Kisah Sukses Masjid Kampung Jogokariyan Membangun Perekonomian Umat

Masjid Jogokariyan

SEJAK awal Ramadhan tahun 2023 ini viral di media sosial tentang kisah keberhasilan manajemen Masjid Jogokariyan di Kampung Jogokariyan, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Dikutip Portalnusa.com dari langit7.id, Ketua Majelis Syuro Masjid Jogokariyan, Ustadz Muhammad Jazir ASP, mengatakan, salah satu program utama Masjid Jogokariyan adalah memberdayakan ekonomi umat Islam. Jogokariyan membina para mustahik (penerima zakat) agar bisa menjadi muzakki (wajib zakat).



“Dulu pada 2003, muzakki hanya 19 orang, zakat maal hanya Rp 5 juta setahun. Setelah kita menggerakkan masyarakat untuk shalat berjamaah, sekarang bagaimana memberdayakan ekonomi jamaah yang sudah ke masjid ini,” kata Ustadz Jazir.

Menurut Ustadz Jazir, dana Ziswaf (zakat, infak, sadakah, dan wakaf) yang dititipkan jamaah ke masjid harus dihabiskan untuk kebutuhan masyarakat. Masjid Jogokariyan bahkan menargetkan saldo nol rupiah setiap bulan.

“Uang masjid itu dihabiskan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Tahun ini, kami punya 590 muzakki, zakat maal Rp 3,2 miliar. 80% dulu mustahik, sekarang menjadi muzakki. Infak pada 2003 hanya Rp 43.200.000, tahun ini infak kita mencapai lebih dari Rp 4 miliar. Kemudian, wakaf uang atau wakaf produktif tahun ini mencapai Rp 7 miliar dalam satu tahun,” ungkapnya.

Sumber Dana Operasional

Ustadz Jazir menjelaskan, sumber dana operasional Masjid Jogokariyan berasal dari BUMM (Badan Usaha Milik Masjid). Badan usaha itu dibangun dari dana wakaf uang atau wakaf produktif.

“Jogja adalah daerah wisata, maka kami pilih badan usahanya adalah hotel. Di lantai 3 ada 13 kamar, itu dari wakaf masyarakat. Setiap kamar ada nama wakifnya,” ujar Ustadz Jazir.

Pada 2003 lalu, kata dia, biaya pembangunan satu kamar mencapai Rp 40 juta lebih. Namun saat ini, hotel yang dikelola Masjid Jogokariyan bisa membiayai operasional masjid. Itu pun masih menyisakan puluhan juta.

“Sekarang, dari hasil orang menginap dikurangi uang operasional masjid, masih ada dana bersih di atas Rp 47 juta sampai Rp 50 juta per bulan. Daripada atap masjid ini kosong, kita jadikan tempat untuk menghasilkan uang. Tentu, dengan menjaga ketentuan-ketentuan syariat,” demikian Ustadz Jazir.

Tentang Masjid Jogokariyan

Dikurtip dari detik.com, Masjid Jogokariyan dibangun tahun 1966 dan mulai digunakan pada 1967.

Nama masjid diambil dari nama kampung di mana masjid itu berdiri, Kampung Jogokariyan. Tepatnya di Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Hal ini mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW yakni memberi nama masjid sesuai dengan di mana masjid itu berada.

“Rasulullah berdakwah di Quba, namanya Masjid Quba, beliau berdakwah di Bani Salamah, masjidnya juga namanya Bani Salamah sesuai dengan nama tempatnya,” jelas salah seorang pengurus masjid di bidang kesekretariatan Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih, seperti dilansir detik.com pada 2015 silam.

Pembangunan masjid ini berawal dari wakaf seorang pedagang batik dari Karangkajen, Yogyakarta.

Awalnya masjid terletak di sebelah selatan kampung Jokogkariyan, namun seiring berjalannya waktu, takmir masjid pertama yakni Ustadz Amin Said mengusulkan untuk memindahkan masjid ke tengah kampung.

Hingga akhirnya sampai saat ini dengan segala perkembangannya Masjid Jogokariyan berdiri di sudut perempatan kampung.

Pembangunannya bertahap. Awalnya masjid ini hanya terdiri dari sebuah bangunan inti saja. Baru kemudian berkembang, setelah tahun 2006, pengurus masjid mendirikan Islamic Center di sisi timur bangunan utama.

Pada 2006, ada sebuah rumah warga di sebelah masjid yang runtuh. Dia menawarkan pihak masjid untuk membeli lahan tersebut. Hingga luas kompleks masjid bertambah.

Dari penawaran itu kemudian pihak masjid membuka kesempatan infaq bagi siapapun yang berkenan. Di Islamic Center Masjid Jogokariyan inilah segala kegiatan pelayanan jamaah banyak dilakukan.

Ada 28 divisi yang bekerja. Di antaranya biro klinik, biro kaut, dan komite aksi untuk umat.

Banyaknya kegiatan yang berjalan di masjid Jogokariyan inilah yang membuat masjid ini tak pernah sepi. Meski di luar Bulan Ramadhan, jamaah shalatnya selalu ramai. Hal ini menarik perhatian masyarakat muslim tak hanya di luar Yogyakarta tapi juga luar negeri. Masjid juga memiliki website sederhana.

“Banyak yang studi banding. Beberapa tahun lalu, parlemen Eropa ke sini. Pernah juga ulama Palestina berkunjung,” jelas Galih.

“Mereka juga bertanya kok bisa masjid kampung, karena kelas kami kelas kampung, bukan masjid agung, masjid kota tapi kok bisa mendunia,” imbuhnya.

Galih mengatakan rahasianya ada pada sebuah prinsip yang dipegang para pengurus masjid dan masyarakat sekitar. Pengurus masjid bukan sekadar mengurus masjid tapi juga melayani jamaah.

“Kita punya klinik, ada divisi-divisi yang langsung ke masyarakat. Kotak infaq yang besar dan lubangnya juga besar, kalau ada yang mau ngasih Rp 5 juta juga masuk,” tutur Galih.

Galih menilai masyarakat melihat bagaimana uang dari infaq berputar untuk kepentingan jamaah. Dan menurutnya, sudah seharusnya seperti itu. Uang perolehan infaq seharusnya segera digunakan untuk keperluan umat.

“Bukan diendapkan, tapi selalu diputar. Selalu ada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jamaah,” tuturnya. []