Alih-alih Klarifikasi Kisruh Pelayanan Haji 2025, Kemenag Malah Libatkan Buzzer
PORTALNUSA.com | JAKARTA – Kekhawatiran terjadinya kekacauan layanan haji 2025—terutama pada puncak haji di kawasan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina)—sudah diingatkan Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq sejak jauh-jauh hari.
Baca: Pelayanan Haji 2025 Kacau, 150 Jamaah Aceh Telantar di Mina
Maman telah meminta Kementerian Agama (Kemenag) dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) memberikan penjelasan secara lengkap dan transparan terkait penerapan sistem syarikah dalam pelaksanaan haji tahun 2025.
Baca: Komunikasi Jamaah Haji Aceh dengan Alfian MaTA: Kondisinya Benar-benar Kacau
Pola komunikasi pelaksanaan haji tahun ini sangat jauh dari standar. Alih-alih memberikan klarifikasi atas kekisruhan yang terjadi, Kemenag justru melibatkan buzzer yang hanya memperkeruh suasana,” kata Kiai Maman, sapaan akrab Maman Imanul Haq, Selasa, 20 Mei 2025, sebagaimana dilansir Protimes.co.
Baca: Miris, Jamaah Haji Indonesia Hanya Dapat Fasilitas Terendah
“Seharusnya Kemenag dan Dirjen PHU menyampaikan penjelasan resmi mengenai alasan terjadinya kekacauan ini, bukan menambah kebingungan di kalangan jamaah,” imbuhnya.
(Dalam bahasa Indonesia, buzzer berarti pendengung atau secara rinci buzzer dapat diartikan seseorang atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan pesan ternentu).
Akademisi peraih gelar doktor di bidang Sejarah Peradaban Islam dari Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia ini mengaku menerima banyak keluhan dari jamaah terkait penerapan sistem syarikah.
Ia menuturkan, banyak calon jamaah haji Indonesia yang khawatir akan terpisah dari pasangan mereka selama di Tanah Suci.
“Saya menerima banyak pertanyaan dari jamaah yang cemas karena khawatir akan terpisah dengan pasangan mereka. Saya menjelaskan bahwa ini merupakan dinamika yang tidak terduga, namun harus segera diperbaiki,” ujarnya.
Kiai Maman menilai penerapan sistem syarikah dalam haji 2025 perlu dievaluasi secara menyeluruh oleh Kemenag.
Ia mempertanyakan dasar pemilihan delapan syarikah dari total 50 yang tersedia, serta perbedaan karakteristik masing-masing syarikah tersebut.
“Banyak hal yang perlu dijelaskan. Mengapa dari 50 syarikah hanya dipilih delapan? Dan mengapa kedelapan syarikah ini memiliki sistem yang berbeda-beda?” tutur Kiai Maman.
“Idealnya, satu syarikah cukup menangani 10 ribu jamaah dalam satu maktab. Saya tidak bisa membayangkan jika satu syarikah harus mengelola 25 ribu jamaah. Bagaimana dengan pengelolaan katering dan layanan lainnya?” sambungnya.
Akhirnya, apa yang dikahawatikan Kiai Maman benar-benar terjadi. Pelayanan jamaah haji benar-benar kacau pada pelaksanaan puncak haji di kawasan Armuzna terutama yang terkait layanan transportasi dan akomodasi.
Untuk perbaikan ke depan, Kiai Maman mengingatkan bahwa Pemerintah Indonesia perlu menjelaskan kepada pihak Arab Saudi dan para penyedia syarikah bahwa ekosistem jamaah haji Indonesia berbeda dengan negara lain.
“Indonesia adalah negara kepulauan. Saat musim haji tiba, jamaah yang berasal dari berbagai pulau dengan latar belakang suku yang beragam, namun memiliki kehangatan dan kekompakan yang khas. Jika pasangan suami-istri dipisahkan, tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan yang dapat mengganggu kekhusyukan ibadah,” pungkasnya.[]