Omong Kosong Kalian Bicara Keamanan Lokasi Wisata
Oleh Nasir Nurdin, Ketua PWI Aceh
MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan berita kematian di objek wisata. Lebih mengejutkan karena kematian itu berulang di lokasi yang sama: objek wisata pantai Lhoknga, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.
Dua hari lalu, tepatnya Sabtu sore, 28 Juni 2025, dua bocah asal Gampong Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat diseret arus laut Lhoknga di depan pabrik semen PT Solusi Bangun Andalas.
Kedua bocah abang-adik—M. Ozi Mahardika (8) dan M. Amar Fauzan (7)—merupakan murid SDN Langung, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, putra dari pasangan Mario dan Rahma Sugesti.
Seperti biasa, setiap kali terjadi musibah terhadap wisatawan, tim SAR gabungan langsung ke lokasi melakukan operasi pencarian dan penyelamatan.
Keluarga ikut bergabung dengan beban duka tak terperi sambil berharap pencarian membuahkan hasil secepatnya, baik hidup atau mati.
Kasus yang menimpa kedua bocah dari Meulaboh tersebut bukan yang pertama terjadi dan diyakini bukan pula yang terakhir selama pemerintah tak peduli dengan nyawa masyarakat yang terus terenggut di objek wisata. Kematian seharusnya tak perlu terjadi jika saja ada kelengkapan pendukung untuk terciptanya rasa aman dan nyaman di objek wisata.
Catatan penulis yang juga sering terlibat bersama tim SAR gabungan, kematian di objek wisata pantai Lhoknga nyaris tak pernah henti. Umumnya akibat terseret arus saat mandi-mandi.
Bahkan, musibah yang dialami abang-adik Ozi Mahardika dan M. Amar Fauzan terjadi ketika keduanya sedang berwudhuk di lidah ombak menjelang latihan azan yang dipandu sang ayah.
Tiba-tiba tubuh si adik tersedot dan terus tenggelam. Abangnya berusaha membantu menyelamatkan tetapi dia pun ikut terseret. Keduanya hilang. Tragis.
Laut Lhoknga tak ubahnya monster pembunuh. Kematian terus berlanjut. Ada yang ditemukan jenazahnya dan ada pula yang tetap berstatus hilang dalam pelukan laut.
Wartawan mencatat kematian demi kematian tersebut untuk konsumsi berita. Masyarakat—termasuk keluarga korban—hanya mampu mengurut dada membaca berita kematian tanpa henti. Seperti data statistik.
Lalu, apa yang dilakukan pemerintah?
Sejauh ini hanya omong kosong mereka bicara pengelolaan lokasi wisata secara profesional dengan dukungan fasilitas yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan.
Omong kosong semua itu, termasuk retorika membuka peluang berusaha bagi masyarakat. Yang terbayang di benak penulis adalah pemerintah zalim yang menganggap nyawa masyarakat tak ada harganya. Tak perlu diprotek.
Rambu-rambu
Wisatawan menyesalkan karena pantai Lhoknga tidak dilengkapi rambu-rambu peringatan larangan mandi-mandi pada area berbahaya seperti arus putar, palung laut, ‘pasir hidup’, batu karang atau ancaman lainnya.
Namun protes itu sering disanggah oleh aparatur pemerintah yang terkait dengan kepariwisataan.
Alasannya, “sudah sering dipasang rambu-rambu namun hilang. Diduga ada pihak-pihak yang tidak berkenan kalau objek wisata terkesan angker sehingga sepi pengunjung.”
Alasan itu bisa jadi ada benarnya. Namun yang tak boleh adalah menuduh yang mencabut plang atau rambu-rambu itu adalah pedagang di lokasi wisata karena tak ingin usaha mereka terganggu.
Katakanlah memang ada dugaan seperti itu, harusnya pemerintah melalui aparat penegak hukum tak boleh kalah dengan penjahat apalagi tindakan yang berakibat hilangnya nyawa orang. Harus ada tindakan tegas secara hukum.
Tetapi yang terjadi bukan demikian. Pemerintah memang tak serius mengelola objek wisata termasuk menciptakan rasa aman dan nyaman. Kalau pun ada lokasi-lokasi wisata yang berdenyut itu pun karena kreativitas masyarakat secara orang per orang atau kelompok.
Nah, kembali ke soal plang atau rambu-rambu di objek wisata yang disebut hilang. Fakta yang pernah terlihat selama ini plang dan rambu-rambu dibuat cilet-cilet. Kalau pun ada plang, terkesan asal-asalan. Seperti plang pemberitahuan “tanah ini dijual’ atau plang peringatan “jangan buang sampah di sini.”
Tidak benar-benar serius. Tidak permanen. Akibatnya, ketika ada ombak besar atau gelombang pasang, bisa saja terbongkar dan hilang. Kalau kokoh dan kuat, dipastikan tidak akan ada masyarakat yang bergotong royong untuk membongkarnya. Masyarakat juga berkepentingan menjaga kawasan wisata tetap aman agar mereka juga bisa tetap hidup.[]