.
.

Fenomena di Banda Aceh; Kafe Modern Masih Berkonsep Plastik

Kafe urban dengan konsumen milenila di Banda Aceh. (Foto Akramul Muslim/Portalnusa.com)

Laporan Akramul Muslim, Portalnusa.com

FENOMENA urban di Banda Aceh ditandai menjamurnya banyak kafe modern. Munculnya kafe modern ini merespons meningkatkan konsumsi kopi jenis arabika dengan alat peracik yang tidak butuh tempat besar. Dalam kenyataannya, kafe-kafe modern itu tidak hanya menjual kopi arabika namun ikut menyediakan menu-menu ‘asing’ adaptasi dari kuliner luar negeri, seperti thaici, boba, hingga minuman dari soda.

Kafe-kafe modern ini menargetkan anak muda sebagai pasarnya. Permasalahannya adalah kafe modern itu belum ramah lingkungan. Masih ada kemasan plastik sebagai media atau wadah yang digunakan. Padahal pemerintah—termasuk masyarakat dunia—sedang gencar-gencarnya mengampanyekan hidup tanpa plastik.

Kafe modern nan simple itu menggunakan wadah plastik untuk menyajikan minuman kepada konsumen. Meski konsumen menikmati minuman itu di tempat, bukan take home.

Kemasan plastik hanya sekali pakai, setelah itu dibuang begitu saja. Semakin banyak pengunjung kafe semakin banyak pula sampah plastik yang dihasilkan.

Kafe modern ini juga menerapkan self service sehingga pengusaha dapat menghemat tenaga kerja. Mereka tidak perlu membersihkan wadah minuman, artinya lebih hemat waktu dan hemat biaya.

Anehnya, pemerintah tidak mengatur soal penggunaan plastik di kafe-kafe seperti itu. Pemerintah tidak memandang ini sebagai persoalan serius.

Sepasang kekasih menjadi pengunjung salah kafe modern di Kota Banda Aceh yaitu kafe urban yang menjadi salah satu tempat yang mereka jadikan titik pertemuan. Pasangan itu adalah Naura Haniyya dan Amirul Fuadi.

“Minumannya menggugah selera. Saya suka thai tea yang ada di kafe ini,” ujar Naura.

Kemewahan interior dan pilihan menu di kafe modern di Banda Aceh. (Foto IG: Linge_homeroasting)

Naura dan Amirul menyadari bahwasannya wadah cup plastik itu tidak ramah lingkungan juga bisa menyebabkan menjadi salah satu hal serius bagi lingkungan. Namun mereka tak terlalu peduli selama tak ada pilihan lain yang dipakai di kafe.

Reza Fahlevi, salah seorang manager kafe Urban di Lampriek, Banda Aceh mengisahkan, kafe urbannya dibuka pada  2017. Pemiliknya memulai dari nol, dari kaki lima.

Reza melanjutkan, pada awalnya owner kafe ini berada di Jakarta, dan melihat peluang membuka usaha itu di Banda Aceh.

Kafe Urban ini menggunakan system self service (melayani sendiri) jadi para pelanggan memesan minuman ataupun makanan, lalu  pelanggan mengambilnya sendiri tidak diantar oleh pramusaji.

Reza melanjutkan, pihaknya menggunakan wadah (cup) plastik itu lebih simple (mudah) dan fleksibel. Bila pelanggan tidak menghabiskan minumannya bisa langsung dibawa pulang.

“Kami menggunakan wadah plastik sudah sangat ramah lingkungan karena sudah eco system,” tandasnya.

Reza mengumpulkan wadah plastik yang tertinngal di kafenya untuk diberikan para penampung untuk didaur ulang. Cuma penggunaan wadah plastik yang ramah lingkungan cost-nya yang terlalu mahal sehingga bisa berdampak pada tingginya harga jual ke konsumen.

Surat Edaran Gubernur

Terkait plastic, ada Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor: 660/3020 tentang Gerakan Pengurangan Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Wilayah Provinsi Aceh.

Dalam Surat Edaran itu antara lain diingatkan, setiap penyedia minuman diimbau mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dangan cara tidak memberikan sedotan plastik pada minuman kecuali diminta untuk alasan khusus. Pengusaha juga diminta aktif melakukan kampanye pengurangan penggunaan wadah plastik untuk mendukung  ‘Aceh Bebas Sampah 2025’.

