PORTALNUSA.com | ACEH BESAR – Sejak Rabu pagi, 5 Maret 2025 belasan spanduk berisi kecaman terhadap Ketua Mahkamah Syar’iyah (MS) Jantho—bahkan ada yang mendesak copot—bertebaran di sejumlah titik dalam wilayah Aceh Besar.
Spanduk itu terpasang mulai dari bundaran Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya hingga Kota Jantho.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari Ketua MS Jantho, Dr. Muhammad Redha Valevi, S.H.I., M.H terkait spanduk berisi kecaman tersebut.
Mengutip acehherald.com, upaya untuk mendapat konfirmasi dari Redha Valevi sudah dilakukan wartawan sejak Rabu petang hingga malamnya, namun belum berhasil. Nomor ponsel yang biasa digunakannya terdengar nada masuk, namun tak terangkat.
Diduga, aksi pemasangan spanduk ini berkaitan erat dengan beberapa keputusan MS Jantho yang menuai kontroversi, salah satunya terkait pemantauan hilal Ramadhan 1446 H yang berujung pada perbedaan awal puasa di tengah masyarakat.
Sempat muncul rumors jika pihak yang disumpah dalam kasus melihat hilal itu, justru bukan orang yang melihat hilal. Sementara orang yang melihat justru tak diangkat sumpah.
Hal ini sesuai kesaksian Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal Ali yang videonya sempat viral di berbagai platform medsos.
Pantauan di lapangan menunjukkan spanduk tersebut berisi kritik tajam terhadap kepemimpinan Redha yang dinilai kontroversial.
Bahkan ada satu spanduk yang secara berani meminta agar Mahkamah Agung mengevaluasi kedudukan Redha sebagai Kepala MS Jantho.
Spanduk itu bahkan secara terbuka meragukan kemampuan motoric Redha, terutama terkait dengan daya pikir dan logika normal Redha.
Spanduk lain menuliskan seruan kepada Mahkamah Agung RI agar segera mengevaluasi kepemimpinan Mahkamah Syar’iyah Jantho.
Beberapa di antaranya berbunyi, “Redha Valevi gagal pimpin Mahkamah Syariah, Mahkamah Agung segera copot!”
“Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar bukan milik pribadi, tegakkan keadilan!”
Kontroversi pemantauan hilal
Salah satu pemicu utama protes ini adalah keputusan MS Jantho yang menolak mengambil sumpah dua saksi yang ditugaskan Kementerian Agama RI dalam sidang penentuan hilal Ramadhan 1446 H.
Kedua saksi tersebut mengaku melihat hilal pada pukul 18.56 WIB, tetapi kesaksian mereka tidak diterima oleh MS Jantho.
Sebagai gantinya, MS Jantho hanya menerima saksi dari kalangan ulama dayah setempat, yang akhirnya memutuskan bahwa hilal belum terlihat.
Keputusan ini menimbulkan perbedaan awal puasa di tengah masyarakat, di mana sebagian warga memulai puasa pada hari Sabtu, sementara sebagian lainnya berpuasa pada hari Minggu.
Situasi ini memicu polemik di berbagai kalangan, terutama karena penentuan awal Ramadhan merupakan keputusan yang seharusnya disepakati bersama demi menjaga persatuan umat.
Selain polemik hilal, MS Jantho juga tengah menangani sejumlah kasus sengketa harta warisan, yang dikabarkan turut menjadi sorotan masyarakat.
Beberapa pihak merasa bahwa putusan yang dikeluarkan MS Jantho kurang adil dan berpihak pada kelompok tertentu, sehingga menambah ketidakpercayaan terhadap lembaga tersebut.[]