sibuk, juga orang di lingkarnya atau selingkar-lingkarnya.

Namun, karena saya bukan politikus apalagi menjadi pengamat politik – padahal ini ladang bisnis menjelang pemilu – ungkapan “bajingan tolol” tidak saya bahas secara politis.

Saya menyorotinya dari sisi kata-kata atau mungkin bisa disebut dari sudut budaya dalam arti yang luas.

Kesimpulan saya adalah “bajingan tolol” itu tidak ada, jauh panggang dari api. Ini salah kaprah.

Kalau bajingan jelas jauh dari tolol, lalu yang tolol itu siapa? Mungkin yang tolol itu adalah bajing atau seekor hewan yang lebih dikenal dengan nama tupai.

Jadi bukan bajingan sebagai sebuah profesi, tetapi bajing sebagai nama binatang. Tupai itu secara umum sebenarnya cerdas, setidaknya cekatan dalam hal melompat-lompat.

Dulu saya sering berburu tupai karena binatang ini musuh para petani kelapa. Tupai atau bajing yang pintar melompat itu juga disimbolkan sebagai orang yang harus dilaknat.

Karena itu muncul kemudian istilah “bajing loncat” sebagai ungkapan negatif orang yang suka menjarah truk sembako.

Tupai juga simbol dari orang yang suka pamer keahlian namun jumawa, sehingga jika orang itu mendapat celaka, orang pun tidak bersimpati.

Barangkali dari sana lahirlah pepatah yang populer; “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh jua”.

“Pesan pepatah ini adalah janganlah kita sombong.”

Ada kandungan kekesalan bahkan kemarahan terhadap kesombongan seseorang. Jadi ada konotasi negatif.

Mumpung terlanjur membicarakan soal maki-memaki, kenapa sih kita sering kali menggunakan nama hewan sebagai bahan makian?

Banyak orang suka mengumpat dengan menyebut nama-nama penghuni kebun binatang: monyet, asu, jangkrik, bedebah…

Belakangan ditambah dengan kampret, cebong, kadal terutama kadal gurun alias kadrun.

Di masa lalu sebelum abad sembilan, memang nama binatang sering dijadikan nama diri sebagai simbol kekuatan.

Mari kita sudahi, setidaknya kurangi, memaki dan menghina dengan menyebut nama binatang. Apalagi jika penyebutan itu keliru. Bermaksud bilang bajing ternyata yang keluar bajingan. Sementara makna kata itu sering salah kaprah lantaran budaya yang berbeda.

Ya …politik. Kan rangkaian asumsi. Gak ada yang salah tak ada yang benar.

Saya hanya menyimpulkan artinya sembari menunggu reaksi.[]

  • Darmansyah adalah wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”