Kafe ramah lingkungan

Di Banda Aceh ada kafe ramah lingkungan, sebut saja salah satu contoh Kafe Linge di Gampong Laksana.

Manager Kafe Linge, Rizki menyadari penggunaan wadah palstik sangat berdampak negatif bagi lingkungan, mungkin bagi kafe kekinian lain ini menanggapi hal yang tidak serius. Juga memerlukan penambahan tenaga kerja bila menggunakan wadah cangkir, dan besi  yang harus dicuci.

“Memang produk kemasan plastik sekarang sudah ada yang cepat terurai bila didaur ulang, tapi permasalahan nilai costnya terlalu tinggi sehingga harga awalnya satu minuman Rp 15 ribu bisa mencapai Rp 30 ribu,” tandasnya.

Rizki melanjutkan, setidaknya dimulai dengan sedotan minuman yang ramah lingkungan yang mudah hancur lalu juga mensosialisasi pelanggan, bila membawa tumbler pribadi itu bisa mendapatkan diskon. “Itu salah satu cara mengurangi penggunaan wadah plastic,” katanya.

“Dulu kami pernah mnerapkan promo diskon bagi pelanggan yang membawa tumbler pribadi untuk memesan minuman di kafe kami, cuma para pelanggan tidak mengindahkan ini secara konsisten,” ujar Rizki.

Tak hanya sebatas menikmati menu khas, tetapi kafe modern juga berfungsi sebagai titik pertemuan. (Foto Akramul Muslim/Portalnusa.com)

Rizki mendukung bila Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Banda Aceh (DLHK) membuat aturan pembatasan penggunan wadah (cup) plastik pada minuman dan makanan.

“Bila ada UMKM  yang dibina oleh DLHK Banda Aceh untuk membuat kemasan yang ramah lingkungan itu menajdi solusi bagi kafe yang ada di Banda Aceh,” pungkas owner Kafe Linge tersebut.

Penjelasan Ahli

Dr. Muhammad Nizar, ST, MT, ahli lingkungan menanggapi kecenderungan kafe di Banda Aceh yang tidak ramah lingkungan.

“Penggunaan wadah plastik memang tidak ada larangan, ini juga masih menjadi tren kekinian yang menjamur di kafe-kafe yang ada di Banda Aceh,” kata Nizar.

Diakuinya, apabila menggunakan sistem daur ulang  memerlukan biaya sangat mahal. Di Aceh belum memiliki teknologi daur ulang yang ramah lingkungan, semua barang bekas dikirimkan ke Medan untuk pengolahan,” ungkapnya.

Nizar melanjutkan, sangat disayangkan kalau hanya pelaku usaha yang diedukasi tentang sampah plastik, seharusnya pelanggan harus memiliki kesadaran terhadap bahaya wadah plastik bagi lingkungan.

Di dalam penelitiannya, 39.32% responden yang menerima sosialisasi tentang  sampah plastik, dan itupun di kalangan pelajar SMP yang menerima sosialisai sampah. Namun pemerintah tidak memberikan sosialisai sampah plastik secara berkelanjutan.

“Saya berharap pemerintah memperhatikan ini dengan serius, dengan diberikan edukasi, sosialisasi, seminar, dan workshop tentang sampah plastik secara bertahap dan bekelanjutan,” tutup Nizar.

Tanggapan pemerintah

Pemko Banda Aceh melalui Kabid Pengolahan Sampah dan Limbah B3 DLHK Banda Aceh, Asnawi Z, S.T., M.T., mengatakan pihaknya sudah mensosialisasikan kepada pelaku usaha kafe modern di Banda Aceh secara door to door mengenai penggunaan plastik.

“Apabila kami melarang penggunaan bahan plastik, harusnya Pemerintah Pusat membuat aturan menutup pabrik produksi plastik. Cuma itu kan tidak mungkin karena bisa berdampak buruk bagi perekonomian di Indonesia,” katanya.

Asnawi melanjutkan, sampah plastik itu memiliki nilai jual kepada penampung karena bisa dijadikan nilai ekonomi. Cuma harus sering diingatkan kalau penggunaan kemasan plastik bisa meangakibatkan buruk bagi kesehatan.

“Kami berharap pihak pelaku usaha kafe kekinian memiliki standar go green dan konsumen harus memiliki rasa kesaradaran untuk peka terhadap penggunaan wadah plastik,” demikian Kabid Pengolahan Sampah dan Limbah B3 DLHK Banda Aceh. []